12 - Pangeran

6.4K 935 31
                                    

Sesuai perkataan Jelena mengenai betapa cerahnya siang ini, aku menggelar tea time di taman Istana Kebahagiaan.

Aku duduk di gazebo megah berwarna putih yang luas dan klasik, sehingga cahaya matahari tidak benar-benar dapat menembus kulitku. Di sekelilingku juga dipenuhi flora hijau dan berbagai tanaman bunga yang memiliki berbagai macam warna. Di sudut mataku, aku bisa melihat kolam air mancur yang suaranya membuatku sedikit rileks, dan dapat melupakan kalau aku masuk ke dalam novel gila.

Lalu ketika aku mendongak, aku bisa melihat langit biru yang ditemani beberapa awan dan matahari. Itu sangat cerah. Bahkan burung-burung yang terbang sambil berkicau tampak gembira.

Ini menyegarkan.

Kecuali apa yang membuat tea time ini menjadi menyeramkan adalah kehadiran pria itu.

Aku sangat-sangat ingin memukulnya dengan piring kue, bagaimana mungkin seorang raja menikmati tea time dengan santai selama satu jam terakhir dan mengabaikan segala pekerjaan mendesaknya? Lalu, duduk diam di seberangku dengan tampang seolah mengajak singa untuk berkelahi.

Bahkan aku sangat simpatik pada ajudan raja yang bergerak resah di samping gazebo, sambil membawa papan kayu dan berkas yang tampaknya cukup penting karena si ajudan telah mengekori rajanya lama.

Sementara itu, Sir Derick dan tiga pelayan pribadiku diusir dari gazebo sehingga hanya menyisakan kami di dalam gazebo.

"Yang Mulia," panggilku.

Viten hanya menaikkan sebelah alis sambil tangannya memegang cangkir teh Earl Grey. Dia sangat menyukai teh itu.

"Apa itu?" tanya Viten pada akhirnya.

"Apakah Anda-"

"Cukup," potong Viten. "Jangan bicara formal lagi padaku ketika hanya ada kita berdua."

Aku nyaris tertawa, tetapi menahannya setelah menyadari betapa menyedihkannya dia.

Aku yakin jika Viten hanya menginginkan seseorang yang bisa diajak bersantai bersama, bicara apa adanya tanpa nada formal, tanpa perlu menjilat dan meraup keuntungan satu sama lain, atau bicara dengan nada bijaksana yang membuat orang lain terpukau.

Karena itu semua bukan Viten.

Viten adalah orang yang menginginkan kasih sayang di kehidupannya. Hanya itu. Namun, sayang sekali, menjadi keluarga kerajaan, terlebih putra mahkota yang telah diagungkan seluruh orang sangat menekannya.

Sehingga Viten harus membuang jauh-jauh seluruh mimpi mengenai bagaimana rasanya dipeluk dengan hangat oleh keluarganya.

"Baik, baik. Yang Mulia, apa kamu tidak bekerja?" tanyaku dengan patuh, menghilangkan kata-kata formal di dalam kalimatku.

"Apa maksudmu? Apa kau pikir raja bisa liburan?" Viten meletakkan cangkir teh di atas tatakan hingga berbunyi nyaring, tak. "Tapi jika kau ingin liburan, aku bisa mengambil cuti."

Aku merinding atas pernyataan terakhir Viten. Tetap saja, meski sudah menghindari bendera kematian Viten, aku masih merasa sedikit takut padanya. Sebab, bayang-bayang kematian dan siksaan Viten yang ditujukan pada Serethy di novel terus menghantuiku. Dan membayangkan semua itu terjadi padaku, akan sangat menyeramkan hingga aku merinding hebat.

Aku masih belum boleh lengah. Tidak ada yang tahu kapan Viten akan berubah pikiran dan malah menyiksaku seperti di alur novel.

"Tidak, maksudku adalah, ajudanmu sudah menunggumu semenjak, um ... satu jam yang lalu? Sepertinya Yang Mulia sangat sibuk hingga ajudanmu terlihat resah?"

Ajudan yang aku sebutkan memiliki ekspresi cerah ketika aku menyebutkannya pada Viten.

"Apa maksudmu? Aku sama sekali tidak mengerti," kata Viten, lalu mengambil sepiring camilan less sugar. Viten tidak terlalu menyukai makanan manis.

END | I Will Avoid the Death Flag [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang