02

167 7 0
                                    

"maaf gus, tapi apa harus dengan cara seperti itu?" tanya Umayrah dengan perasaan yang campur aduk.
"harus. Agar tidak terjadi fitnah," tegas Albi.
"gus, jika wasiat dari almarhum adik saya memberatkan njenengan, mboten nopo nopo, mboten dipenuhi. Insyaalah almarhum adik saya akan tetap tenang di sana,"ujar kakak perempuan ustad Fahmi.
"bu, seberat apapun jika seorang hamba mau berusaha, pasti Allah beri jalan," ucap Kyai Nashir.
"izinkan saya memenuhi keinginan terakhir dari orang yang telah mengorbankan nyawanya demi saya dan kedua orang tua saya bu," kata Albi, meyakinkan.
Annisa menatap keponakannya, "bu dhe akan selalu mendukung apapun yang akan kamu putuskan."
"kula nderek bu dhe mawon," lirih May.
"kamu yang akan menjalani nduk. Jadi kamu yang memutuskan," kata Annisa, satu satunya kakak perempuan ustad Fahmi.
May berfikir keras selama beberapa menit. Kemudian May menarik nafas dalam dalam, sebelum mengatakan apa yang telah ia putuskan.

***

"qabiltu nikahaha wa tazwijaha makhtubataka bilmahril madzkur wa radlitu bihi wallahu waliyut tawfiq halan."
Setelah ijab qabul itu sah, lantunan do'a dari penghulu terdengar beriringan dengan suara 'aamiin' dari seluruh tamu undangan .
Kini aku telah sah menjadi bagian dari keluarga yang dipandang berilmu dan berakhlakul karimah.
Ya, aku Umayrah Hanum Ar-Rayya. Gadis berkulit sawo matang dengan tinggi badan rata rata. Gadis yang bisa di bilang 'tidak cantik'. Aku hanya beruntung karena pengorbanan yang telah bapak lakukan pada keluarga ini.
Dan aku tidak pernah menyangka bahwa pengorbanan itu, membuat ku bisa menikah dengan gus pintar dan tampan, yang masyhur di pondok pesantren tempat ku belajar.
G

us Albi Hawnar-Rohim

***

Pukul 03.30 Umayrah telah selesai dengan ritual mandi paginya. Saat wanita itu keluar dari kamar mandi, ia melihat pria yang kini selat berstatus sebagai suaminya bangkit dari kasur dan berjalan menuju tempatnya berdiri. May pun segera menepi sembari menunduk sebagai bentuk tawadu' yang biasanya seorang santri lakukan terhadap para guru dan para dzurriyah pondoknya.
Gerakan itu murni, refleks tubuhnya yang sudah terbiasa. Sama sekali bukan karena ia buat buat.
Albi yang melihat kebiasaan baik yang masih istrinya lakukan sampai saat ini, pun tersenyum kagum.
Albi berhenti di hadapan wanita itu. Pria itu kemudian memegang dagu May dan mendongakkannya. Saat itu lah Albi dapat menatap sepasang mata indah dengan alis tebal milik May. Gadis itu memang tidak cantik tapi manis atau lebih tepatnya sangat manis.
"sekarang aku adalah suami mu, itu artinya surga mu ada pada ku. Maka jangan pernah kamu tidak menatap surga mu ini," ucap Albi yang diakhiri dengan kecupan singkat di kening Umayrah.
Kecupan yang ironisnya membuat tubuh gadis itu membeku. Bahkan hingga Albi sudah berlalu memasuki kamar mandi, May masih tetap diam bergelut dengan pikirannya sendiri. Apakah Albi sudah mencintainya? Tapi rasanya mustahil sekali ada yang mau jatuh cinta pada gadia yang tidak memiliki keistimewaan apapun seperti dirinya ini.

***

"dulu saat abah mendapatkan undangan ceramah di luar kota, abah meminta ustad Fahmi untuk mengantarnya. Mereka berangkat setelah sholat subuh dan baru kembali selepas sholat dzuhur. Setelah itu beliau langsung pergi mengajar di madrasah pesantren. Setelah mengajar aku yang saat itu malih berumur delapan tahun mengajaknya bermain, sungguh beliau tidak menolak permintaan ku sama sekali," ucap Albi.
"aku dan bapak mu bermain hingga larut dan aku juga memintanya menemani ku hingga aku tertidur. Keesokan harinya aku mencarinya di madrasah, aku ingin mengajaknya bermain lagi. Namun aku tidak menemukannya. Kata abah beliau semalam kecelakaan karena mengantuk saat pulang dari pesantren. Bapak mu orang yang sangat baik May, dari dulu ia selalu mengorbankan apapun demi keta'dzimannya pada kami," sambung Albi.
"maaf gus, tapi apakah saat ini njenengan sedang mengorbankan kebahagiaan njenengan untuk membalas pengorbanan pengorbanan bapak?" tanya Umayrah.
"Mungkin aku tidak menikahi mu karena tingginya akhlak dan ilmu mu, karena selama ini aku tidak pernah mengenal mu, apalagi akhlak dan ilmu mu. Mungkin aku juga tidak menikahi mu karena cinta May karena jujur, bahkan sampai detik ini aku merasa belum ada cinta yang Allah hadirkan di hati ini untuk mu may. "
Mata May memejam sejenak menahan tangis yang hampir pecah karena kenyataannya suaminya ternyata belum mencintainya meski pagi ini telah bersikap manis padanya.
"tapi aku menikahi mu karena aku yakin kamu adalah satu satunya wanita yang bisa menjadi penyempurna iman ku."
Mendengar itu, membuat kesedihannya seketika luntur. Wanita itu tersenyum simpul sembari menatap Albi. 'Satu satunya', arrgghh! Sungguh itu sangat manis.
Tok! Tok! Tok!
"aku mau buka pintu dulu," pamitnya yang hanya di balas anggukan oleh Albi. Untung saja ada tamu, jika tidak sudah pasti wanita itu tidak bisa menyembunyikan salting nya di depan Albi.

***

Cklek!!
Umayrah kembali menutup pintu kamar itu. Setelahnya ia berbalik hendak menyampaikan apa yang ning Niswah, kakak iparnya katakan, kepada Albi.
Deg! Sekejap, jantung nya terasa berhenti berdetak. Namun sedetik kemudian jantung May seperti dipacu dengan cepat.
Langkah wanita itu urung karena ternyata Albi telah berada di hadapannya. Andai saja tadi, ia jadi melangkah, pasti sekarang ia sudah menabrak dada bidang Albi.
"mbak Niswah ngomong apa May?"
"anu itu gus mbak ning nis-wah bilang kalau kita sudah di tunggu abah dan umi di bawah buat sarapan," jawab May terbata bata karena kehadiran Albi yang terlalu dekat membuatnya gugup.
"panggil aku 'mas' aja ya May dan panggil ning niswah 'mbak'. Sekarang kamu bukan lagi santri ku, tapi istri ku."
"iya - mas"
"ya sudah, ayo!" ajak Albi sembari menyodorkan telapak tangannya.
May menatap telapak tangan itu bingung, membuat Albi mendengus, "huft.." Albi kemudian menautkan jari tangannya dengan jari tangan Umayrah.
May yang melihat kulit tangan mereka bersanding bak kopi dan susu segera menarik tangannya. Namun gagal karena Albi justru menggenggamnya dengan lebih erat.

***

Kami. Aku dan mas Albi menuruni tangga dengan jari jari tangan yang masih setia bertautan.
Jangan tanya tentang bagaimana perasaanku saat ini karena aku sendiri pun bingung harus bersikap seperti apa. Aku tahu cinta adalah anugerah yang keberadaan nya berdasarkan ketetapan dari Nya sehingga harus di jaga. Namun saat memutuskan menerima lamaran dari mas Albi, aku juga memutuskan untuk tidak boleh jatuh cinta pada mas Albi sebelum aku pantas secara ilmu dan akhlak, dengannya.
Dimeja makan sudah ada abah Nashir dan umi Aisyah selaku orang tua suami ku. Adapun putra pertama umi yang memiliki gelar 'putra umi yang paling tampan', yakni gus Arsyaka. Di kursi sebelahnya ada putranya yang akan berumur dua tahun duduk dipangkuan sang ibu yang kini tengah berbadan dua, yakni Ning Syafa. Meskipun sudah menjadi ibu dan tengah berbadan dua, namun aura kecantikan tetap terpancar dari wajahnya. Selain cantik beliau juga penghafal Al Quran dan pernah mengenyam pendidikan di Kairo, sama seperti gus Albi.
Sementara anak kedua umi adalah ning niswah. Diusianya yang baru menginjak 28 tahun, ning Niswah sudah memiliki tiga putra. Para santri pondok ini menyebut ning niswah dengan sebutan orang tersabar didunia yang bermata teduh. Sungguh, tutur katanya lemah lembut. Dulu ia resmi di khitbah oleh seorang Habib Umar Shodiq As-Segaf karena kesabarannya sebagai relawan yang merawat korban bencana alam, termasuk habib umar.
Di ruang makan itu juga sudah terdapat kedua adik gus Albi, yaitu ning Nabila dan gus Adnan. Mereka berdua memiliki kepribadian yang bertolak belakang, yang satu periang dan yang satunya lagi cuek dan selalu menunjukkan ekspresi serius.
Contohnya seperti saat ini gus Adnan sedang ikut ikutan anggota keluarga yang lain untuk menggoda kemesraan kami sementara ning Nabila tetap fokus pada lembar lembar Al Quran yang sedang ia muroja'ah sembari menunggu semua anggota keluarga berkumpul untuk sarapan.

UmayrahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang