11

92 3 0
                                    

Pagi ini, May merasa pusing di kepalanya sudah hilang. Panasnya pun sudah agak menurun. Namun Albi tidak memberikannya izin untuk kuliah. Begitupun ibu mertuanya tidak memberikannya izin untuk setoran.
"Ambisi khatam. ati kemrungsung, ngejar setoran, ora ngopeni deresan. Ngajine bar, deresan buyar. Na'udzubillah," begitulah umi Aisyah menjeda ucapannya, "yang penting itu apa yang sudah kamu hafalkan tidak kamu lupakan. Masalah nambah hafalan, bisa nanti setelah kamu sehat."
"Nggih mi," jawab Umayrah.
Sementara Albi yang juga berada di kamar itu hanya ikut mendengarkan sambil membuka bungkus obat dan menyerahkan obat itu kepada Umayrah.
"Oh ya, testpack yang umi titipkan ke Aila, kemarin, sudah kamu coba?"
Albi dan May sama sama terkejut dengan ucapan Umi Aisyah, untung saja kegiatan minum obat May sudah selesai. Jadi tidak perlu ada drama tersedak obat.
"Umi beli testpack buat Umayrah?" Pertanyaan Albi membuat Umayrah menunduk, panik.
"Iya."
"Udah di coba kan sama menantu umi?"
May menggeleng, "belum Umi. Kayaknya nggak perlu di coba mi, May kan cuma demam."
"Nggak ada salahnya kalau di coba kan, nduk."
"Iya mi, nanti May coba."
"Ya sudah umi pergi dulu ya," pamit ibu kandung Albi itu.
Setelah Nyai Aisyah pergi, suasana di kamar itu menjadi canggung, Albi pun memutuskan untuk pamit, "May aku, aku berangkat ke kampus dulu. Em k_ kamu istirahat ya."
"Assalamualaikum," salam Albi, mengakhiri kecanggungan itu.
"Waalaikumsalam."

***

Sepulang mengajar, Albi membeli beberapa makanan untuk Umayrah. Albi memang tidak tahu apa makanan kesukaan istrinya itu, tapi dia berharap beberapa makanan yang ia bawa dapat memancing nafsu makan May yang sedang menurun.
Ini adalah tugasnya sebagai seorang suami dan orang yang mendapatkan wasiat dari ustad Fahmi untuk menjaga anaknya.
Namun saat berada di ambang pintu kamar mereka, Albi menghentikan langkahnya karena melihat Umayrah tertawa saat berbincang dengan laki laki lewat panggilan suara.
Tawa May yang begitu renyah berhasil menampakkan lesung cantik di kedua belah pipinya.
Tapientah mengapa Albi merasa tidak rela, jika Umayrah bahagia karena laki laki selainnya.
"Air yang suci mensucikan itu adalah air yang keluar dari bumi dan turun dari langit. Jadi kesimpulannya air hujan itu suci mensucikan sehingga bisa dibuat wudlu."
"Oohh gitu. Kalau negara yang siap siaga menghadapi hujan, kamu tau nggak May?" Suara pria di seberang sana.
"Emang ada ya kak?" Tanya May balik.
"Ada."
"Apa?"
"Swedia payung sebelum hujan."
"Hahahaha kakak bisa aja. Udah ah kak. Pertanyaan kakak kan udah aku jawab. Jadi aku tutup ya telfonnya. Assalamualaikum." May mematikan sepihak sambungan telepon itu, tanpa menunggu jawaban dari salamnya.
"Eh! Mas Albi udah pulang," ucap May, melihat suaminya sudah berdiri diambang pintu.
"Udah dari tadi."
"Habis telfonan sama siapa kamu?" Tanya Albi semakin mendekati kasur.
"Sama senior aku, di kampus mas."
"Dapat nomor kamu dari mana?"
"Aku.. sendiri mas yang kasih," jawab May, jujur.
"Kamu kuliah cari ilmu atau ngobral nomor handphone?" Hati May tersayat mendengar pernyataan tajam Albi. Namun sebisa mungkin ia berfikir positif. Mungkin saja suaminya ini sedang cemburu, hanya saja cemburunya sedikit berlebihan.
"Dia mau belajar dan memperdalam Islam dengan bantuan aku mas. Jadi aku kasih nomor aku ke dia," ujar May, menjelaskan.
"Itu cuma modusnya dia May!" Bentak Albi.
Kemudian, pria itu menyerahkan beberapa kantong plastik berisi makanan kepada Umayrah.
"Kamu makan. Setelah itu minum obat dan istirahat," ucapnya sebelum meninggalkan kamar itu tanpa mengucap salam.

***

Flash back

"Saya mendengar cerita dari Nabila, anak saya yang nyantri di sini mengenai kepintaran dan akhlak putri njenengan dalam menjaga diri dari lawan jenis baik dalam dunia nyata maupun dunia maya. Bahkan katanya putri njenengan tidak pernah menyimpan satu kontak laki laki pun di dalam handphonenya," ucap Kyai Nashir.
"Saya sekeluarga sangat kagum. Anaknya saja sudah masyaallah apalagi kedua orang tuanya," timpalnya.
"Kamu terlalu berlebihan, Shir," ucap lawan bicara Kyai Nashir itu.
"Tidak. Aku tidak berlebihan, karena itu aku ingin menjadi besan mu. Aku ingin melamar putri mu untuk__
"Aarrgghh!!" Geram Albi sembari menarik rambutnya dengan kedua tangan.
Bugh! Pria itu memukul salah satu pohon jeruk yang ada di kebun itu.
"Maafkan saya ustad Fahmi belum mencintai putri anda, tapi Umayrah benar benar berbeda dengannya."
"Umayrah tidak sama dengan wanita yang saya cintai. Dia bukan wanita yang bisa menjaga diri dari lawan jenisnya."
Pada menit berikutnya, Albi sudah mendudukkan dirinya dan menenggelamkan wajahnya di meja bulat yang ada ditengah hamparan kebun jeruk.
Suasana taman di tengah kebun jeruk itu begitu sejuk dan asri, sangat tidak kontras dengan suasana hati Albi saat ini.

UmayrahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang