Oci menyesap ice matcha latte yang ia beli di salah satu kedai kopi yang berdiri di tengah rest area KM 72. Hatinya sedikit gelisah karena ia harus kembali ke rumah yang selama empat belas tahun terakhir ia hindari. Rumah yang menjadi penyebabnya bolak-balik psikiater selama tiga tahun terakhir. Belum lagi percakapannya dengan Liliana tadi malam.
"Kak, Nenek Fatma minta kamu nikah sama cucunya. Bunda kasih restu, teh karena bunda lihat sendiri dia laki-laki yang baik."
Dua kalimat Liliana yang mampu membuat Oci bingung setengah mati. Liliana dan Fatma, dua wanita yang menjadi alasan Oci bertahan hingga sekarang. Liliana, wanita tangguh yang mengandung, melahirkannya serta menghidupi Oci dan Omar—adek laki-laki Oci—tanpa seorang suami. Sedangkan Fatma, seorang wanita tua yang sudah menganggapnya sebagai cucu dan seseorang yang selalu ada ketika Oci berada di titik paling rendah selama hidupnya, sepuluh tahun yang lalu. Keduanya juga memiliki keinginan yang sama, melihatnya menikah.
Permasalahan utamanya adalah Oci sudah tidak bisa percaya dengan cinta yang diberikan oleh seorang laki-laki. Empat tahun yang lalu, seorang laki-laki menawarkan tempat ternyaman dan menghilangkan pikiran Oci bahwa semua laki-laki seperti ayahnya, namun nyatanya semua omongan tersebut tidak dapat dipercaya. Lagi-lagi ia dikecewakan oleh laki-laki yang sama-sama ia cintai dengan sepenuh hati.
Oci mengedipkan mata beberapa kali, dering ponselnya membuat lamunannya buyar. Nama atasannya tertera di layar ponselnya.
"Iya, Mas Radhit. Ada apa?"
"Ci, lo bisa ke kantor sekarang nggak?"
Oci mengerutkan keningnya bingung karena suara Radhit yang sedikit tergopoh-gopoh, "Maaf, mas tapi saya ini lagi di tol mau ke rumah orangtua saya. Emang ada apa, mas?"
"Lo tau kan gue kemarin janjian sama Riandea buat bahas naskahnya tapi tiba-tiba gue harus pergi ke luar kota."
"Kenapa nggak sama Mbak Jess aja, mas?"
"Mereka lagi berantem kayanya. Lagian ini kita mau mau bahas bedah buku."
Oci meringis, merasa tidak enak dengan atasannya itu tapi mau bagaimana lagi, ia sendiri sudah mengajukan cuti selama empat hari untuk pulang, "Maaf, ya, mas."
"Iya, nggak papa, Ci. Sorry gue ganggu cuti lo."
Menjadi seorang Acquisition Editor merupakan pekerjaan yang tidak memberatkan bagi Oci. Meskipun setiap hari harus membaca puluhan bahkan ratusan naskah yang masuk, namun semuanya ia nikmati karena dari pekerjaannya itulah ia bisa melihat banyak gaya kepenulisan dari penulis yang mengajukan naskahnya untuk diterbitkan.
Meski begitu setiap pekerjaan pasti memiliki hal yang kurang menyenangkan, contohnya seperti tadi. Ia kadang harus merelakan hari liburnya karena harus bertemu dengan penulis yang naskahnya akan diterbitkan. Sebagai seorang Acquisition Editor ia memiliki tanggung jawab untuk mencari naskah diluar dari yang dikirimkan, apalagi jika tidak ada naskah yang cocok untuk diterbitkan. Mau tidak mau ia harus mengikuti jadwal penulis yang ia pinang naskahnya dan rata-rata mereka hanya bisa bertemu di hari libur.
Oci menghela napas kasar lalu mengusap wajahnya yang sudah sangat berminyak. Sepertinya ia harus segera melanjutkan perjalanan.
Satu setengah jam kemudian ia sampai di parkiran rumah sakit besar di kota Bandung. Wajahnya begitu gusar. Bagaimana tidak, saat ia baru saja memulai perjalanan dari rest area, Omar menghubunginya dan mengatakan bahwa kondisi Fatma memburuk. Omar juga meminta Oci untuk langsung datang ke rumah sakit
"Omar." Dua remaja laki-laki menoleh saat mendengar seseorang memanggil salah satu diantara mereka. Oci jelas tau salah satu dari mereka adalah adeknya, namun ia tidak mengenali siapa laki-laki yang berada di samping Omar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Traumas [End]
RomanceHanya dalam tiga hari, hidup Oceana berubah total. Ia yang awalnya merupakan seorang wanita dengan prinsip tidak akan pernah menikah tiba-tiba diharuskan menikah dengan seorang pria yang sangat ia kenal. Bukan teman, sahabat, ataupun pacar, tetapi a...