Pintu ruangan Radhit terbuka, menampilkan sosok Galang dengan muka tengilnya.
"Makan siang?" tanya Galang, "Oh, iya sekarang udah ada yang bawain bekal," lanjutnya.
Namun, baru saja Galang akan menutup pintu, suara Radhit terdengar, "Gue ikut."
"Ya udah, ayo!" Tanpa banyak bertanya Galang berjalan mendahului Radhit.
"Lo jadi punya sekretaris baru?" Radhit bertanya tepat setelah Galang baru saja selesai memesan makanannya.
Galang mengangguk, "Ya gimana lagi, Dita udah mau ngelahirin. Menurut gue juga keputusan dia pindah divisi udah bagus daripada resign."
"Gue cuma khawatir aja sekretaris lo nggak betah kerja sama lo. Sejauh ini yang paling cocok sama tingkah lo cuma Mbak Dita."
Galang berdecak, "Itu, sih, mereka yang kurang asik."
Radhit terkekeh, Galang itu pinter tapi ngeselin, apalagi kalau jahilnya muncul.
Galang menatap ke arah segerombolan orang yang duduk tidak jauh darinya. "Kok Oci nggak gabung sama mereka padahal isinya cewek-cewek semua?"
"Oci hari ini nggak masuk."
"Kenapa?"
"Sakit."
"Pantesan aja lo nggak bawa bekal." Galang mengangguk paham. "Sakit apa? Hamil?"
Radhit menatap datar ke arah Galang, "Sejak kapan ada sakit jenis hamil?"
"Maksud gue, dia beneran sakit atau lagi hamil. Biasanya orang hamil kan mual-mual, nggak enak badan, pusing."
"Lagi demam aja."
"Serius? Emang udah di-testpack?" Galang memang sengaja memancing Radhit. Dia belum tahu saja kalau hubungan Radhit dan Oci belum sejauh itu.
"Mending lo makan makanan lo aja, jangan banyak ngomong." Radhit malas menanggapi ucapan Galang yang menurutnya tidak jelas.
Pembicaraan mereka terhenti hingga dering telepon dari ponsel Galang terdengar.
"Sekretaris gue udah dateng, gue ke sana dulu." Radhit hanya mengangguk lalu melanjutkan makannya.
Setelah 10 menit, ia kembali ke ruangannya. Ia baru menyadari tanpa Oci di kantor membuat dirinya sedikit hampa. Biasanya ia mencuri waktu untuk mengintip Oci yang sedang bekerja.
~~~
"Sudah tenang?" Sena berkata sambil menepuk pundak Oci. Tangis Oci sudah reda, tidak seperti saat sampai di tempat praktik Sena.
"Kemarin aku lihat tetanggaku bertengkar di depan rumahnya. Anaknya nangis dan itu bikin aku keinget semuanya lagi, mbak." Oci berkata dengan suara yang tersenggal. "Aku juga jadi takut sama Mas Radhit karena kalau lihat dia, aku jadi keingt ayah," lanjutnya.
"Suami kamu sudah tau kamu punya trauma ini?"
"Mas Radhit tau kalau aku punya trauma masa kecil, cuma dia nggak tau secara spesifiknya," balas Oci.
Sena mengangguk, "Lanjutkan, apa yang mau kamu keluarkan."
Oci menumpahkan perasaannya pada Sena. Ia menangis sejadi-jadinya. Hanya dengan itu, ia merasa lebih tenang. Merasa lebih kuat dan dapat menghadapi semuanya.
"Nggak papa kalau belum bisa bilang ke suami kamu, kamu bisa terbuka secara bertahap." Sena berkata sebelum Oci keluar dari ruangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Traumas [End]
RomanceHanya dalam tiga hari, hidup Oceana berubah total. Ia yang awalnya merupakan seorang wanita dengan prinsip tidak akan pernah menikah tiba-tiba diharuskan menikah dengan seorang pria yang sangat ia kenal. Bukan teman, sahabat, ataupun pacar, tetapi a...