06. Menjalani hidup baru

8.7K 522 0
                                    

Hari ini jadwal operasi Fatma akan dilakukan bersamaan dengan Oci dan Radhit yang akan pergi ke Kantor Urusan Agama untuk mengambil akta nikah mereka. Keduanya juga memutuskan untuk menambah jadwal cuti dan akan kembali ke Jakarta keesokan harinya.

"Kamu aja yang simpen." Radhit menyerahkan map berisi berkas-berkas pernikahan kepada Oci.

Oci hanya mengangguk menerima map yang disodorkan kepada dirinya. Masih tidak ada yang berubah dari Oci, gadis itu masih pendiam seperti biasanya.

"Mau brunch¹ apa?" Mereka memang tidak sempat sarapan karena harus mengantar Fatma menuju ruang operasi dan segera pergi menuju Kantor Urusan Agama sehingga sarapan dan makan siang kali ini akan mereka gabung.

"Mas Radhit mau apa?"

Radhit tampak berpikir, "Mau di cafe aja? Sekalian ngobrol tentang kita."

"Tentang kita?" Oci menampilkan raut wajah bingung.

Radhit terkekeh, "Banyak yang perlu kita obrolin."

Oci hanya mengangguk ragu, masih belum bisa mencerna maksud dari Radhit. Katakan saja Oci lemot karena memang begitu keadaannya.

Keduanya memasuki salah satu cafe yang cukup terkenal di daerah Bandung. Agak aneh memang orang datang berniat untuk makan bukan untuk nongkrong tapi Radhit dan Oci tidak memikirkan hal itu, sekarang yang penting perut mereka terisi.

"Kamu mau kita tinggal satu rumah atau sendiri-sendiri?" tanya Radhit sesaat setelah menyelesaikan suapan terakhirnya.

"Mas Radhit mau kita pisah rumah?"

Radhit menggeleng dengan dengan panik "Bukan, maksudnya aku takut kamu nggak nyaman aja kita serumah."

Raut wajah Radhit yang panik cukup menghibur bagi Oci. Ya, meskipun pendiam, Oci orangnya receh banget.

"Dari apartemen aku ke kantor sekitar 10 menit kalau nggak macet. Kira-kira lebih deket mana dari rumah Mas Radhit atau dari apartemen aku?"

"Masih deket dari apartemen kamu, kalau dari apartemenku sekitar 30 menit," balas Radhit. "Tapi kalau dari rumah kita cuma 15 menit."

"Rumah? Rumah siapa?"

"Rumah kita."

"Kita? Kok bisa rumah kita?"

"Rumah itu emang dibeli buat ditinggalin kalau aku udah nikah."

"Berarti itu rumah kamu."

Radhit menggeleng, "Rumah kita berdua."

"Mas Radhit kelihatan udah siap nikah, sayang banget nikahnya harus sama aku." Oci merasa Radhit sudah sangat matang dan siap untuk menikah sedangkan dirinya, berpikir untuk punya pasangan saja tidak.

"Emang ada yang salah kalau aku nikahnya sama kamu?"

Oci tampak berpikir, "Aku nggak punya persiapan apa-apa mengenai dunia pernikahan. Aku nggak tau bisa berperan jadi istri apa nggak."

"Ini pertama kalinya buat kita berdua, aku juga nggak tau bisa jadi suami yang baik atau nggak tapi kita bisa belajar sama-sama." Segala perkataan yang keluar dari mulut Radhit memang dapat membuat Oci tenang tetapi ia merasa semua itu tidak cukup untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa Radhit bukan seperti ayahnya.

"Mas." Radhit menoleh ketika mendengar panggilan dari Oci. "Kalau nanti Mas Radhit jatuh cinta sama perempuan lain, tolong kasih tau aku biar kita bisa menyelesaikan semuanya dengan baik."

Perkataan Oci mampu membuat Radhit terdiam. Oci dengan segala ketakutannya membuat Radhit ikut penasaran, seberapa besar luka yang diberikan masa lalu istrinya ini hingga ia tidak sanggup untuk mempercayai laki-laki lain bahkan suaminya sendiri.

Our Traumas [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang