"Mau makan siang lo?" tanya Galang ketika Radhit baru keluar dari ruangannya. Pria itu tidak berjalan sendirian melainkan bersama dua orang yang Radhit kenali.
Radhit mengangguk, "Mau kemana?"
"Makan siang di resto baru samping gedung, mau ikut?"
"Boleh." Daripada makan siang sendiri, Radhit lebih memilih bergabung dengan mereka.
Mereka menuju restoran dengan berjalan kaki karena jaraknya memang tidak terlalu jauh. Meskipun jam makan siang sudah datang, tetapi restoran yang mereka datangi tidak terlalu ramai karena karyawan lebih memilih makan di kantin yang disediakan ataupun makan di warteg yang letaknya di seberang gedung. Lebih murah dengan porsi banyak dibandingkan dengan restoran. Ya, tapi yang namanya Galang pria yang termasuk ke dalam golongan crazy rich pasti lebih memilih untuk pergi ke restoran ketimbang ke warteg. Beruntungnya ia masih mau jika diajak makan di kantin kantor.
"Makasih, pak udah di ajak makan siang bareng," ujar Wildan salah satu karyawan yang bekerjapada divisi marketing.
"Santai, lah. Saya juga bosen makan siang sama dia mulu," ujar Galang sambil menunjuk Radhit dengan dagunya.
"Emang siapa yang mau makan siang sama lo. Gue mau karena kebetulan ada Wildan sama Bima aja."
"Gue tau lo mau diajak makan siang karena istri lo nggak bisa diajak makan siang bareng, kan? Kurang baik apa, sih, gue," ujar Galang dengan tidak bersalah.
"Loh, Mas Radhit udah punya istri? Saya kira selama ini Mas Radhit masih sendiri." Tuh, kan. Emang dasar Galang yang mulutnya tidak bisa direm, Ingin sekali Radhit jahit itu mulut.
Radhit melirik tajam ke arah Galang yang tersenyum lebar tanpa dosa. "Iya, tapi emang belum ada perayaannya." balasnya disertai dengan senyuman.
Galang kembali menyahuti ucapan Radhit, "Jangan bilang siapa-siapa dulu, terutama yang cewek-cewek. Ini cuma kalian yang tau."
"Kalau itu pasti, pak," ujar Wildan dan diangguki setuju oleh Bima.
Radhit berdehem pelan, "Saya denger kemarin kamu ke Surabaya, Bim?" Ia berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Iya, mas, ngisi seminar di kampus saya dulu."
"Bukannya mau nyamperin pacar di Surabaya?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Galang.
Bima tampak bingung lalu terkekeh, "Kata siapa, pak? Saya aja nggak punya pacar."
"Saya cuma denger dari yang lainnya."
"Bisa-bisanya lo tau gosip-gosip bergitu." Radhit heran dengan sahabatnya itu.
"Lah, kan gue sering ngopi di pantry sama mereka. Pantry itu tempat paling aman buat gosip." Lihatlah, Galang memang tidak menggambarkan seorang direktur. Namun, begitulah prinsipnya, ia tidak mau terlalu gila hormat dan lebih memilih untuk berbaur dengan karyawannya. Lagian mereka sama-sama mendapatkan pendapatan dari sana, hanya berbeda tingkatan saja.
"Bukan kok, pak. Gebetan Bima kan ada di kantor kita juga," ujar Wildan yang mendapat tatapan maut oleh Bima.
"Enggak kok, pak, ngarang aja itu Wildan."
"Siapa, nih? Kok saya ketinggalan info gini," tanya Galang. Kalau gosip ini sudah menyebar pasti Galang sudah tahu, tetapi ia tidak mendenar apa-apa dari karyawan lainnya.
"Anak buahnya Mas Radhit, pak." Wildan masih menanggapi ucapan Galang meskipun Bima sudah mengkodenya untuk diam.
"Siapa?" Radhit ikut penasaran karena Wildan menyinggung anak buahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Traumas [End]
RomanceHanya dalam tiga hari, hidup Oceana berubah total. Ia yang awalnya merupakan seorang wanita dengan prinsip tidak akan pernah menikah tiba-tiba diharuskan menikah dengan seorang pria yang sangat ia kenal. Bukan teman, sahabat, ataupun pacar, tetapi a...