Seminggu berlalu, berita tentang Oci dan Azka sudah tidak terdengar lagi sejak kemarin. Namun, dua hari lalu ia mendapatkan berita dari Jessica bahwa wanita itu tidak sengaja mendengar Azka bertengkar dengan istrinya melalui panggilan telepon. Kelanjutannya Oci juga tidak tahu karena Jessica maupun dirinya tidak mau ikut campur dalam urusan mereka.
Sejak pagi kondisi tubuh Oci sedang kurang baik. Akan tetapi ia tetap harus berangkat ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya. Sejak berangkat pun, Radhit sudah berkali-kali menyuruhny untuk istirahat saja, tapi Oci benar-benar tidak bisa karena pekerjaannya yang menumpuk dan harus segera diselesailan.
Waktu menunjukkam pukul 10.00 dan ruang divisi editing terasa sepi sebab hanya tersisa Oci dan Namira. Jessica, Azka, Narendra, dan Pandu pergi untuk menemui penulis mereka masing-masing. Sedangkan Oci dan Namira masih terus berkutat dengan komputer di depan mereka.
"Mbak Oci, serius mau ambil naskah yang ini?" tanya Namira sambil menunjuk laptopnya.
"Emangnya kenapa?" tanya Oci yang kini telah duduk menghadap ke arah Namira.
"Jujur aja, penulisannya lebih rapi yang satunya," ujar Namira.
Oci mengangguk, "Ya udah, ajuin ke Mas Radhit kalau menurut lo yang satunya lebih bagus."
"Tapi Mas Radhit udah tertarik sama yang ini."
"Mas Radhit kan belum baca semuanya makanya dia minta lo teliti lagi. Lo yang baca jadi lo yang punya hak untuk milih naskah."
"Tapi beneran bagusan yang satunya kan, ya, mbak?" tanya Namira lagi.
Oci terkekeh, "Gue kan belum baca. Percaya diri aja sama yang lo kerjain."
"Takut kena marah," ujar Namira sambil meringis.
"Emang Mas Radhit pernah marah?"
"Enggak, sih, tapi kata Mbak Jess, Mas Radhit kalau marah serem," balas Namira seraya bergidik ngeri.
"Terima aja kalau dimarahin, bisa buat pembelajaran," ujar Oci lalu terkekeh.
"Mbak Oci pernah dimarahin nggak?" tanya Namira. "Nggak pernah, ya, pasti. Mbak Oci kan rajin."
"Pernah kok waktu baru masuk sini."
"Kok bisa, mbak. Kenapa?" tanya Namira.
Oci terkekeh mengingat kejadian saat pertama kalinya Radhit marah pada dirinya, "Sebenernya itu kesalahan bodoh yang fatal banget. Malu kalau diinget."
"Aku kira Mbak Oci nggak pernah buat kesalahan."
"Nggak mungkin, lah, Nam."
Percakapan mereka terputus saat telepon kabel yang berada di meja Narendra berdering. Baru saja Oci akan berdiri, Namira lebih dulu mencegahnya.
"Biar aku aja yang angkat, mbak," ujar Namira yang sudah berdiri. Ia berjalan menghampiri cubicle Narendra yang berada di ujung ruangan.
"Iya, dengan divisi Editor di sini." Suara Namira terdengar. Setelahnya ia melirik Oci, "Oh, iya, nanti saya sampaikan. Terima kasih," lanjutnya.
"Kenapa, Nam?"
"Mbak Oci ada yang cari di lobby," balas Namira. "Namanya Ibu Farah," lanjutnya.
Oci berpikir sejenak, "Farah?"
"Nggak kenal, mbak?" tanya Namira.
Oci menggeleng ragu. Ia tidak mengingat memiliki hubungan dengan orang bernama Farah.
"Ya udah, Nam, gue ke lobby dulu."
***
"Siapa yang nyariin, mbak?" tanya Oci kepada resepsionis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Traumas [End]
RomanceHanya dalam tiga hari, hidup Oceana berubah total. Ia yang awalnya merupakan seorang wanita dengan prinsip tidak akan pernah menikah tiba-tiba diharuskan menikah dengan seorang pria yang sangat ia kenal. Bukan teman, sahabat, ataupun pacar, tetapi a...