Oci membanting tubuhnya ke arah kasur yang sudah empat hari terakhir ia tempati. Memejamkan mata berharap semua yang terjadi hari ini hanya ilusinya karena tidak juga mendapat jodoh di umur yang beranjak 26 tahun.
Jika memang semuanya benar, Oci meruntuki mulutnya sendiri yang dengan seenaknya berkata bahwa ia akan menikah minggu depan. Ia berkata saat salah satu penulis di tempatnya bekerja bertanya 'Kapan menikah?' untuk kesekian kalinya. Nyatanya semua ucapan sembrononya dikabulkan oleh Tuhan.
"Kak Oci!" Suara pecah khas seorang laki-laki remaja membuat Oci membuka matanya.
"Kak Oci!" Panggilan kedua sukses membuat Oci berjalan menghampiri pintu kamarnya.
Tidak ada kata yang keluar dari mulut Oci, namun Omar sudah mengerti maksud dari tatapan kakak perempuannya tersebut.
"Ada Mas Radhit di ruang tamu." Omar terlihat memotong ucapannya. "Bunda sebenernya nyuruh Mas Radhit langsung ke kamar kakak tapi Mas Radhit minta aku tanya dulu boleh apa nggak."
"Bentar lagi aku turun, mau cuci muka dulu." Omar mengangguk lalu pergi dari hadapannya.
Sesungguhnya fisik dan otaknya lelah. Kejadian tadi siang membuat Oci ingin sekali memejamkan mata, satu jam saja, namun bagaimanapun ia harus menemui seseorang yang kini telah menjadi bagian dari hidupnya.
Oci memang telah menerima lamaran dari Radhit tetapi ia tidak menyangka bahwa Fatma langsung menyuruh mereka menikah keesokan harinya setelah Radhit menyampaikan maksud untuk menikahi Oci. Niat keduanya untuk saling mengenal terlebih dahulu mendadak buyar karena nyatanya mereka telah menjadi pasangan suami istri.
Pernikahan secara siri yang mereka lakukan karena memang untuk mengurus pernikahan ke Kantor Urusan Agama tidak bisa secepat itu.
"Lama banget, sih, kak. Radhit udah nungguin dari tadi." Baru saja keluar dari kamar tapi sudah disambut oleh omelan Liliana yang memenuhi ruangan.
"Habis cuci muka, bun," balas Oci seadanya.
Liliana hanya mengangguk, "Kalian ngobrol aja yang tenang, bunda sama Omar mau ke supermarket dulu?"
"Sekarang?" Bisa gila Oci jika ditinggal berdua dengan Radhit di rumah.
"Iya lah." Liliana mengambil tas jinjing yang sudah ada di atas sofa sejak tadi. "Mar, ayo!"
Sekali panggilan saja, bocah 17 tahun tersebut langsung keluar dari tempat persembunyiannya. Maklum lah, siapa sih yang bisa mengalahkan kekuatan teriakan ibu-ibu. Sekali teriak, harus langsung berangkat jika tidak ingin kena semprot.
Setelah kepergian Liliana dan Omar, kini hanya tinggal sepasang pengantin baru yang duduk berhadapan di ruang tamu. Mereka masih sama-sama diam dengan pikiran masing-masing.
"Ci."
"Iya, Mas." Oci sering berdiskusi berdua dengan Radhit saat di kantor, namun mengapa sekarang terasa lebih menegangkan.
"Maaf, padahal rencana kita nggak kayak gini." Radhit terlihat mengembuskan napas berat. keputusan untuk menikah dadakan cukup memberatkan bagi Radhit.
Jujur, Oci benar-benar belum bisa mencerna apa yang terjadi selama empat hari ini. Bertemu dengan atasannya secara tiba-tiba di ruangan Fatma lalu menikah atas keinginan Fatma dan kenyataan membuat Oci sadar bahwa sejak tadi siang ia resmi menyandang status sebagai istri dari atasannya sendiri.
"Gue tau kita masih butuh banyak persiapan untuk kehidupan pernikahan ini tapi gue sendiri punya prinsip nikah sekali seumur hidup dan gue yakin lo juga kayak gitu." Oci mengangguk pertanda setuju dengan ucapan Radhit. "Ayo, Ci kita bangun rumah tangga seperti pada umumnya!" Oci tergelak, sejujurnya ucapan Radhit lebih seperti seorang pejabat yang berkampanye, namun sukses membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Traumas [End]
RomanceHanya dalam tiga hari, hidup Oceana berubah total. Ia yang awalnya merupakan seorang wanita dengan prinsip tidak akan pernah menikah tiba-tiba diharuskan menikah dengan seorang pria yang sangat ia kenal. Bukan teman, sahabat, ataupun pacar, tetapi a...