Sudah tiga bulan sejak Vion memutuskan untuk pindah dan menetap di Jakarta. Tiga bulan itu juga ia menjauhi kabar-kabar yang dapat membuatnya kembali mengingat rasa sakitnya.
"Al, sendiri aja lo." ucap seorang lelaki yang datang dengan membawa gitarnya.
Lelaki yang dipanggil Al itu tersenyum.
"Rokok?" tawarnya, Vion menggeleng.
Alvion Mahendra. Lelaki yang resmi mengganti namanya sejak satu bulan lalu itu adalah Vion.
"Lo kenapa ninggalin jabatan gede demi pindah kesini?" tanyanya sambil sesekali menghisap rokok.
"Gua ga ada alasan buat itu sih, Feb." jawab Vion.
Febri Simatupang. Teman dekat Vion semenjak ia memulai kuliahnya dikampus baru ini.
"Kalo gua ya, ga akan ditinggal dah jabatan gede gitu, sayang banget tau Al." Vion hanya tersenyum menanggapinya.
Vion memangku gitar milik lelaki yang didekatnya itu, sesekali ia memetik senar gitar tersebut.
"Nyanyi dong, siapa tau bulan depan lo bisa ikut campus fest."
"Ga minat."
Semenjak menjadi Al, Vion benar-benar berubah menjadi sosok yang lebih diam dan hanya berbicara seperlunya saja. Bahkan ia tak pernah pulang ke Bandung sekedar menemui orang tuanya, alasannya karena tak ingin jika masa lalunya kembali terputar.
"Hari ini ada balapan, lo mau ikutan ga?"
"Dimana?"
"Tempat tulang gua."
Vion mengangguk. "Gua ikut."
Febri merangkul pundak Vion. "Jangan cuek cuek lo, kasian yang ngejar sampe pada tipes."
Vion terkekeh, memang gosip tentang beberapa wanita yang tipes itu karena ulahnya, katanya karena Vion terlalu cuek dan dingin.
"Bawaan lahir gimana dong." Febri menggeleng.
"Sesekali bikin mereka stroke lah jangan tipes doang." Vion kembali terkekeh.
"Sialan lo." keduanya tertawa lepas diatas rooftop kampus sambil menikmati semilir angin sore ini.
***
Sepulang dari kampus Vion dan Febri menuju sirkuit yang sudah dijanjikan tadi siang.
Ya, setelah pinda ke Jakarta kehidupan Vion berubah drastis. Yang dulu ia menjabat sebagai presma dan berwibawa, sekarang ia menjadi mahasiswa biasa dengan geng motor yang sudah seperti keluarga sendiri.
Tenang saja, Vion masuk geng motor dengan izin orang tuanya kok jadi aman.
"Lo istirahat dulu aja gua mau ke tulang dulu." Vion mengangguk dan merebahkan tubuhnya di kasur milik Febri.
Perlahan ia memejamkan matanya, bayang-bayang tiga bulan lalu kembali muncul dalam ingatannya. Ia yang dengan tegas menjauhi Chika.
"Apa keputusan gua salah ya?" gumamnya.
Setelah pertemuannya dengan Chika kala itu, ia mulai membereskan segala hal yang ada di kampus. Mulai dari melepas jabatannya menjadi presbem, lepas jabatan sebagai demisioner, dan CEO.
"Al, mau makan ga lo?" tawar Febri.
"Boleh, mau pesen apa?"
Febri berjalan menghampiri Vion dan duduk disebelah Vion.
"Mukidi aja lah biar cepet, udah ga kuat laper banget." Vion mengangguk dan mulai memesan makanan untuknya dan Febri.
"Ortu lo apa kabar? Terakhir ketemu pas nganterin lo ke apartemen."
KAMU SEDANG MEMBACA
Friendzone (?) [VIKUY]
Teen FictionKisah tiga manusia yang terjebak cinta segitiga. "maaf, aku ga bisa apa-apa." "pergilah, dia rumahmu yang sebenarnya."