21. Dinner

42 16 5
                                    

"Dy."

Suara panggilan itu terdengar tak asing bagiku. Aku seperti mengenal suara itu, ya benar, suara itu suara cowok yang masuk ke daftar cowok favorite ku. Aku dan cowok Stevan ini melihat ke arah pemilik suara itu.

Dino mengerutkan keningnya, lalu mengganti kerutan dahinya dengan seulas senyum di bibirnya. Oh tidak, bibirnya sangat indah, bentuknya yang kontras dan berwarna merah muda itu terlihat seperti buah delima yang baru dipanen. Aku penasaran, apa dia mengoleskan lipstik merah muda ke bibirnya?

Apa yang sedang ku pikirkan? Jelas saja, itu bukan warna buatan dari lipstik, itu lebih tampak seperti pewarna alami, warnanya memang merah muda pucat seperti seorang yang sedang menggigil kedinginan, kontras dengan kulitnya yang juga putih pucat seperti baru keluar dari lemari pendingin.

Itu terlalu berlebihan jika aku menyebutnya baru keluar dari lemari pendingin, dia tampak lebih masuk akal terlalu lama berdiri di bawah air conditioner daripada keluar dari lemari pendingin.

Aku dan dia tidak cocok untuk bersama. Ku sebut itu, walau aku menyukainya. Aku seperti pungguk merindukan bulan bila terus menatap nya. Ayolah, dia tidak mungkin suka juga padaku. Sangat tidak mungkin.

"Diary, Stevan," sapa nya dengan mengulang. Dia menambahkan dengan menyebut nama cowok di samping ku. Ku rasa, mereka memang saling mengenal. Stevan mengangkat sebelah alisnya, lalu merangkul bahu Dino dengan hangat.

"Hey, bro."

Mereka mengobrol di depan ku. Aku tidak salah mendengar, jika mereka menyebut nama "Stella" yang aku baru mendengar nama itu tadi pagi dari mulut Reza. Stella mantan pacarnya Dino dan Stevan juga mengenalnya? Tidak salah lagi, itu mengapa Stevan menyebut nama Dino dan Glen beberapa saat yang lalu, itu karena Stevan teman Dino dan Glen.

"Senang ketemu sama kamu Din. Aku harap, kita akan ketemu lagi di pesta nanti. Stella udah nggak sabar ketemu kamu." Stevan menepuk bahu Dino dua kali, setelah itu berjalan menuju ke mobilnya.

Apa aku baru saja berbicara dengan cowok kaya? Aku bahkan baru tahu kalau cowok itu pergi ke minimarket dengan mobilnya. Tapi, bukan kah itu mobil yang sama dengan mobil dimana cewek yang menumpahkan minuman nya di atas kepala ku. Cewek itu, yang pastinya bernama Stella, masuk ke dalam mobil itu tadi pagi, mobil yang ditumpangi Stevan saat ini.

Tidak salah lagi, Stevan mengenal baik Stella, bahkan ku rasa dia keluarga Stella. Semua ini masuk akal, keluarga mantan pacar Dino tidak mungkin tidak mengenal Dino. Jadi masuk akal kalau Stevan mengenal Dino, dan juga mengenal Glen.

"Dy, kamu pulang dari sini naik apa? Mau bareng? Tapi tunggu aku beli minuman bentar ya." Dino meninggalkan ku sebelum aku mengatakan tidak. Apa aku perlu menyebut ini keberuntungan karena cowok yang ku suka mengajaku pulang bareng?




== 🍭🍭🍭 ==

Tidak ada percakapan yang berarti selain detak jantung ku yang terus berpacu. Ku lirik Dino yang sedang menyetir, namun ku alihkan pandangan ku saat tiba-tiba Dino menolehkan kepalanya ke arah ku. Aku berusaha bersikap biasa saja dengan menatap kaca depan mobilnya.

Dari ekor mataku, aku bisa melihatnya menatap sekilas ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Lalu kembali serius menatap jalan yang masih ramai dengan kendaraan yang melaju mendahului mobilnya.

"Ku rasa, sekarang masih belum terlalu malam buat makan bentar. Kamu mau nemenin aku makan nggak Dy?" tanya Dino. Mau. Mau banget!

"Tapi takutnya pulang nya nanti kemalaman," jawab ku dengan memainkan jari-jemari tangan ku di atas paha.

"Mungkin satu jam pun masih nggak terlalu malam Dy. Aku usahain nggak sampai di atas satu jam, gimana?" tanyanya dengan mengira-ngira perkiraan waktunya.

"Oke boleh deh," jawab ku akhirnya.

Dino memarkirkan mobilnya di salah satu restoran dengan hiasan lampion merah yang menyala. Serius, dia mengajaku makan di restoran ini? Aku berjalan di belakang Dino untuk menuju ke meja kosong yang dipilih Dino.

Di dalam restoran ini tidak terlalu ramai. Meja dan kursi nya tertutup kain putih yang halus. Di tengah-tengah meja terdapat lilin-lilin yang menyala. Dan waitres menghampiri kami untuk memberikan buku menu. Aku agak kebingungan dengan menu-menu yang akan ku pilih. Pertama-tama ku lihat daftar harga nya, dan tangan ku menunjuk ke menu yang paling murah.

Waitress menulis pesanan ku dan pesanan Dino, lalu mengulang apa yang di tulisnya, kemudian meninggalkan aku dan Dino untuk menyiapkan pesanan kami. Detik berikutnya, Dino menatap ku dengan heran, lalu menertawakan muka ku yang aneh.

"Kamu kayak tegang banget Dy. Kenapa?" tanya Dino. Dia nggak tahu aja kalau aku pernah meng-halu kan dinner romantis ini dengannya. Dan ini kayak mimpi di siang bolong. Walau konteks nya bukan dinner sungguhan seperti yang aku bayangkan kalau Dino menjadi kekasih ku, tapi tetap saja ini makan malam yang seperti Dinner.

"Nggak. Siapa yang tegang?" tanya ku berusaha tidak gugup di depannya.

Dino mengambil tisu di atas meja, lalu mengusap nya ke dahi ku.

"Nggak gugup, tapi keringetan. Kayak habis olahraga lari maraton keliling lapangan aja," ucap nya sambil mengusap keringat ku.

Aku memegang tangan Dino untuk menghentikan dia mengusap keringat di dahi ku. Namun saat ini aku merasa seperti membintangi sinetron romantis yang klise yang selalu ditayangkan di televisi. Adegan tatap-tatapan yang tidak pernah terlewatkan. Aku dan Dino saling bertatapan sekarang.

"Aku mau pulang," kataku dengan gemetaran. Tidak, aku tidak bisa menatap matanya begitu lama, ku turun kan mataku ke bawah.

"Makanannya aja belum datang, kamu mau pulang duluan?" ucap nya.

Tring! Tring!

"Bentar," kataku pada Dino. Ku baca pesan masuk di handphone ku. Ku kira Mama menyuruh ku pulang, namun ternyata pesan ini dari Celia.

Dy. Gimana pun juga, kita harus tahu siapa orang tua kita. Dan apa alasan mereka nitipin kita ke panti asuhan. Aku mau ke panti asuhan pelita besok pagi. Kamu mau ikut?

Aku merenungi pesan Celia. Dan di tengah lamunan ku, tiba-tiba saja terdengar suara tembakan yang memekakkan. Semua pengunjung di dalam restoran terkejut. Itu tandanya tidak hanya aku yang mendengar suara tembakan itu, tapi semua orang juga mendengarnya.

"Dino, itu beneran suara tembakan?" tanyaku dengan melotot ke arah Dino, Dino menggenggam tangan ku dengan erat.

"Aku juga nggak tahu Dy. Tapi kayaknya ada sesuatu yang nggak beres," jawab Dino yang membuatku semakin takut.

"Tiarap kalian semua!" Bentak seorang pria dengan pakaian hitam dan kupluk hitam. "Jangan ada yang bergerak!"

Aku, Dino, dan semua orang di dalam restoran panik setengah mati. Pria itu sepertinya ingin merampok atau hal yang semacamnya. Aku memegang tangan Dino sangat erat, begitupun Dino juga melakukan hal yang sama.





== o0o ==

Jangan lupa vote dan komennya ya.
See you di bab selanjutnya

Nerd Girl Falling in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang