18. Romanctic

55 26 15
                                    

Meeting di food court pada hari itu membuat kami saling bertukar nomor, sehingga Beni bisa menghubungiku dengan mengirim pesan singkat yang memintaku datang ke taman belakang museum kapal perang, dan dia menungguku untuk mengembalikan sepatu ku. Sepatu pantofel ku yang hilang dua tahun lalu itu, akhirnya kembali lagi padaku. Aku sungguh tidak percaya.

Aku tiba pukul enam malam ke tempat yang Beni katakan. Dan, oh apa ini? Banyak lampu warna-warni dihias membentuk lingkaran di tempat kaki ku berpijak. Instrumen lembut mengalun ke telinga ku, aku mencoba mencari sumber suara itu dan menemukan sound speaker yang di pasang di atas pohon.

Satu lagi yang membuat jantungku hampir melompat, Beni tiba-tiba muncul dari balik pohon dengan membawa kotak yang ku rasa berisi sepatu ku. Dia menghampiriku dan memberikan kotak itu padaku. Isinya sepatu ku yang sudah lama ku relakan, namun akhirnya datang lagi padaku.

Beni memberikan kotak itu padaku, untuk aku memegangi kotaknya. Lalu mengambil sepatuku di dalam kotak itu, dan memakaikannya di kaki ku, dimulai dari kaki kanan ku.

"Pangeran yang tampan ini mau memasangkan sepatu ke kaki tuan putri, Cinderella," canda nya. Bukan hanya jantung ku yang terkejut, namun pipi ku juga bersemu merah. Oh, ayolah, aku tidak mungkin terbawa suasana dengan candaan Beni.

"Thanks," balas ku dengan mencandainya.

"Sekarang Cinderella mau jadi pacar ku?" tanya Beni. Aku sungguh tidak mengerti dengan pertanyaannya kali ini. Kekasih? Kekasih apa maksudnya? Tolong, katakan kalau dia benar-benar tidak meminta ku untuk menjadi kekasihnya yang sungguhan.

"Girl friend?" tanyaku dengan bingung.

"Bercanda. Tapi kalau kamu mau juga nggak apa-apa sih," ucap nya dengan tertawa geli.

Baiklah, aku tidak marah, hanya bingung saja. Dia berusaha mengembalikan sepatuku dengan baik, hingga harus menyisihkan tempat yang unik seperti ini. Lampu warna-warni, instrumen lembut, dan memasangkan sepatuku di kaki ku.

"Mau naik perahu nggak?" tanyanya.

Kedua alisku menyatu, perahu? Ku lihat danau di sebelah taman yang terang berhias lampu-lampu di beberapa bagian jembatan di atas danau. Aku nggak berpikir untuk menaiki perahu di atas danau.

"Ada ya?" Aku menatap Beni tidak percaya. Beni menganggukkan kepalanya sambil dengan tersenyum.

Perahu itu sungguh ada. Beni menyewa perahu dari seorang bapak tua, lalu kami menaiki perahu dengan bapak tua yang mendayung. Ini seperti kencan saja, oh tidak, kenapa aku berpikir begitu.

"Sorry  tadi nggak bisa jemput kamu dulu. Waktu ku buat nyiapin lampu-lampu ini sangat mepet," katanya dengan memandang ku penuh penyesalan.

Pemandangan danau dengan lampu-lampu yang menyala terlihat cukup indah. Mungkin juga, aku akan menenteng sandal ku sampai di rumah, karena memakai sepatu ku yang di pasang kan Beni.

Malam ini pikiran ku sedikit senang karena naik perahu dan melihat lampu-lampu di atas danau. Walau waktunya singkat karena malam sudah sangat larut. Beni mengantarku pulang dengan mobilnya dan menitipkan pizza yang tadi ia beli untuk Mama, Papa, dan Reno.

Saat ini, aku sedang berbaring di atas tempat tidur dan mulai memejamkan mata karena mengantuk. Namun tiba-tiba saja terdengar bunyi ponsel ku yang berdering. Aku mengambil handphone ku di atas nakas dan melihat nomor Dino yang sedang menelepon ku.

Mataku buru-buru terbuka sangat lebar dengan melihat handphone. Dino benar-benar menelepon ku? Malam ini? Tidak, tidak, dia tidak hanya menelepon dengan panggilan suara, namun juga memanggil dengan panggilan video. Bagaimana ini? Kenapa dia menelepon ku malam-malam? Dan mengapa muka ku sangat jelek saat ini?

"Ada apa kamu nge video call aku?" tanyaku setelah membuka panggilan video nya. Ku posisi kan handphone ku ke setengah wajahku, agar wajahku tidak terlihat seluruh nya.

"Sorry, Dy, nelpon kamu malam-malam. Aku lagi nggak bisa tidur dan pengen nanyain pendapat ke kamu," ucapnya.

Lihat, wajahnya tampan sekali dari layar video call. Dia habis cuci muka ya? Wajahnya bening banget kayak air di pegunungan. Bibirnya yang merah muda itu pakai apa ya? Apa dia sering mengolesi bibirnya itu dengan madu? Tidak seperti bibirku yang merah pucat.

Oh, apa yang sedang ku pikirkan? Tadi dia mengatakan apa? Pendapat? Dia ingin menanyakannya pendapat padaku.

"Pendapat apa?" tanyaku.

"Asyila memang hobi meneror dengan pesan-pesan beruntun ya? Handphone ku mulai agak lemot gara-gara dikirimin spam chat sama Asyila. Seharian ini dia juga meneleponku sebelas kali," katanya dengan menggeleng-geleng kan kepalanya.

Apa? Aku tidak percaya Asyila senekat itu hingga menelepon Dino sebelas kali. Namun aku juga ingin tertawa mendengarnya.

"Kamu serius?" tanyaku yang masih tidak percaya.

"Serius," jawab nya. "Menurut kamu, kalau aku blokir bagaimana?" tanyanya. Aku berpikir cukup keras dan tidak mengetahui jawabannya.

"Aku nggak punya jawaban yang spesifik untuk hal itu," jawab ku yang tidak bisa memberikan pendapat apa-apa.

Selain itu, Dino juga menceritakan kegiatannya hari ini di kantor Papanya tempat dia jadi karyawan magang. Senior-seniornya selalu menyuruh dia melakukan pekerjaan-pekerjaan tambahan yang menyebalkan. Menyuruh ini-itu, dan dia tetap sabar karena statusnya sebagai karyawan magang.

Oh, rasanya aku sangat senang mendengar cerita-ceritanya tentang hari ini. Wajahnya yang tampan saat bercerita itu hingga terbawa ke alam mimpi ku. Aku dan dia sedang makan popcorn sambil menonton film yang di putar di layar lebar. Dia menggenggam tangan ku dan aku terjatuh dari tempat tidur dengan kepala membentur lantai.

Ah, rasanya kepalaku sakit sekali! Ini akibat aku mimpi terlalu indah dan tidak melihat kenyataan yang sebenarnya. Aku harus bersiap-siap untuk pergi ke kampus dan melupakan mimpiku yang indah semalam. Mimpi itu tidak akan menjadi kenyataan.








== 🍭🍭🍭 ==

Hari di kampus berjalan seperti biasanya, namun kali ini jam mata kuliah ku lebih terlambat lima menit dari waktu yang seharusnya. Setelah mata kuliah ku berakhir, aku berjalan ke luar kampus dan melambaikan tangan ke arah Fay dan Asyila yang sudah berada di kafe seberang jalan.

Aku hendak menyebrang jalan, sebelum seseorang menubruk tubuhku hingga aku terjatuh di dekat tempat sampah. Bahuku terasa sakit dan aku tidak mendengar kata maaf sama sekali darinya. Yang ku lihat saat itu sepatu berwarna pink dengan tali yang terikat rapi berdiri di dekat tempat sampah tempat ku terjatuh.

Kepalaku melihat ke atas dan mengamati gadis dengan celana jeans biru dan kaos yang berbalut cardigan merah melirikku matanya yang sinis dan senyum yang masam. Aku tidak kenal siapa dia, namun yang ku tahu dia keluar dari kampus yang sama dengan ku.

"Kalau nggak bisa jalan dengan baik, ngesot aja!" ucapnya dengan sarkas.

Dia lalu menumpahkan minuman dingin yang sedang dia bawa ke atas kepala ku. Lalu, berjalan menyebrangi jalan setelah membuang gelas minuman dinginnya yang telah habis ke tempat sampah di sebelah ku.

Mengapa aku diam saja? Pikiran ku masih syok mengingat apa yang ia lakukan dengan menubruk tubuhku dengan kasar dan menumpahkan minumannya di atas kepala ku, sehingga aku bukannya melawan malah berpikir.

"Dia siapa? Dan ada masalah apa dengan ku?"







== 🍭🍭🍭 ==

Tinggalkan vote dengan mengklik tombol bintang di bawah ya,

Dan ajak teman-teman kalian untuk baca cerita ini untuk baca cerita Cinderella Gadungan ya

Komen di bawah supaya author semangat melanjutkan bab selanjutnya

See you di bab selanjutnya

Nerd Girl Falling in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang