25.

720 25 14
                                    

Rasanya Jeno ingin merutuki dirinya sendiri.

Sungguh di luar kendalinya saat ia mengatakan kata-kata menyakitkan itu pada Jaemin padahal ia sendiri tahu bahwa istrinya memiliki mental yang lemah dan tidak mudah menerima kenyataan begitu saja. Harusnya Jeno bisa bicara lebih baik tanpa mengedepankan emosinya.

Kini di saat menyadari Jaemin-nya telah kabur dengan membawa seluruh pakaian juga barang-barangnya, Jeno menjadi sadar bahwa hatinya sekacau ini. Malam hari tepatnya dia menggila. Ia mencari Jaemin ke jalanan hingga ke sudut kota. Menelpon beberapa kenalan Jaemin, termasuk orang terdekat-nya, bahkan sampai mengecek penerbangan atau perjalanan darat kereta api. Syukurlah tidak tercantum nama istrinya. Hal itu berarti Jaemin masih di dalam kota. Tinggal mengecek beberapa penginapan di untuk mencari namanya, yang sayangnya tidak semudah itu. Jeno harus menunggu lebih lama menemukan istrinya jika itu lewat tangan orang lain.

Rasanya Jeno benar-benar pantang pulang sebelum bertemu Jaemin, tapi menyadari ada seorang lain di rumahnya —yang parahnya dia pula sedang hamil anaknya. Harusnya Jeno sedikit lebih khawatir dan adil jika tidak mau kehilangan ke dua-duanya.

"Ada yang ingin ku sampaikan padamu." Jeno yang sebelumnya duduk di ruang tamu sambil menutup wajahnya dengan tangannya tiba-tiba terkejut akan kedatangan Chenle.

Menyadari berapa lamanya dia mencari Jaemin sampai sempat melupakan sosok satu ini membuat Jeno ditimpa penyesalan. Apakah dia sudah makan, bagaimana nutrisi bayinya hari ini, tapi seketika itu menjadi tidak penting karena tahu Chenle pasti bisa mengurus dirinya sendiri.

Hal lain yang menjadi tebakannya adalah bahwa ada sesuatu yang tidak Jeno tahu antara Jaemin dengan Chenle. Keadaan tampak baik-baik saja di hari sebelumnya tapi semuanya mendadak kacau saat Jaemin mengetahui segalanya.

"Aku tahu pasti ada sesuatu menyangkut perginya Jaemin. Kau bisa bercerita kepadaku, tapi tolong untuk berterus terang karena aku tidak suka menerima kebohongan, Chenle?" Ungkap Jeno setengah memohon. Dibiarkannya Chenle duduk di kursi yang sama di sampingnya, dan mereka pun menjadi saling menatap.

"Siap bercerita?" Pancing Jeno mencoba lembut, demi mendapat kebenarannya.

"Aku mengatakan pada Kak Jaemin bahwa aku menyukaimu."

Jeno membeku sesaat di tempat. Mengetahui ini bukan waktunya untuk emosi. Chenle mengatakan secara terang-terangan dan itu patut diberi apresiasi.

"Lalu?"

"Aku tidak tahu bagaimana Kak Jaemin menemukan berkas pernikahan kita, namun sebagai pengawalan aku ingin mengungkapkan perasaanku lebih dulu." Menghirup napas panjang, Chenle mencoba mengatakan perasaan dengan sejujur-jujurnya. 

"Aku menyukaimu dari dulu Jeno, semenjak kita pertama kali bertemu di club saat kau menyelamatkanku dari preman-preman itu. Kau mungkin tidak akan ingat itu, walau aku telah memberikan nomor teleponku tapi kau sama sekali tak mencoba menghubungiku."

Jeno mengangguk. Walau tidak ingat betul apa yang coba Chenle ingatkan. Ia begitu menghargai keterus terangannya.

"Bukan berarti aku tak punya perasaan apapun saat kau mencoba memintaku untuk menjadi simpananmu Jeno, aku memikirkannya semalaman. Sampai aku nekat pada sebuah keputusan, bahwa tidak apa-apa jika aku menerimamu. Kau adalah orang yang layak untuk kupertaruhkan hidup dan masa mudaku. Kau orang baik, aku merasa bahwa kau tidak akan menyia-nyiakanku nanti."

"Kau tahu resikonya dan kau masih bertahan?" Tanya Jeno menyembunyikan keterkejutannya.

"Aku tetap bertahan walaupun istrimu tidak memperlakukanku sebagai manusia, melainkan sosok alat yang hanya diambil manfaatnya. Kau tahu betapa menyebalkannya hal itu?"

HIDDEN CASTLLE (Nomin feat Chenle) REPUBLISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang