2.

965 51 0
                                    

"Berikan aku kondom!"

Sosok mungil berambut merah itu berdiri angkuh mendekati kasir minimarket dimana tepat di belakangnya terdapat rak yang memajang barang yang ia cari. "Yang rasa stroberry, tiga!" Sambungnya bernada perintah membuat siapapun menjadi tertantang.

Penjaga kasir yang tak lain sosok paruh baya itu menggelengkan kepala. Toko sedang lenggang. Entah menjadi sebuah bencana atau berkah ketika yang datang adalah sosok seumuran yang tingginya sama dengan anaknya yang masih SMP. "Kukira kau harus pulang mengerjakan PRmu nak."

"Apa maksudmu Pak tua, kau menolak uang dariku?" Balasnya sengit.

"Uangmu lebih berharga jika kau gunakan membeli barang yang berguna."

"Tentu saja uangku juga lebih berharga jika digunakan ke dokter kandungan."

Menghela napas panjang. Alih-alih peduli pada dunia pendidikan masa kini atau memang mental remaja yang memang sudah lama rusak. "Perlukah aku telpon gurumu, nak?"

"Telepon saja alumni sekolaku jika kau mau." Terkejut tapi masih menolak percaya. Penjaga kasir itu menatap selidik pada sosok semampai, wajah oval dengan mata sipit dan hidung yang tak seberapa mancung disertai bibir mungil yang terus menerus menampilkan seringaian. Alat pendeteksi kartu identitas sedang rusak sekarang, untuk itu dia tidak mau dibodohi berujung tokonya ditutup polisi.

Sosok depan itu berujung menghirup napas panjang. Bukan sekali dua kali seseorang menganggapnya anak SMP ingusan hanya karena paras anak-anaknya yang menipu. Dia dua puluh tahun sekarang. Apapun sudah bisa dia lakukan dengan legal.

"Le, mengapa lama sekali, kau beli apa saja?" Sampai akhirnya suara dari luar menginterupsi masuk ke dalam. Ketika dilihat, temannya itu sedang beradu pandangan dengan penjaga kasir.

"Lihat Jis, dia menolak memberi kita kondom. Jika kita bocor suruh saja dia yang merawat bayi kita." Celotehnya kesal pada pria tinggi yang sekarang ikut masuk. Menarik dompetnya cepat, mengeluarkan uang berlebih beserta kartu identitas.

"Tolong lain kali berikan saja apa yang dia mau. Kau hanya orang kesekian yang tertipu dengan wajah SDnya. Dia sudah dewasa, ngomong-ngomong." Jelas pria bernama Jisung itu panjang lebar. Lebih sopan dan lebih menghormati manusia di depannya ini. "Terima kasih, ambil saja kembaliannya."

"Dia kekasihmu?" Pertanyaan lanjutan sebelum mereka mencapai pintu keluar. Mengapa orang jaman sekarang suka ikut campur dengan urusan orang?

"Bukan, aku jalangnya!" Dan jawaban itulah akhir dari pertemuan mereka. Sekaligus betapa malasnya dia ke toko itu lagi.

Sebut saja Zhong Chenle, mahasiswa semester satu jurusan Bisnis Manajemen. Namanya sudah melejit sejak jaman orientasi atas aksinya menantang senior-senior brengsek yang suka menindas. Mempunyai 2 juta pengikut di sosial media-nya, maka tidak sulit untuk merekam berbagai aksi lalu dibagikan di feed-nya, menunggu lima detik untuk banyaknya respon yang muncul dan finnally, takdir akan selalu ditentukan oleh netizen.

Chenle itu cenderung apatis. Menolak berteman dengan siapapun karena semua orang adalah fake. Selalu ada give and take dalam pertemanan dan bagi Chenle dia yang sudah mempunyai kelebihan, tidak ingin membagi.

Sikapnya yang seenaknya sendiri tentu menjadi incaran siapa pun untuk menjadi obyek pembalasan dendam bagi orang-orang yang tak mau berpikir dan terjebak dalam rasa egoisnya sendiri. Untuk itulah, Chenle butuh tameng.

Park Jisung bisa dikatakan adalah satu-satunya pria yang dekat dan diterima. Keberadaannya yang selalu menempel pada Chenle membuat siapapun berasumsi mereka mempunyai hubungan khusus. Tidak ada yang bisa mengerti Chenle sebaik Jisung tapi sebaliknya Chenle tidak mau tahu atau bahkan peduli pada hal apapun tentang Jisung. Termasuk dari bagaimana pria itu menatap dengan sorot teduh berbinar miliknya. Bahkan siapapun mengerti bahwa Jisung telah secara terang-terangan menyukai Chenle. Tapi entahlah hubungan tidak pernah ada kemajuan atau memang Chenle yang tidak menginginkan semua itu terjadi.

"Kau tahu Jis, kemarin ada seorang dosen yang terang-terangan memintahku menjadi simpanannya." Ungkapnya begitu terang-terangan di depan cafe tempat orang berlalu lalang. Tidak peduli ucapannya didengar orang, Chenle bahkan sesantai itu memasukkan kondom yang baru dibelinya tadi ke dalam dompetnya dan sebagian ke dalam dompet Jisung. Katanya sangat tidak keren jika anak kuliahan tidak mempunyai stok kondom di dompetnya.

"Berhenti melakukan itu Le?" Jisung menarik dompetnya ketika merasa tak nyaman dengan orang yang memandangi mejanya aneh.

"Walau kau tak pernah tidur dengan siapapun Jis, setidaknya itu membuatmu terlihat keren."

"Aku hanya ingin tidur dengan orang yang aku cintai, mengerti?"

"Oh shiitt... Kau masih percaya pada romance picisan itu Jis?" Pekik Chenle. Dalam hatinya menertawakan prinsip temannya ini yang tidak mau bercinta sebelum menikah. Ayolah, Jisung memang terlalu polos apa pura-pura polos. Walau umurnya satu tahun dibawah Chenle, tidak ada yang cukup percaya diri mengaku perjaka diusia itu.

"Lanjutkan ceritamu yang tadi." Jisung menggelak. Mencari celah agar lepas dari komentar Chenle.

"Yang apa?"

"Dosen yang ingin menjadikanmu simpanan dan memberimu nilai A?" Balasnya gusar. Masa bodoh dengan orang sekitar yang menatapnya sinis. Ia toh selalu seperti itu jika bersama Chenle.

"Ahh... Dia dosen baru pengganti." Menyesap milkshake favoritnya sekaligus mengingat hal apa saja yang terjadi di ruangan dosen kemarin. "Padahal aku sudah menawarkan tubuhku di awal tapi dia justru memintah lebih."

"Apa dosen itu berduit dan gemuk, sepertinya memang cocok untukmu?" Gurau Jisung. Mereka berada di fakultas yang berbeda, tentu Jisung tidak tahu menahu tentang salah seorang dosen yang menjadi pembicaraan publik. Dia hanya tahu bahwa Chenle suka menggoda, mewujudkan angan-angannya untuk menjual tubuhnya demi mendapat nilai A. Sayangnya selain itu, selera Chenle pun juga begitu tinggi.

"Kau benar aku musti mencobanya."

"Le, jangan main-main?" Rautnya berubah serius.

"Kau cemburu Jis?" Tebak Chenle.

"Aku kasihan pada istrinya jika kau sudah terlibat." Jisung selalu berhasil menyembunyikan perasaannya dengan baik. Memberikan beribu alasan agar perasaannya tertutupi dengan cara pencegahan. Sayangnya Chenle bukanlah sosok biasa jika sudah tertarik pada sesuatu. Dia itu nekat, dan parahnya lagi kenekatannya tanpa pandang bulu.

"Ah, kau benar juga?" Serunya setuju dengan masukan Jisung kali ini. "Jadi hanya itu alasanmu, bagaimana jika istrinya memang pantas untuk diselingkuhi?"

"Setidaknya biarkan mereka menyelesaikan urusannya sendiri kau jangan ikut campur." Ungkap Jisung lagi.

"Jis, jawabanmu masih belum membuatku puas."

"Serahkan semua tugasmu biar aku yang mengerjakan, kau puas?"

Senyum mengembang dari wajah kecil itu. Memajukan wajah untuk menatap Jisung lekat-lekat. Ini bukan kali pertama. Jisung yang notabennya anak fakultas hukum mengerjakan tugas pengantar ekonomi makro betapa bergunanya manusia dihadapannya ini.

"Kau baik sekali.. Rasanya aku ingin menyerahkan diri menjadi jalangmu saat ini juga." Bisiknya.

"Berhenti menyebut kata itu Lee?"

"Baiklah... bagaimana jika kusebut kekasih?"

Tak perlu menunggu lama untuk raut merah padam dari wajahnya. Jisung salah tingkah dan Chenle memang senang mempermainkannya.

-------------------------------



HIDDEN CASTLLE (Nomin feat Chenle) REPUBLISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang