14.

728 30 8
                                    


Apa yang dilakukan Jaemin selanjutnya. Saat merasa kesetiaannya berbuah penghianatan di depan matanya sendiri?

Sedetik ketika dia menyadari suaminya tidur bersama sosok lain, seluruh tubuhnya seakan lumpuh sulit untuk digerakkan. Beruntung dia bisa membalik badan dan menyembunyikan air matanya, langsung berlari ke kamar utama untuk menenangkan diri.

Setidaknya Jaemin butuh waktu semalam untuk mencerna apa yang baru saja dia saksikan. Bukankah seharusnya memang begitu? Keberadaan Chenle bukanlah sekedar tamu melainkan ada maksud tujuan, —memberinya anak, dan Chenle pun setuju untuk hal itu. Lalu ketika mereka berdua melakukan prosesnya mengapa rasanya sesakit ini?

Seperti jutaan jarum ditusuk ke ulu hatinya. Rasanya memberikan sakit yang perlahan namun pasti. Dan sungguh Jaemin bingung dengan apa yang dia pikir saat ini.

Sebut saja Jaemin memang egois, keras kepala atau sebodoh itu. Bagaimana mungkin dirinya mendapat bayi tanpa suaminya melakukan hal tersebut dengan orang lain. Bukankah dia sendiri sudah memikirkan masak-masak sebelum setuju dengan keputusannya?

Karena masalah sebenarnya adalah Jaemin terlanjur menyanyangi Chenle seperti saudara kandungnya. Lalu bayangkan bagaimana rasanya kedua orang yang disayang melakukan hal seperti itu di kedua matamu.

Hancur.

Menyedihkan.

Atau terkhianati?

Barangkali memang begitu seharusnya. Tapi Jaemin sudah tenggelam dalam perasaannya tanpa bisa dia berpikir jernih. Hebatnya, walau pun demikian dia toh tidak meninggalkan kewajiban sebagai seorang istri. Kegiatannya menyiapkan sarapan atau memilihkan pakaian kerja suaminya masih dia lakukan.

Lalu berikutnya, ia menemukan badan suamimya itu sedang tergelak nyenyak di sofa ruang tamu. Jeno tidak mau mengambil resiko untuk tetap tidur di kamar Chenle jika tidak ingin Jaemin menggila. Dia bangunkan suaminya itu dengan perlahan, lalu memasang senyum manis, seperti yang dilakukan setiap pagi.

"Sudah saatnya mandi." Begitu Jaemin berucap. Mengusap bisep Jeno perlahan. Agar dia segera pergi ke kamar mandi dan bersiap-siap.

Disamping dia menyiapkan makanan, datang Chenle yang sudah siap di tempat konter dapur. Hari ini Jaemin tidak membangunkannya seperti biasanya. Baguslah, dia jadi tidak bisa mencium bekas pergumuluan mereka semalam.

"Pagi Kak Jaemin...?"

"Hemm...." Ucapan ramah tamah itu disambut sekedar daheman.

Tidak seperti biasanya Jaemin yang menyambutnya ramah, bak seorang ibu kepada anaknya. Kini dibiarkannya Chenle mengambil roti sendirian dan menuangkan susu. Sementara Jaemin tidak ada niatan untuk menatap wajahnya barang sebentar.

Barulah ketika Jeno keluar dari kamarnya dengan setelan jas lengkap, mereka makan bersama di meja itu. Suasana yang cukup khikmat karena tidak satu pun yang berani memulai dulu. Pun suara sendok dan piring yang sedari tadi terus bersahutan.

"Chenle, aku sudah memesankanmu taxi di depan." Itu suara pertama Jaemin. Sebuah usiran yang dikemas dengan nada sehalus mungkin. Beruntung Chenle cukup paham situasi.

"Oh baiklah, aku berangkat...?" Jawabnya. Langsung berlalu dengan mengambil satu apel sebagai hidangan menutupnya.

Kini hanya dua orang di rumah itu. Jaemin dan Jeno. Dihinggapi perasaan canggung, dimana cepat atau lambat harus segera diatasi.

"Nana...?"

"Apa kau juga ingin berangkat tanpa menyelesaikan sarapanmu juga?" Respon tiba-tiba Jaemin membuat Jeno merasa beruntung. Karena Jaemin tidak mengurung diri sekaligus mendiaminya seperti semalam, melainkan masih sudi bicara dengannya.

HIDDEN CASTLLE (Nomin feat Chenle) REPUBLISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang