05. Rumah Sakit

136 16 0
                                    

Gus Arsha masih terdiam ketika mendengar pernyataan sekaligus permohonan dari sepupunya. Tidak pernah terpikirkan dalam benaknya jika Sania akan mengatakan hal itu. Dirinya melihat Sania yang tersenyum miris kemudian perlahan matanya terpejam, tubuhnya yang sedari tadi sudah terasa lemas kini semakin lemas dan akan terjatuh jika Gus Arsha tidak sigap menangkap tubuhnya.

Belum selesai terkejut dengan apa yang mereka dengar, keluarga Gus Arsha kini panic karena Sania kehilangan kesadarannya. Akhirnya mereka ikut membantu membawa Sania ke dokter. Dalam keadaan darurat seperti itu Bu Nyai sempat menghubungi Kaka Iparnya jikalau Sania Sakit. Namun, dirinya sedikit canggung ketika yang mengangkat teleponnya adalah Ibu Tiri Sania.

"Opo?" tanya Ibu Tiri Sania.

"Iki Sania pingsan mau dibawa ke dokter."

Terdengar decihan dari sebrang. "Merepotkan," bicaranya pelan, tetapi tetap bisa Bu Nyai dengar. "Yowes, nanti ke sana." Nada bicaranya kurang mengenakkan.

Setelah mengakhiri teleponnya Bu Nyai menghela napasnya dengan sabar. "Sania kuat ya, Nduk." Dalam hatinya Bu Nyai merasa kasian dengan nasib yang terjadi pada keponakannya.

Jika boleh memilih Sania bisa terlahir dari perutnya, Bu Nyai akan menyanyangi dengan sepenuh hati. Memberikan perasaan sayang yang tidak Sania dapatkan, memberikan sebuah dekapan untuk menguatkan dan memberikan sebuah nasihat agar perempuan itu tidak tersesat.

Meskipun Sania kini ditakdirkan sebagai keponakannya, dia menyayangi gadis itu dengan tulus. Tiba-tiba terlintas dalam benaknya bagaimana jika Sania menjadi menantunya saja? Bukankah dengan begitu beban yang gadis itu hadapi tidak akan lagi sama? Namun, tetap saja nanti tergantikan dengan ujian pernikahan dengan anaknya.

"Umi!" panggilan Ning Kaila menyadarkannya.

Bu Nyai menggelengkan kepalanya. "Umi engga ikut ya, Kail. Putri bentar lagi pulang sekolah pesantren juga engga ada yang jagain."

Kaila mengangguk mengerti dengan apa yang dikatakan Uminya. Kemudian dirinya pergi meninggalkan kediaman untuk ikut menjaga Sania.

***

Tidak ada satu pun orang di dunia ini yang ingin menderita. Dirinya tidak ingin membenci seseorang, tetapi dirinya juga tidak sesabar itu jika orang tuanya mengalami hinaan dan cacian setiap hari dari seseorang yang bahkan belum dirinya anggap sebagai keluarga. Apakah salah jika Sania membencinya dan tidak ingin bertemu lagi dengannya?

Apakah keluarganya yang menjadi buruk disebabkan karena amarah dan ketidak sabaran dirinya? Namun, semua orang juga tahu jika sifat manusia adalah merasa lelah dan penuh egoisme.

Lantas apakah salah jika dirinya menjauhi orang itu karena tidak ingin kesehatan mental dan hatinya terluka kembali. Semua ini rumit dan tidak mudah. Seandainya orang itu menjaga mulutnya mungkin kejadian ini tidak akan terjadi.

Kini Sania sudah diperiksa oleh dokter dan tangannya pun kini diinfus, gadis itu mengalami gejala tipes ditambah lagi stress yang menderanya. Dalam ruang inap itu Sania dijaga oleh Gus Arsha dan Kaila. Sementara Kiai Hasan sedang membeli makanan ringan.

Perlahan bola mata Sania terbuka, Ning Kaila dengan sigap mendekatinya. "Mbak," ujarnya sembari tersenyum.

Sania pun ikut memaksakan tersenyum tipis. "Aku di sini lagi, Ning?" Kini dirinya menunduk sembari tersenyum miris. "Kayaknya aku engga cocok deh berada di kota kelahiran sendiri." Meskipun dia berkata lemah, tetapi masih bisa didengar oleh keduanya.

Mendengarnya Gus Arsha mendekat dengan canggung. Apakah Sania mengingat apa yang dirinya katakana sebelum pingsan. "Hai, gimana? Yang sakit mana?"

Pertanyaan lembut itu seketika mengalihkan atensi Sania kepada sang pengucap. Sania menggelengkan kepalanya sembari menjawab, "Oke." Namun, siapa yang akan percaya mendengar jawaban itu ketika mereka menyaksikan sendiri bagaimana ketidak baik-baik sajaannya.

"Gus kenapa di sini lagi? Kenapa setiap aku lagi di sini dan masuk rumah sakit Gus selalu ada?" tanyanya penasaran.

Ning Kaila tersenyum medengarnya. "Iya nih, Mas Arsha setia banget," kompornya membuat Ning Kaila mendapat cubitan dan dikode untuk mengecek tangan Sania. Ning Kaila pun menurut dan menggerakkan dengan pelan tangan Sania.

"Mbak." Ning Kaila tersenyum lembut bagai seorang Adik yang menyayangi kakanya. "Aku beli buku gambar kebanyakan kemarin, nanti kalau kita pulang, gambar bareng-bareng yuk! Kita mengenal masa kecil kita, Mbak. Seruu ih kayaknya."

Gus arsha juga melihatnya. Laki-laki itu menundukkan kepalanya ketika air mata gadis itu menetes kembali. "Nanti kita ngegambarnya di kebuh Teh, pas udah selesai kita teriak bareng pasti lebih seru!" timbrung Gus Arsha.

Sania saat itu hanya mampu tersenyum, tidak sanggup lagi mulutnya untuk menjawab. Dia pun menggangguk bahagia, masih ada yang menyanyangi dan mengerti dirinya ternyata. Dia membuat sebuah kesalahan, tetapi Gus Arsha dan Ning Kaila memilih tidak menceramahi Sania. Dengan kata misalnya, "Buat apa sih, kamu ngalakuin itu?" "Engga sayang sama diri sendiri?" "Engga bersyukur banget Allah udah kasih tangan malah disakitin kaya gitu."

Menatap dalam Gus Arsha, Sania kembali membahas topic tadi. "Padahal Ayah juga engga selalu ada seperti Gus Arsha."

"Tau engga San, ada seseorang yang tau aib dan dosa kamu, tetapi tidak pernah meninggalkan kamu?" Gus Arsha melempar pertanyaan yang membuat Sania terdiam.

"Gus?" tanyanya.

Gus Arsa menjawab dengan gelengan kepalanya. "Bukan, bukan aku orangnya. Manusia tidak akan ada yang seperti itu, Sani. Allah, jawabannya. Dia tahu, melihat, mendengar dan menyaksikan semua apa yang sedang, sudah dan akan kita lakukan. Meskipun kita sudah terlalu banyak melakukan dosa dia tetap bersama kita. Bahkan saat kita tidak mengingat-Nya, Allah malah ingat kepada kita. Padahal bisa saja Allah memilih orang-orang alim yang banyak sekali di luar sana."

"Allah sebaik itu ya, Mas," komentar Ning Kaila.

"Itu baru kebaikan-kebaikan yang kita sadari, masih banyak lagi yang belum kita sadari."

Sania menautkan jemarinya pelan, lantas berujar, "Diantaranya banyaknya keberuntungan kayaknya aku paling beruntung karena bisa sedekat ini dengan Gus Arsha."

Sepasang Adik Kaka itu terdiam, terkejut di tempatnya. Gus Arsha tidak tahu akan menjawab apa, dirinya sudah lama tidak diperlakukan seperti itu dan kini semua kata yang ada dalam otaknya meng-abur seketika.

Keterdiaman Gus Arsha terus berlanjut sampai pintu terbuka dan muncullah sepasang suami istri, yang jujur saja kepada istri itu dirinya sangat membenci, perkataannya selalu berbisa. Untuk ini sebenarnya Sania tidak ingin dan tidak menyiapkan diri bertemu mereka lagi. Namun, suka tidak suka tetap saja dirinya akan bertemu, karena bagaimana pun mereka adalah orang tuanya.

Sania benci situasi seperti ini? Tidak mungkin kan dirinya terus menerus menghindari kenyataan?

Bersambung ....

Holaaa, Assalamualaikum, apa kabar semuanya? Maaf ya aku updatenya agak lama.

Semoga suka yaaa, jujurly aku sebwtulnya engga pandai nulis, tapi gimana dong aku udah suka nulis hihi.

Kalau kalian suka tulisan aku, boleh banget loh diajakin buat baca jugaa mumpung gratis ya kan?? Hihi

Yaudah jaga diri baik-baik ya. Kalau kalian ada apa-apa jangan dipendem cerita aja. Kalau mau cerita ke aku juga boleh dm instagram aku

Fwati6716

Papay ....

Mengejar Cinta Gus Arsha (5) {ON GOING}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang