02. Pengajian dan pria idaman

225 21 0
                                    

Suara pintu diketuk terdengar. Sania pun mengijinkan untuk masuk. "Mbak, mohon maaf waktu istirahat jenengan sudah habis. Mari ikut Kaila mengaji." Gadis itu menghampiri Sania dengan mata yang mengerling.

Sania menghela napasnya. "Aduh, Ning kayaknya kepalaku pusing." Dirinya berakting dengan memegang kepala.

"Mosoo?" raut pura-pura kecewa terpancar di wajah Ning Kaila. "Padahal sekarang ngajinya sama si Mas kesayangan."

Sania yang tadinya menunduk sembari memegang kepalanya, langsung kembali duduk tegak. "Ning, kayaknya aku harus ikut ngaji deh, pulangnya biar bisa beli obat."

Ning Kaila seketika mesem-mesem sendiri. "Aku beliin deh obatnya, Mbakku. Jenengan kan katanya cape." Gadis itu sengaja menyindir.

Sania bangkit kemudian memegang tangan Ning Kaila. "Gapapa Ning, aku kan kuat. Masih bisa lah buat jalan mah. Lagian aku engga mau ngerepotin." Lantas dirinya menyengir.

Dengan sengaja Ning Kaila berdeham. "Yaudah let's go, tapi jangan lupa niatnya karena Allah bukan karena jodoh."

Setelah tertawa Sania menjawab, "Laksanakan, Ning Kaila." Sembari hormat.

Keduanya pun melangkah beriringan sembari tersenyum. Hari ini seharusnya bagian mengajinya kiai Hasan hanya saja beliau ada tamu mendadak. Jadinya sang putra menggantikannya mengajar di asrama putri. Setibanya di madrasah Sania dan Ning Kaila mencari tempat duduk di barisan tengah, sengaja karena tidak ingin terlihat oleh Gus kesayangan semua orang itu. Akan ada waktu di mana dirinya nanti cari perhatian.

"Kalau Abi lagi sibuk emang udah biasa digantiin sama Mas Arsha." Ning Kaila bercerita.

"Pastinya, kan mas-masmu yang lain punya bagiannya masing-masing." Sania menanggapi, "Tapi seru kayaknya belajar bareng dia."

Ning Kaila tertawa. "Seruu seruu, tahu kan sifatnya kaya gimana? Yap, sedikit humoris." Sania tersenyum menanggapinya. Sejenak gadis itu berasa bernostalgia ke masa lalu di mana dirinya sering belajar bersama Gus Arsha semasa kecil. Perbedaan usia keduanya sebenarnya tidak terlalu jauh. Sania yang berumur delapan belas tahun dan Gus Arsha yang kini berusia dua puluh tiga tahun.

"Sani,ayo hapalin dulu sifat wajibnya." Gus Arsha kecil meminta.

"Males, Gus. Capee!"

"Aku kasih permen yupi loh nanti."

"Berapa berapa?" Gadis kecil yang awalnya tidak tertarik itu kini melirik Gus Arsha dengan berbinar.

"Satu," jawab Gus Arsha.

"Sepuluh." Sania bernegoisasi.

"Jangan banyak-banyak. Uang jajan aku dikit."

"Tujuh."

Gus Arsha kecil menarik napasnya. "Karepmu."

Sania tertawa sembari bersorak ria dengan cepat dirinya menghapalkan sifat-sifat wajib bagi Allah malah dirinya juga bersemangat dengan menambah hapalan sifat-sifat mustahil bagi Allah. Karena itu Gus Arsha diam-diam memperhatikan sepupunya.

Dengan iseng dirinya berujar, "Sani, kalau nanti kita udah gede satu rumah sama kaya Abi dan Umi gimana ya? Nikah kalau bahasanya orang dewasa."

Sania kecil berfikir. "Gus ngajakin Sania nikah?" tanyanya dengan wajah polos.

Gus Arsha menggeleng tidak terlalu mengerti dengan ucapannya. "Kayaknya."

Lamunan Sania pun buyar ketika seseorang dari pintu masuk merapalkan salam. Dia laki-lakinya, seseorang yang kini akan menjadi guru bagi santriwati di madrasah itu. Semua santri lekas menjawab salamnya. Pak Kiai Hasan sering memberikan petuah kepada santrinya jika mereka harus lebih dulu datang dibandingkan dengan gurunya. Jangan sampai gurulah yang menunggu murid.

Mengejar Cinta Gus Arsha (5) {ON GOING}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang