16. Permohonan

109 7 2
                                    

Lagi-lagi Arsha melihat jika mata Sania sembap, tidak ada gurauan atau basa-basi seperti biasanya. Arsha tidak harus bertanya apa penyebab, yang pasti yang salah adalah dirinya. Apakah sekarang Sania begitu terpuruk? Bukan Arsha yang kegeeran bukan?

Waktu terasa makin cepat berlalu. Kini Sania sudah mengetahui orang yang akan dijodohkan dengan laki-laki idamannya. Bolehkan Sania tidak menyerah semudah itu? Pantaskah dirinya berjuang, padahal dirinya seorang perempuan? Apakah harga dirinya akan menurun jika mengejar laki-laki terlebih dahulu. Namun, sungguh meskipun Sania agak takut untuk menikah, tetapi Arsha berhasil menyakinkan dirinya akan pernikahan yang tidak akan selalu berakhir buruk.

Laki-laki yang pengertian meskipun gengsian, Sania tahu Arsha tidak menyukai gadis itu. Maka dari itu Sania yang akan berjuang untuk kebersamaannya, jika Arsha hanya akan patuh kepada orang tuanya. Toh, sepupu juka bukan mahrom jadi mereka bisa menikah.

Kini Sania diam-diam memperhatikan interaksi Naya dengan temannya. Mereka sedang berada di sebuah madrasah, tempat pengajian sore kali ini. Selagi tidak sengaja menguping pembicaraan mereka, Sania melihat ke luar jendela di sana senja mulai menampakkan dirinya yang artinya pengajian sebentar lagi akan selesai. Sementara Pak Kiai sedang ada tamu yang tiba-tiba mencarinya di luar dan mereka harus menunggu Pak Kiai kembali baru bisa pulang.

Para santri memanfaatkan moment itu untuk bercengkrama da nisi bangunan itu lumayan terdengar berisik sekarang, tetapi anehnya pendengaran Sania tahu mana yang harus dirinya tahu dan mana yang tidak harus dirinya pedulikan.

"Ning Naya, gimana ta'aruf sama Gus Arsha?"

Naya tersenyum malu. "Alhamdulillah lancar. Doakan semoga segera ya dan niat kami membawa keberkahan."

Temannya mengaminkan sembari memuji Naya, "Iya, Ning. Cocok banget loh, kalian. Yang satunya ganteng, yang satunya cantik, yang satunya shalihah yang satunya juga shalih. Entah akan segemas apa anak kalian nanti. Pabriknya aja setelan princess dan prince."

Tertawa mendengar perkataan itu, Naya mengibaskan tangannya. "Ah, kamu mah udah berlebihan mujinya. Masyaa Allah."

Tidak bisa dipungkiri jika hati Sania kini panas membara, ingin sekali dirinya berteriak. 'hanya dia yang pantas buat Gus Arsha, hanya dia yang dengan tulus mencintai Arsha, cintanya juga lebih besar dari Naya.' Sania memutar bola matanya malas dengan perkataan-perkataan yang lain yang ikut mendengarkan dan malah memuji Naya.

Sania tidak peduli jika orang lain memandangnya rendah, dirinya hanya tidak ingin kehilangan sebuah rumah yang sudah menjadi tempat ternyaman untuk dirinya. Sania ingin egois. Dia tidak ingin menyerahkan kebahagiaannya kepada orang lain. Sudah cukup dirinya menderita masalah keluarga kini jangan lagi hubungan asmaranya.

Pak Kiai datang dan membubarkan pengajiannya. Sania sudah bertekad akan berbicara kepada Naya setelah shalat berjama'ah nanti. Matahari sudah terbenam dan mucul mega berwarna merah atau disebut juga syafaq dan sebagian ulama mengatakan jika batas waktu Maghrib adalah telah hilangnya syafaq.

Sembari menatap semburat merah itu, Sania menunggu Naya di luar masjid. Gadis itu perlu mengobrol, jika tidak hari ini takutnya tidak aka nada kesempatan lagi. Sania meremas jarinya dengan gugup. Bayangan jika Naya yang terlihat lembut di depan umum akan sangat naik pitam setelah mendengar perkataannya, membuat dirinya lumayan takut.

Sania melihat Naya keluar dan memakai sandalnya, untungnya sekarang gadis yang usianya lebih tua beberapa tahun itu sedang sendirian. Jadi dirinya tidak akan begitu malu. Sania menyemangati dirinya sendiri, "Semangat Sanii, kamu pasti bisa!"

Menghampiri gadis berkulit putih dengan senyuman manis yang terlukis di wajahnya. Naya ini adalah orang dengan positive vibes, kelihatan ceria dan memberikan energy positif untuk orang-orang di sekitarnya.

"Emang boleh sesempurna itu?" bisik Sania.

"Mbak, assalamualaikum." Sania bersuara.

Naya yang sedang membelakanginya berbalik, "Eh, waalaikumussalam, San-?"

"Sania," lanjut Sania.

"Ah iya, sepupunya Gus Arsha kan ya." Perempuan itu tersenyum tulus, sementara Sania merespon dengan mimic wajah menyebalkan.

"Boleh ikut saya sebentar? Saya ingin bicara."

Naya mengangguk, meskipun heran dirinya tetap tersenyum ramah. Mungkin saja gadis ini ingin lebih mengenalnya atau ingin menguji dirinya, seberapa cocok Naya untuk menjadi sepupu ipar Sania. Gadis yang lebih muda darinya ini membawa Naya ke sisi masjid sebelah kanan. Di mana di sana ada tempat duduk untuk yang ingin beristirahat sejenak atau bagi yang haid, tetapi ingin mendengarkan ceramah agama.

"Jadi gini Mbak, saya akan to the point." Naya mengangguk. "Saya gak suka Mbak Naya ta'aruf dengan Gus Arsha."

Dahi Naya berkerut. "Kenapa, San? Aku ada salah ya, sama kamu?"

Tanpa ragu Sania mengangguk. "Iya, salah Mbak adalah berta'aruf dengan Gus Arsha. Mbak, masih banyak laki-laki shalih yang mau dengan Mbak di luaran sana. Banyak, Mbak. Ngantri." Sania menekankan perkataannya, "Mbak, ngga harus Gus arsha yang jadi imam, Mbak."

Naya tersenyum. "Di antara banyaknya laki-laki mengapa Allah malah pasangkan saya menjadi calonnya Gus Arsha? Sepertinya bisa jadi karena jodohnya, San."

Mendengar itu bibir Sania terbuka lebar. "Yang saling kenal atau kebetulan kenal belum tentu jodoh dan bisa bersama Mbak. Contohnya saya dengan Mbak."

Naya terkekeh. "Lah iya, mana mungkin kita kan sesama perempuan."

Sania geram. "Bukan itu maksud saya, Mbak. Saya gak mau Mbak berjodoh dengan Gus Arsha, Mbak. Dia adalah rumah saya, Mbak ngga berhak mengambilnya. Mbak, saya udah kehilangan rumah ternyaman dengan bentuk bangunan. Tolong yang ini jangan Mbak ambil juga yaa? Please Mbak. Aku cuma minta itu aja, jangan sampai Mbak nikah sama Gus Arsha."

Bohong jika Naya tidak memiliki empati kepada gadis di depannya, Naya memandang gadis itu dengan dalam. Memang seberapa hancur kehidupan gadis itu? Sampai-sampai meminta seseorang kepadanya? Terlebih itu laki-laki.

Sania sudah berkaca-kaca, seharusnya Naya akan luluh kan dengan melihatnya sudah menangis? Setets air mata pun mulai turun melewati pipinya. Sania yakin Naya akan menyerah, mereka belum mengenal lama pasti belum terlalu cinta.

Naya mengambil tangan Sania lantas mengelusnya. "Seperti kata kamu tadi Sania, banyak orang yang mau sama kamu. Pertahankan harga diri kamu, banyak orang yang mengantri untuk menjadikan kamu sebagai makmumnya." Naya menepuk beberapa kali punggung tangan Sania.

"Mbak, tapi saya hanya mau Gus Arsha tolong." Sania memelas.

Naya terkekeh pelan. "Jawaban saya sama kaya kamu, siapa sih yang engga mau dengan sosok laki-laki sesempurna itu? Tampan, mapan? Tentu. Paham agama? Apalagi. Nasab yang baik, juga laki-laki yang penuh kelembutan, tetapi tetap memiliki wibawa dan sifat tegas."

Sania ingin memohon lagi. Namun, Naya kembali menyelanya. "Sania, saya akan tetap melanjutkan perjodohan ini. Tolong jangan memaksa saya untuk mundur. Assalamu'alaikum."

Naya pun pergi dengan Sania yang menatapnya dengan tatapan sendu. Ternyata Naya juga termasuk orang yang teguh dengan pendirian. Naya memang tidak kasar, kepadanya. Namun, perkataannya yang tegas dan tanpa keraguan membuat nyalinya sedikit menciut. Lantas sekarang dirinya harus bagaimana? Mengapa Sania yang hanya terus berjuang sendiri? Memang dia hanya bisa mengandalkan diri sendiri karena tidak mungkin juga dirinya meminta bantuan Gus Arsha. Rasanya seperti membawa diri ke dalam jurang jika seperti itu.

"Engga, gak boleh nyerah. Ini cuma ujian di awal buat hubungan aku sama Gus Arsha. Pasti ada jalannya, pasti Allah akan menolong. Pasti Allah maha melihat dan mendengar. Allah, tolong kabulkan doa hamba untuk Gus Arsha menjadi imam hamba, Ya Allah."   

.

.

.

Jangan lupa follow akun wattpadnya agar tidak ketinggalan info dan cerita seru selanjutnya. Thank you fo reading. Semoga suka :)

>> Cianjur, 17 Juli 2023

Mengejar Cinta Gus Arsha (5) {ON GOING}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang