17. Hukuman

106 7 2
                                    

Setelah beberpa hari Sania keluar dari rumah para tetanggan rumah mereka mulai membicarakan penyebab Sania tidak betah di rumah dan Iis merupakan dalang utamanya. Mendengar jika dirinya disalahkan dan nama baiknya mulai tercemar. Iis kembali tersulut api amarah, lagi-lagi Rasya sebagai pelampiasannya.

"Rasya, anak tidak tahu diri sini kamu!" teriaknya.

Mendengkus malas, Rasya yang sudah siap-siap mau keluar bersama pacarnya pun menghampiri ibunya terlebih dahulu. "Apalagi, Bu?"

"Gara-gara kamu yang terus nyiksa Sania, sekarang Ibu yang kena batunya. Kamu kenapa sih gak diam aja? Biar Ibu yang kasih dia pelajaran kalau dia salah! Kamu jangan bawa adik kamu buat bertindak hal yang tidak-tidak!"

Rasya memutar bola matanya malas, "Hah, apaan sih? Kemarin juga ide dia kali, Bu." Napas Rasya terengah-engah, jemarinya memegang erat tas selempangnya, emosinya begitu membuncah tatkala lagi dirinya di salahkan sementara adiknya tenang-tenang saja. "Emang otak anak tuh gimana pikiran Ibunya. Lihat aja punya ibu yang durjana begini, ke anaknya juga nurun."

"Rasya! Jangan bicara kamu. Kamu harus bersyukur, kalau gak ada ibu kamu gak akan lahir ke dunia ini! Dasar bocah gak tau diri, kamu gak tau gimana rasanya sakit saat pertama kali ngelahirin kamu! Sekarang kamu dengan gampangnya ngumpat ibu sendiri. Bagus ya anak-"

Tidak tahan dengan kata-kata kasar Ibunya, Rasya menjerit. "Gue gak pernah minta dilahirkan!" Mata bulat itu menatap tajam sang Ibu, sehingga Iis pun memegang dadanya terkejut dan sedikit mundur. "Gue. Gak pernah. Mau punya ibu. Kaya lo! Mikir dong, nanya ke siapapun juga gak akan ada yang mau jadi anak lo!" umpat Rasya tanpa peduli perasaan Ibunya.

"Ra-rasya!"

Tanpa mempedulikan lagi apa yang akan ibunya katakana, Rasya berlari keluar rumah dengan emosi bercampur aduk. Dia sedih, hatinya sakit disebut anak tidak tahu diri bukan keinginannya untuk berada di posisi ini. Rasya juga sadar sebagai Ibu, Iis harusnya bisa merangkul dirinya serta menunjukkan arah mana yang baik untuk dirinya tempuh. Bukan bisanya memarahi dirinya. Rasya juga sadar jika dirinya tadi terlalu kasar kepada sang Ibu. Namun, dirinya adalah tipe orang yang tidak gampang dan tidak mau untuk ditindas. Bagaimana pun kesimpulan yang Rasya dapatkan kejadian hari ini adalah salah didikan Ibunya.

Termenung sembari menunggu jemputan sang pacar, Rasya mendengarkan Ibunya memarahi Cantika, tetapi Rasya tahu jika perkataan sang ibu tidak akan sekasar kepada dirinya. Rasya menunduk dengan helaan napas yang terpenggal-penggal, sisa tangisannya tadi.

"Sayang," panggil sang pacar. Rasya yang menyadari pacarnya sudah sampai pun langsung memeluk dirinya. "Aku cape," keluhnya.

Sang pacar menepuk-nepuk bahu gadisnya dengan setangah hati. Dari rumah niat bertemu sang pacar adalah untuk bersenang-senang bukan untuk melihatnya menangis. Lama-lama pacar Rasya cape dengan masalah-masalah yang sering Rasya keluhkan kepadanya, dia membutuhkan sosok yang dapat menghibur dirinya bukan mendapatkan hiburan darinya.

"Aku juga cape lihat kamu kaya gini terus. Yang sabar ya, sayang."

Di dalam pelukan sang pacar, Rasya mengangguk. Hanya pacarnya lah yang kini Rasya percayai dan tempat di mana Rasya bisa mencurahkan semuanya, tetapi ada di mana saat Rasya menyadari ekspresi tidak senang pacarnya ketika mendengar semua keluhannya. Rasya mengerti ada saat di mana pacarnya juga muak.

Rasya membatin, "Yang mendengarnya saja muak, apalagi yang mengalaminya." Rasya tersenyum pedih. Tidak tahu bagaimana cara mengakhiri ini semua, apakah dirinya juga harus kabur seperti apa yang dilakukan Sania sekarang. Bohong, kalau Sania hanya niat mencari ilmu, Rasya tahu gadis itu muak dan Rasya sangat iri dengan perempuan itu karena selalu mempunyai kesempatan untuk pergi.

Di sisi lain, setelah mereka pergi. Cantika dikurung sang Ibu di kamar mandi selama satu jam dan handphonenya juga dirampas. Rasya salah jika menyangka ibunya tidak adil, buktinya tadi Iis membiarkan Rasya pergi, sementara kini dirinya menjalani hukuman.

"Keluarga ini ngga akan ada yang waras," gumam Cantika dengan senyum mirisnya. "Sayang banget gue masuk di salah satunya. Cuma orang yang kuat mentalnya yang bisa menjalankan kehidupan ini."

Dengan tanpa pikir panjang, Cantika memasukkan kepalanya sendiri ke dalam bak kamar mandi, menyiksa dirinya selama beberapa menit. Masih tidak puas dengan apa yang dirinya lakukan sendiri, Cantika masuk ke dalam bak kamar mandi di jam kedua hukumannya dan menenggelamkan seluruh tubuhnya di dalam air. Bohong jika dirinya tidak tersiksa, tetapi remaja itu butuh pelampiasan. Setelah beberapa menit berlalu tepat di saat Iis membuka pintu, Cantika ditemukan tidak sadarkan diri.

"Cantika!" Iis menjerit terkejut. Tangisan histeris pun pecah, inilah alasan dirinya jarang menghukum Cantika dan lebih sering menghukum Rasya karena remaja ini  memiliki tekad yang lebih kuat untuk mengakhiri hidupnya.

"Maafin ibu, Cantika. Maaf," ujarnya lemas ketika berhasil memangku tubuh Cantika keluar dari bak mandi.

-----

Teman² ambil sisi positifnyaaa yaa. Thank you for reading, vote and comment🥰

Mengejar Cinta Gus Arsha (5) {ON GOING}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang