04. Cape, nikah yuk!

149 15 0
                                    

Mendengar kabar dari Adiknya jika sang putri telah kembali dari pesantren, Ayah Sania langsung mengepalkan tangannya penuh emosi, tidak ada lagi wajah dengan senyuman khasnya. Seorang Ayah tidak tau jika putrinya pulang terlebih lagi dirinya tahu dari orang lain.

"Apa sih, yang dipikirkan anak itu!" Perjalanan yang Putrinya tempuh itu memerluka waktu berjam-jam dan dia pulang sendirian? Bagaimana jika sesuatu terjadi kepadanya? Sebenarnya Sania menganggap dirinya sebagai Ayah atau tidak?

Perasan kecewa kepada diri sendiri karena belum bisa menjadi Ayah yang baik, Ayah yang selalu ada untuknya, Ayah yang menjadi sosok pertama yang dimintai tolong oleh anaknya. Juga Ayah Sania kecewa kepada putrinya mengapa tidak memberitahukan kepulangannya. Dengan emosi yang memenuhi rongga dadanya, Ayah Sania menarik napas dalam-dalam, lantas langsung mengambil kunci motor dan mengunjungi pesantren Adiknya.

Ayah tidak sempat memikirkan apa alasan Sania bertindak seperti itu, yang Ayah fikirkan adalah Mengapa Sania tidak menghormatinya? Dada Ayah Sania bergemuruh hebat, ketika dirinya sampai bahkan dia tidak memabalas sapaan satpam yang telah mengenalnya. Sedikit banyak santri yang melihat raut wajah Ayah bergidik ngeri.

Melihat Sania yang sedang mengobrol dengan Ning Kaila di taman, dirinya langsung berteriak, "Sania!"

Putrinya yang mendengar hal itu langsung bergetar hebat, jantungnya berdegup kencang. "Ayah," panggilnya dengan lirih. Sania menunduk siap menerima kemarahan Ayahnya.

"Sedang apa kamu di sini, hah? Gak punya rumah? Gak punya orang tua? Mana ilmu yang kamu dapat dari pesantren? Gini cara kamu memperlakukan orang tua? Pulang ke rumah orang lain, makan, tidur di sini. Kamu gak punya tempat tinggal, Sania? Saya juga masih mampu menafkahi kamu, mikir!"

Mendengar Ayahnya yang berteriak dengan berapi-api. Sania menitikkan air matanya, benarkah ini Ayahnya yang dahulu memperlakukannya dengan begitu baik? Memanjakannya, mengasihininya dan memprioritaskannya? Ayah berubah.

"Bukan begitu," sahut Sania dengan suaranya yang sudah bergetar, dirinya sedih, kecewa sekaligus merasa takut. "Ayah juga tahu kalau Sani engga nyaman di rumah itu ...."

Ayahnya menyela dengan kasar. "Apapun keadaannya, gak ada alasan Sania. Rumah kamu bukan di sini! Kamu mau malu-maluin Ayah iya? Mau bilang sama semua orang kalau keluarga kita berantakan? Kamu juga tahu sendiri Sania Ayah sudah dipandang jelek oleh saudara Ayah!" Menghel napasnya, Ayah kemudian melanjutkan katanya dengan penuh penekanan. "Anak yang engga tau untung! Pulang kamu sekarang!"

Tanpa berlama-lama lagi Ayah pergi. Ning Kaila dan Umi yang menyaksikannya seketika termenung dan takut. Andai saja ada Abi Hasan di sini, mungkin Ayah Sania tidak akan seberapi-api itu.

"Bu Dhe," panggilnya ketika sang Bibi menghampiri. Bu Nyai langsung mendekap ponakannya dengan erat, tidak urung dirinya menitikkan air mata.

"Ndak apa-apa ya, Nduk. Ayah lagi emosi saja, apa yang Ayah katakana itu ndak bener." Bu Nyai sebisa mungkin menenangkan Sania. Dirinya tahu jika Kaka iparnya itu memang punya sifat pemarah, tapi sebenarnya juga penyayang. Bu Nyai tidak tahu siapa yang melaporkan keberadaan Sania kepada Ayahnya.

"Bu Dhe engga kerepotan kok kamu di sini, Nduk kalau emang di sini lebih nyaman bicarakan lagi sama Ayah ya. Bilang aja mau ngaji sebelum persiapan kerja atau kuliah ya, Nduk." Bu Nyai menasihatinya, Sania pun mengangguk dalam dekapannya.

Ning Kaila yang baru sadar dengan apa yang terjadi pun langsung meremas kedua jarinya dan menghela napas sembari beristighfar. Matanya kemudian beralih kepada sosok yang kini sedang menangis hebat di pelukan sang Umi. Dengan pelan Ning Kaila ikut mengelus punggung sang sepupu. Tidak ada kata yang mampu dirinya utarakan. Sania benar-benar kuat, Ning Kaila tidak bisa membayangkan jika dirinya yang ada dalam posisi Sania.

Ternyata benar Allah memberikan ujian kepada Hamba-Nya sesuai dengan kemampuannya. Jika Allah memberikan sebuah ujian yang kamu rasa itu berat, maka kamu juga sebenarnya diberi kekuatan untuk sanggup menghadapinya. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak diuji. Bahhkan semakin besar rezeki semakin besar ujiannya. Contoh orang yang kurang mampu ketika memiliki tabungan seratus ribu dia takut kehilangannya, tetapi berbeda dengan orang kaya yang banyak ketakutannya bukan hanya menyangkut soal uang, tetapi mungkin juga soal motor, mobil, laptop, brankas isi emas dan lain sebagainya.

***

Semenjak kejadian dzuhur tadi, Sania mengurung dirinya di kamar. Tidak ada seorang pun yang dapat membujuknya untuk keluar. Setelah mendengar kabar itu Kiyai Hasan langsung merasa khawatir dan bersimpati dirinya mencoba mengobrol dengan sang Kaka di telepon dan hasilnya Kakanya tetap ingin Sania pulang dahulu dan berbicara dengannya. Bu Nyai dan Ning Kaila yang mendengar kabar itu merasakan kesedihan yang teramat dalam.

Tidak lama Gus Arsha dengan senyum lelahnya pulang mengajar, melihat keluarganya seperti mengkhawatirkan sesuatu, keningnya mengernyit hera. "Assalamualaikum," ujarnya lantas menyalami Umi, Abi dan Ning Kaila. "Kenapa?" Gus Arsha mengikuti arah pandang keluarganya yang menatap kamar di mana Sania berada.

"Sania dan Ayahnya berantem lagi, Mas." Ning Kaila menyahut.

Bola mata Gus Arsha seketika melotot terkejut. "Sekarang gimana keadaannya?" Laki-laki itu lebih khawatir diantara ketiganya. Gus Arsha masih ingat terakhir kali Sania mengalami hal yang sama.

"Belum keluar udah beberapa jam, ditanya juga engga nyahut."

Mendengar informasi dari Adiknya, Gus Arsha meminta izin untuk membujuk Sania kepada orang tuanya. Diketuklah pintu kamar itu. "Sani, ini aku Arsha. Are you okay?"

Tidak ada jawaban.

"San, boleh aku bicara sebentar?"

Masih tidak ada jawaban.

"Aku ndak akan bicara, aku cuma pengin melihatmu Sani." Meskipun masih tidak ada jawaban, Gus Arsha dengan setia menunggu di depan pintu berharap jika hati Sania terketuk. Dan tidak lama suara kenop pintu kunci dibuka terdengar.

Sania muncul dengan kerudung dan pakaian yang berantakan, wajahnya memerah karena sedari tadi menangis, gadis itu menarik baju lengannya untuk menutupi jari-jarinya. Kepalanya menunduk, tidak ada keberaniaan dalam dirinya untuk menatap semua orang yang ada.

Gus Arsha memegang tangan Sania, kemudian berujar dengan pelan sorot matanya menunjukkan keteduhan. "Sani, ngga ngegambar lagi 'kan? Aku soalnya lupa belum beli buku gambar lagi."

Mendengarnya tangis Sania pecah dan dengan spontan memeluk Gus Arsha. Gadis itu mencengkram bahu sepupunya melampiaskan rasa sakit yang dideritanya. "Capeee!" keluhnya.

"Kenapa aku harus dilahirin, sih, Gus? Aku Cuma beban untuk semua orang."

Kini Gus Arsha terus beristighfar dalam hatinya, diam-diam dirinya melirik orang tuanya yang mematung sepertinya bingung ingin melakukan apa. Sania saat ini sedang putus asa. Salah bicara sedikit, takutnya gadis itu akan melakukan hal yang tidak-tidak.

"Kamu bukan beban bagi kita, San." Gus Arsha ingin mengelus punggung gadis itu, tetapi hatinya sangat takut.

"Cape pengen pergi ajaa! Aku engga berguna. Semua orang akan seneng jika aku pergi. Semua orang akan bahagia, bahkan Ayah juga engga akan berdebat lagi sama istrinya kalau aku engga ada. Semua orang akan bahagia, Gus. Sania pengen pergi aja!"

Gus Arsha mengepalkan tangannya erat-erat. Dirinya membisu beberapa saat. "Kamu baru merasakan beberapa rasa dunia ini, San. Jika menganggap tidak ada yang merasa kehilangan ketika kamu engga ada. Buktinya aku akan merasa begitu kehilangan, Sani."

Menghela napasnya kasar, Gus Arsha berbicara lembut. Dirinya mendorong tubuh Sania agar kembali tegak dan sedikit menjauh darinya. "Kita jalani semua ini bareng-bareng ya, San. Aku, Dek Kaila, Abi, Umi dan semuanya ada di sini buat Sania."

Mereka semua mulai merasakan khawatir ketika Sania menatap Gus Arsha lama dan dalam. "Gus," panggilnya dengan pandangan yang belum beralih. "Nikah sama aku." Suaranya penuh permohonan.

Bersambung ....
Gimana updatenya kecepetan engga?

Tinggalkan jejak yuk walau titik. Biar aku lebih semangat nulisnya🥰
See you next part🤍

Mengejar Cinta Gus Arsha (5) {ON GOING}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang