Menyadari situasi canggung, Gus Arsha dan Ning Kaila mengusulkan diri untuk pamit. Sementara itu Sania menahannya dengan gerakan mata, menunjukkan jika dirinya takut. Gus Arsha pun menepuk tangan Adiknya sebagai kode tetap di sana. Sedangkan dirinya keluar.
Selesai menutup pintu rawat inap, Gus Arsha menghela napasnya berat. Melirik kursi tunggu ternyata abinya sedang menyaksikan dirinya. Gus Arsha pun melempar senyum tipis lantas duduk di sebelahnya.
"Abi katanya ada yang mau dibicarakan sore ini?"
Pak Kiai Hasan mengangguk. "Tapi sekarang bukan waktu yang tepat."
Gus Arsha hanya mengangguk mengerti. Sepertinya pembicaraannya begitu serius sampai tidak bisa disampaikan di tempat umum seperti ini. Gus Asrha pun melirik ruang tunggu, dirinya sedari tadi tidak mendengar percakapan apapun.
Di sisi lain Iis, istrinya Ayah Sania merasa jengah. "Punya uang dikit mah mending dipake makan jelas kenyang. Daripada dipake kaya gini? Piye toh, pas pulang kerjaannya selalu aja sakit? Mana jatuh sakitnya di rumah orang. Malu-maluin aja."
Jantung Sania mulai berdebar, matanya memanas kepalanya membelakangi mereka. Dalam hati gadis it uterus menguatkan diri agar tidak terpancing emosi. Peka dengan yang dirasakan sepupunya, Ning Kaila mengelus lembut tangan itu. Berusaha untuk menguatkan.
"Lihat dong Cantika, Rasya mereka kalau sakit sering pergi ke dokter berkali-kali engga? Sekali aja cukup selepasnya sembuh. Loh, kamu? Mungkin kayanya kamu juga harus pergi ke klinis jiwa."
Kali ini pembicaraan Iis, ibu tirinya tidak lagi bisa ditoleransi. Sania ingin membalas, tetapi sang Ayah lebih mendahului berbicara. "Sudah, jangan kelewatan kalau ngomong. Kalau gini terus mah kamu yang harusnya dibawa ke rumah sakit jiwa! Ngomong kok gak disaring1" tegurnya.
Istrinya pun langsung memasang wajah lebih jutek lagi sekaligus sombong dengan tidak kalah pedas dia kembali membalas, "Wajar saya gila juga mencari nafkah buat keluarga!"
"Gila harta dan gila ketidak bersyukurannya lebih tepatnya."
"Gimana mau bersyukur? Toh piye uang saku aja ngasi sendiri, sekalinya di kasih juga untuk resiko dapur saja! Cukup dari mananya!" Nada suaranya semakin meninggi.
Emosi yang sedari tadi Sania tahan akhirnya membludak. "Berisik! Kalau mau berantem jangan di sini!" Napasnya memburu. "Mikir! Jangan apa-apa kekanak-kanakan malu tau malu!" jerit gadis itu.
Iis melotot. "Cepet anter saya pulang!" desisnya.
"Siapa suruh ikut? Gak ada yang ngajak!" Ayahnya kembali membalas.
Sania pun kembali dibuat emosi. "Anterin!" sungguh dirinya muak selalu berada di situasi seperti ini. Tidak lama mereka pun pergi . Ayah Sania pergi dengan wajah sedih.
Sementara Sania sudah menangis meraung-raung. Ning Kaila pun ikut prihatin dan mendekapnya lembut. Tangan Sania yang tadinya meremas telinganya sendiri kini Ning Kaila turunkan dengan hati-hati. "Tidak apa-apa, Mbak. Tidak apa-apa. Aku di sini, semuanya akan baik-baik saja."
Sania memeluk erut sang sepupu. "Aku beban, Ning," ujarnya getir.
"Syut, engga-engga. Mbak adalah anak yang baik, Mbak. Anak yang Ayah inginkan. Kami senang menjadi keluarga Mbak."
"Mereka jahat, mereka jahat. Aku engga suka. Aku mau pergi aja. Peluk aku Allah."
Ning Kaila ikut menangis mendengarnya. Ujian Sania begitu berat. Mungkin dia tidak akan sekuat ini jika berada di posisinya. "Iya, Mbak. Allah engga akan ninggalin, Mbak. Allah memeluk Mbak."
Di lain sisi Gus Arsha menyaksikan semua apa yang terjadi tadi, hatinya ikut merasakan sesak. Andai boleh Gus Arsha ingin ikut merengkuh Sania. Namun, apa boleh buat dirinya hanya bisa berdoa semoga Allah memberikan jalan keluar dan menguatkan gadis itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/296457607-288-k756197.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Cinta Gus Arsha (5) {ON GOING}
Literatura Feminina🌻Update setiap Malam Ahad jika tidak ada kendala♥️ Sania berhasil dibuat jatuh cinta oleh sepupunya, Gus Arsha. Di sebuah mimpi buruknya, Sania nekat melakukan suatu hal yang membuat Gus Arsha yang selalu bersikap baik kepadanya merasa begitu kecew...