23. Tak mau kehilangan

88 4 2
                                    

Arsha juga begitu menderita. Dia kesulitan ada di situasi dirinya tidak ingin melukai siapapun. Sania, orang tuanya dan pihak keluarga Naya.

Keluarga mereka adalah keluarga dengan prinsip tidak boleh menikahi saudara. Dalam artian, sepupu pun tidak boleh. Maka dari itu Abi dan Uminya tidak mendukung karena sebagian dari keluarganya ada yang ber-mindset jika menikah dengan keluarga sendiri maka ketika ada masalah akan lebih rumit dalam penyelesaiannya.

Sadar Abinya sedang membicarakan tanggal pernikahannya. Arsha menarik napasnya dalam-dalam dengan kepalanya yang menunduk. Ia sadar jika pernikahan bukanlah hanya tentang perasaan cinta semata. Namun, juga menyatukan dua keluarga.

Kalau pun memang Sania dan dirinya berjodoh, Arsha percaya akan selalu ada cara Allah mempersatukan keduanya dalam ikatan suci bernama pernikahan.

"Nggeh, Bi." Arsha tersenyum miris. Itu berarti masih ada beberapa bulan lagi menuju pernikahannya.

Jujur saja di masa ta'aruf ini, Arsha tidak banyak menanyakan tentang calon istrinya. Berkomunikasi baik langsung maupun tidak langsung juga jarang mereka lakukan. Paling ketika berpas-pasan mereka akan menunduk dan saling melempar senyum tipis.

Di sisi lain Sania tersenyum miris mendengar jawaban Arsha. Kaila yang menyadari itu menepuk pundaknya sembari bertanya, "Mbak, baik-baik aja?"

Sania mengangguk tanpa senyuman. Kini dirinya tidak bisa lagi menutupi kesedihan yang bersemayam dalam hatinya. Hatinya sudah jatuh sejatuh-jatuhnya kepada laki-laki itu dan dirinya belum siap untuk kehilangan laki-laki itu. Bolehkah Sania egois? Dirinya ingin sekali mengatakan untuk membatalkan pernikahan itu. Tidak peduli seberapa kecewanya orang tua Arsha kepada dirinya dan laki-laki itu.

Sania menggengam tangan Kaila sebentar, kemudia dirinya berusaha untuk tersenyum sebelum pamit keluar. "Kulo kayaknya pengen yang seger-seger Ning, Ning Kaila mau nitip sesuatu? Kulo nanti ke kantin."

Ning Kaila menggeleng dengan mata yang ikut berkaca-kaca ketika mendengar bagaimana bergetarnya suara Sania ketika menahan tangisnya. Sania pun mengangguk lantas mengucapkan salam sambil melangkah pergi.

Percakapan di ruang tamu sepertinya telah usai. Kaila menatap ke sana dan hanya menemukan Abi dan Uminya yang sedang membaca buku bersama. Langkah Kaila pun mulai mencari ke mana Mas-nya pergi. Akhirnya ditemukanlah Arsha di taman belakang rumah mereka.

"Assalamualaikum, Mas." Arsha menatap Adik perempuannya serta memberikan ruang untuk adiknya duduk.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

Kaila menatap lekat mata laki-laki yang lebih dewasa darinya. "Mas bisa jujur sama Kaila."

Arsha menatap dengan bingung. "Mas, juga ada perasaan 'kan sama Mbak Sania?" Arsha tidak menjawabnya.

"Mas yakin engga mau memperjuangkan takdir kalian berdua? Ingat loh, Mas takdir itu ada yang bisa diubah. Siapa tahu juga pernikahan Mas sama Mbak Sania juga bisa diperjuangkan. Siapa tahu jodohnya Mas adalah Mbak Sania."

Kaila ingin sekali melihat Mas-nya bahagia. Jik dirinya ada di posisi Sania pun akan sama sakitnya. Ketika orang yang kita cintai malah menikah dengan orang lain.

"Kaila denger ada juga yang ta'aruf sama Mbak Sania, beliau udah mint izin sama Abi. Mas ridha?"

Arsha terlihat terkejut mendengarnya. "Siapa?"

"Kedua sahabat Mas, kemarin datang ke sini." Kaila menunduk. "Ngga tau dua-duanya datang buat ta'aruf sama Mbak Sania atau salah satunya aja."

"Abi udah ngasih tahu Sani?" Kaila menggeleng. "Belum, Umi belum membolehkan. Kata Umi mau mencari waktu yang tepat untuk mengobrol sama Mbak Sania dan orang tuanya."

Arsha termenung memdengarnya. Ternyata Afan benar-benar serius ingin ta'aruf dengan Sania. Lantas Rafa? Apakah laki-laki itu juga diam-diam ingin berta'aruf dengan Sania?

Kabar iti semakin membebani dirinya. Haruskah dirinya berjuang? Atau keadaan juga nanti akan membaik dengan sendirinya? Namun, kini Arsha mulai meragukan dirinya. Bagaimana jika Sania memilih sahabatnya? Mungkin memang Sania mencintainya, tetapi bukankah biasanya manusia akan mencari penyembuh dari rasa sakit hatinya dengan orang baru?

Kaila menatapnya dengan serius. "Mas, pilih baik-baik ya. Pertimbangkan semuanya, jangan terburu-buru apalagi menyerah begitu saja. Umi akan lebih mengerti perasaan Mas, dibandingkan Abi. Jadi, coba juga Mas ngobrol sama Umi."

Kemudian Kaila pun pergi meninggalkan Arsha dengan pikiran yang berkecamuk.

Sementara di sisi lain, Sania menangis. Perempuan itu baru tahu jika ada pemandangan seindah ini dilihat dari balkon asrama putri.

"Andai hidupku seindah itu."

Tangannya menggenggam gelas berisi kopi dingin. Sudah lama dirinya termenung memikirkan sesuatu yang sepatutnya tidak dirinya sendiri yang memikirkan.

"Apakah aku memang selalu ditakdirkan untuk berjuang sendirian dalam semua hal? Keluarga, cinta, karir? Kenapa tidak ada seorang pun yang ingin memperjuangkanku?"

Langit semakin gelap, tetapi Sania tidak ingin beranjak. "Aku tidak ingin kehilangan, tetapi juga lelah berjuang sendirian. Bukankah semua akan baik-baik saja jika aku memilih bertahan?"

"Aku bosan sendirian, tetapi untuk bersama orang selain kamu juga aku engga bisa."

"Ini menyakitkan, anehnya aku masih menunggu dia memutuskan untuk menghampiriku, memelukku dari belakang dan mengatakan, 'Ayo kita berjuang!' Apakah mungkin?"

Sania menertawakan dirinya. "Aku terlalu banyak meminta dan berharap. Namun, Ya Allah, bukankah Engkau senang jika Hamba-Mu hanya meminta kepada-Mu."

Sania memejamkan matanya dengan air mata yang kembali turun. "Bodoh Sania! Allah nggak akan senang kalau kamu bahkan terlalu mencintai hamba-Nya."

Sebaiknya memang mungkin Sania berhenti berharap. Mungkin memang itu petunjuk dari Allah bahwa mereka tidak akan berjodoh.

Bersambung ....

24 Januari 2024

Pendek? Hehe
Janlup tinggalkan komen, vote dan follow juga ya jika berkenan.

See you🥰

Mengejar Cinta Gus Arsha (5) {ON GOING}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang