Part 8. Hah, keluarga?

100 12 0
                                    

Gelak tawa terus saja terdengar di telinga Gus Arsha, laki-laki itu merasa kesal karena kali ini yang menjadi bahan tertawaan ialah dirinya. Padahal yang mereka tertawakan tidak begitu lucu-lucu amat sebenarnya. Namun, karena menurut mereka kejadiaannya langka, maka patut diacungi apresiasi.

"Iya nih kaya gini ekspresinya dia, Mas Rafa Mas Rafa. Beneran cemberut dia. Apalagi kan kalau bukan cemburu coba?" Rafa mempraktekkan ekspresi Gus Arsha di mobil tadi.

Afan Firmansyah Fermatama, memukul-mukul meja merasa terhibur. "Oh sang Gus yang engga peduli cinta ini merasa cemburu sama sepupu sendiri?"

"Tapi emang perempuannya masyaa Allah cantik sih, tadi engga sengaja beberapa kali bersitatap hihi."

Gus Arsha yang mendengarnya mendengkus kesal. "Gadhul Basar!"

"Tuh, tundukan pandangan katanya, Raf." Afan tertawa lagi.

"Nah kan kata Mas Rafa juga apa, Gus Arsha tuh cemburu. Nggih ngaku aja toh Gus?" Rafa pura-pura menatap Gus Arsha serius, "Kalau engga biar saya aja yang jadi calon suaminya, kebetulan saya sudah siap lahir batin untuk menjadi imamnya Dik Sania."

***

"Ngapain?" Terdengar nada ketus dalam kalimat itu.

Dengan wajah tidak sedap dan sombong seperti ibunya, Kaka Tirinya, Rasya melemparkan baju tunik kepadanya. "Gue pinjem sehari buat ikut arisan Ibu aja."

Sania mendelik. "Pinjem gak izin, situ pinjem atau nyuri, Mbak?" responnya kesal.

"Heh, sama sodara sendiri aja pelit. Keluarga emang harus izin? Harusnya sih keluarga itu barang lo barang gue dan barang gue ...." Rasya menjeda kalimatnya dengan senyum miringnya. "Cuma milik gue," tekannya.

Sejenak Sania hanya mengepalkan tangannya dan semakin erat memegang bajunya. Sania mendekat lantas berbisik, "Gaji ibu sendiri UMR, tapi anaknya gak tau malu nyuri barang orang lain. Hapunteun itu kira-kira uang Ibunya berkah gak ya?"

Plak!

Tamparan keras Rasya layangkan. "Berisik! Dari pada lo perempuan murahan yang gak punya Ibu! Ibu lo gak pernah sayang sama lo! Buktinya lo sudah bertahun-tahun ditinggalin. Sadar diri dulu sebelum ngatain orang, gapapa duit Ibu gue gak berkah yang penting kan gue gak kelaperan sama kita kaya. Emangnya lo," ujarnya berapi-api. Rasya lantas berbisik sambil melirik kanan kirinya, "Anak yang punya Ayah numpang di penghasilan istrinya, gak usah belagu banyak baco*t."

Sania masih menundukkan pandangannya sembari memegangi pipinya yang terasa begitu panas. Keluarga? Cih, so-soan membahas soal itu. Iya, kali ini pun dirinya kalah, semua yang dikatakan Rasya memang benar, Ibunya tidak pulang setelah bertahun-tahun kerja di luar negeri dan Ayahnya yang tidak punya penghasilan tetap sering kali mengandalkan penghasilan istrinya. Kenyataan ini membuat dirinya kesal. Namun, ada satu pertanyaan yang sering kali dirinya tanyakan kepada diri sendiri, benarkah orang tuanya tidak menyayangi dirinya? Benarkah perpisahan orang tuanya dahulu karena sudah tidak lagi peduli akan buah hatinya?

Tiba-tiba saja Rasya mengaduh sembari memegangi tangan dan pipinya. "Ibu tolong ibu, aku dipukul Sania!" teriaknya sambil terisak. "Sania mukul aku sambil bilang uang yang ibu hasilkan adalah uang haram."

Sania menatap Rasya terkejut sembari menoleh ke belakangnya dan meemukan Ibu tirinya yang berjalan kea rah mereka dengan tatapan garang. "Anak kecil so-soan! Tau apakah kamu soal duit hah! Sekolah aja baru lulus, jajan masih duit orang tua, pekerjaan belum dapat! Berani-beraninya bilang kalau duit saya kurang berkah, hah!"

Iis mejambak rambut anaknya. "Rasain kamu karena berani mukul kaka kamu sendiri! Rasain nih! Sakit kan, hah? Sakit?"

Suasana semakin memanas ketika Ayah Sania berteriak memanggil istrinya seraya melepaskan paksa jambakannya terhadap sang anak. "Apa-apaan kamu, hah!" Kini Ayah Sania berdiri membentenginya. "Kalian ngapain Sania hah?"

"Anak kamu tuh udah nampar anak aku, Mas!"

"Bo-bohong, Yah. Kak Rasya duluan yang tampar pipi aku." Tubuh Sania mulai bergetar, traumanya kini benar kambuh.

"Astaghfirullah, Sania. Kamu manipulatif banget jadi orang. Jelas-jelas tadi kamu dorong aku terus pukul aku di tangan sama dipipi. Ayah ...."

"Kak Rasya yang menipulatif!" pecahlah tangisan gadis itu. Dia menjerit, "Emang semua orang di rumah ini gak waras! GAK ADA YANG SEHAT! SAKIT SEMUA! BUTA!" setelahnya gadis itu membanting pintu kamarnya sehingga membuat mereka terlonjak terkejut.

Dengan kasar Sania membanting mukenanya ke lantai lantas menghempaskan dirinya ke atas kasur dengan kondisi tengkurab. Sania menangis, raungannya terdengar menyedihkan. Dia tidak mengerti apa alasan dirinya dilahirkan ke dunia ini? JIka hanya untuk disakiti terus menurus? Dia lelah, sungguh lelah. Mengapa ujiannya seberat ini?

"Capee! Cape Ya Allah!" tangan Sania menjambak kasar rambutnya sendiri. "Pengen pulang aja Ya Allah, bawa aku pergi dari dunia yang menyakitkan ini!" raungannya semakin keras. "Gak ada yang sayang! Gak ada orang yang sayang sama aku, mereka semua engga peduli!"

Terlalu lama menangis dadanya mulai menyesak, gadis itu membalikkan posisi tidurannya menjadi menghadap langit-langit dengan isakan dan napas yang sulit, Sania memukul-mukul dadanya. "Sakit ...." Lirihnya sebelum ketiduran.

Tanpa Sania ketahui Ayahnya juga ikut menangis di belakang pintu itu ketika mendengar rintihan pedih anaknya. "Maaf Sani, Ayah belum sanggup buat kamu bahagia. Maaf, sayang." Menjadi orang tua adalah hal yang harus belajar setiap harinya. Orang tua juga manusia dia bisa sering kali khilaf, tidak dapat mengerti perasaan kita, tetapi mereka juga memeliki perasaan dan pertimbangan sendiri dalam melakukan berbagai hal.

"Ayah sayang sama Sania, Ayah orang yang paling bahagia ketika Sania lahir. Maafkan Ayah, ayah belum bisa menjadi pahlawan, cinta pertama yang baik. Ayah malah justru menambah luka buat kamu, Nak. Piye Ya Rabbi."

Tidak ada maksud dalam perbuatannya menyakiti sang putri, niatnya yang baik terkadang malah memberikannya luka tanpa disengaja. Dirinya hanya ingin membuat sang putri untuk belajar hidup dan berfikiran dewasa. Bentakan kecilnya yang terkadang dilontarkan memang sering kali menyakitkan hatinya, tetapi dunia luar lebih dari itu. Dirinya takut Sania tidak akan sanggup menghadapi dunia ini jika dirinya taka da dan jika Sania belum terbiasa dalam duka.

"Sehat dan bahagia selalu, Sayang. Ayah akan fikirkan bagaiamnana caranya agar kamu bahagia. Karena bagaimanapun harapanmu untuk mendapatkan Ibu Tiri yang sebaik Ibu kandung tidak akan pernah tercapai. Ini semua salah Ayah, yang tidak mempertimbangkan dan mengenalinya baik-baik."

Sementara di sisi lain Iis bersama Rasya mendelik merasa tidak suka dengan apa yang dilakukan Suami juga Ayahnya. Seharusnya Yunus tidak sebaik itu kepada anaknya dan seharusnya hanya keluarganya lah yang mendapatkan lebih banyak kasih sayang.

"Menyebalkan!" rutuk Iis.

Bersambung ...

Mengejar Cinta Gus Arsha (5) {ON GOING}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang