09. Coba Ta'aruf dulu

104 13 0
                                    

Tidak ada yang begitu membahagiakan selain kepulangan Ibunya yang sudah bekerja bertahun-tahun di luar negeri, tepatnya di Arab. Bukan hanya dirinya yang merasa bahagia. Namun, juga Ayahnya. Sayang, ada yang membuat keduanya sedih, bahkan Sania kecil yang belum mengerti apapun ikut sedih ketika mendenhar perkataan Ayahnya.

"Bunda pulang, Sani, tapi pulangnya bukan ke rumah kita."

Sania kecil mengerutkan keningnya. "Kenapa gitu, Yah?"

"Bundamu engga inget punya kamu dan Ayah."

Mendengar hal itu tak bisa lagi dirinya tak sedih, apakah itu artinya Bunda engga sayang Sania? Sejenak gadis itu menunduk berfikir dengan pikiran kanak-kanaknya. Lantas berbicara tanpa memikirkan perasaan Ayahnya.

"Yaudah Ayah, kan pulang ke sana juga ke Ibunya. Engga salah kan ya."

Ayah menyahut, "Jelas salah, Sania. Kan ayah itu kepala keluarga, di mana surga Bunda ada di Ayah." Tidak mengerti dengan perkataan Ayahnya Sania kecil hanya terdiam dan mengangguk setelahnya. Anak kecil itu memilih mengalah.

"SAYA MAU CERAI!"

"APA MAKSUDNYA?! KAMU GAK KASIHAN SAMA ANAK KITA? DITINGGAL BERTAHUN-TAHUN DAN SAAT KAMU PULANG MAU DITINGGAL LAGI TAMBAH MINTA CERAI?!"

"AKU CAPE SAMA KAMU!"

Sania memperhatikan orang tuanya dengan ketakutan ditariklah Sania oleh Bunda Alisa. "Sani mau ikut Bunda atau Ayah, sayang?"

Belum sempat Sania memilih Ayahnya sudah menarik tangannya.

Tok tok tok

"Sani, bangun Nduk! Sarapan yuk!" Suara Ayahnya terdengar dari luar.

Sania yang banjir keringat masih mengumpulkan nyawanya. Kepalanya begitu pusing, akibat menangis semalaman. Setelah shalat subuh dirinya kembali tidur dan kini malah kesiangan. Sania memegang kepalanya lantas mengatur pernapasan. Mimpi yang satu ini selalu ingin membuatnya menangis.

Sania mengusap keringat di wajahnya seraya beristighfar. Ancaman Ayahnya terdengar lagi, "Cepat turun kalau gak mau sakit! Kalau sakit mah siapa lagi yang repot?"

Sania menghiraukan ucapan itu lantas mencuci mukanya. Ternyata Ayahnya belum juga pergi. "Sani, ayo bicara!"

"Nanti, Yah. Sani belum laper." Dengan suara serak Sania membalas. Ayahnya ini tipe orang yang bawel kalau dirinya belum sarapan. "Nanti kalau laper ngambil sendiri."

Bukannya dirinya ingin menjadi anak yang durhaka. Namun, apa daya dia juga merasa kecewa. Ayahnya bukan lagi Ayah yang sebaik dulu, kalau dirinya marah dibujuk dengan lembut. Ayah yang selalu ada untuknya. Berbeda dengan sekarang.

"Ayah sudah terpengaruh sama wanita itu!"

Suara ayahnya tidak lagi terdengar. Sepertinya dia sudah pergi. Sania menghela napas, menghadap ke samping lantas menatap dinding kamar. Berat sekali rasanya untuk bangun, jika boleh Sania tidak ingin bangun lagi dari tidurnya. Namun, di sisi lain juga Sania takut jika memang itu akan terjadi.

Akhirnya dirinya memaksakan untuk membersihkan diri. "Oke, San. Kamu engga peru keliar kamar dan semuaya akan baik-baik saja. Gapapa kalau mereka berbicara, menghina kamu dan lain-lain."

Tidak lama dirinya membersihkan diri, perempuan itu memakai baju rumahan dan tidak berdandan lebih, karena memang mau ke mana? Dirinya tidak akan keluar rumah. Cacing-cacing di perutnya tiba-tiba protes. Dirinya lapar, gadis itu memegangi perutnya, sepertinya maagnya sebentar lagi kambuh. Kenapa dirinya haruus setersiksa ini sih? Padahal dulu kalau mau makan, tinggal makan, mau nonton tv tinggal nonton. Tidak ada istilahnya bertengkar dengan siapa-siapa.

Akhirnya, Sania menurunkan egonya sendiri dan kalau dari kamar. Ketika pintu kamar terbuka, gadis itu tidak langsung melangkah. Melihatada nampan di depan pintu kamarnya, gadis itu berkaca-kaca.

"Ayah tidak benar-benar berubah," gumamnya. Gadis itu melihat sekelilingnya lantas tersenyum kecil. Langsung saja dirinya membawa nampan dan air itu. Meskipun dia masih kesal kepada sang ayah, tetapi hatinya tetap bersyukur. Setidaknya ayahnya masih mempedulikannya.

Sementara di luar sana, Rasya dan Cantika terus saja mengomel. "Jam segini belum bangun? Dipikir dia ratu terus kirta pembantu gitu? Di rumah ngga bantuin beres-beres. Makan, minum, dianterin sama Ayah, enak banget hidupnya!"

Cantika ikut menggerutu, "Harusnya kita labrak engga sih, Mbak?"

Rasya berdelik sinis. "Sebenarnya pengen sih, tapi Mbak males buang buang energy. Adek berani labrak dia?" Rasya tertawa membayangkannya,

"Y-ya kalau barengan sama Mbak sih berani." Gadis itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Eh, kata Ibu kemarin kaka katanya ribut ya sama dia?"

"Iya, gedek banget sama dia beneran!"

Cantika tersenyum miring. "Gimana kalau kita kerjain aja?"

Kening Kakanya mengerut bingung.

***

Setelah Keluarga Gus Arsha sarapan, Abinya memulai pembicaraan. Mereka kini duduk lesehan di atas karpet dengan Kiai, Bunyai, Kaila, dan Putri. Awalnya mereka bercanda ria sampai pada saat Pak Kiai memanggil Gus Arsha.

"Lek."

"Nggeh, Bi."

"Usia kamu sudah cocok untuk menikah." Pak Kiai melirik istrinya, begitupun dengan Gus Arsha yang sudah tahu arah pembicaraan abinya. "Sohib abi ada silaturahim buat perjodohan kamu sama anaknya. Dia putri pemilik pesantren kamppung tetangga, dan katanya salah satu santriwati kita."

Menunggu respon Gus Arsha, Pak Kiai menghela napasnya sejenak. "Lek, coba ta'aruf yaa? Kamu belum ada seseorang yang disuka kan?"

Mendengar hal itu, Ning Kaila yang terkejut spontan menjawab, "Ada, Bi."

Gus Arsha menatapnya bermaksud mengode. Kaila pun merapatkan bibirnya, tetapi terlambat karena kini Bunyai dan Pak Kiai menuntut jawaban/

"Shaaa?" panggil mereka penuh tanda tanya.

Sementara Bunyai kini mulai sadar dengan perempuan itu dan kini dirinya memilih diam. Putri yang mengetahui akan mempunyai kaka ipar baru pun berseru menggoda Masnya. "Cie cie Mas Arsha udah punya pacar siapa tuh? Yey Putri bakal dapat ipar baru yey!"

"Diem anak kecil! Tahu apa sih soal pacaran, hmm?" Kaila mencoba mencairkan suasana juga. "Inget, Dek. Awas kalau kamu pacar-pacaran!"

Gadis itu mesem-mesem sendiri, "Yaya engga ada yang pacaran kok, kan kata Mbak Kaila juga pacaran itu haram, h a r a m." gadis itu sampai mengeja huruf-hurufnya.

Pak Kiai dan Bunyai tertawa kecil, atensi mereka teralihkan. Akhirnya percakapan pun tertunda oleh candaan mereka bersama. "Oke, kembali lagi ke inti pembahasan, cukup pemanasannya."

Abi mereka melanjutkan, "Intinya Abi mau Arsha coba Ta'aruf dulu ya, Lek. Alhamdulillah kalau cocok, jadi abi punya mantu anak pesantren. Ya kalau engga cocok tak apa-apa."

Gus Arsha mengangguk sambil menunduk, tidak ada yang lebih penting dibandingkan menaati perintah orang tua, lagian ini demi kebaikannya. Namun, dalam hatinya dia bergumam, "Dia juga anak pesantren, cantik, shalihah, kuat juga ngehadapin masalahnya. Walau kadang rapuh, sekarang dia lagi apa yaa? Semoga engga ngegambar lagi di tangan."    

Mengejar Cinta Gus Arsha (5) {ON GOING}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang