22. Tanggal Pernikahan

113 3 1
                                    

Seulas senyum terukir di wajah tampannya ketika melihat kedua perempuan yang sama-sama dirinya sayangi kini sedang memasak bareng di dapur. Tampak akrab dan bahagia.

Tidak terbayang betapa senangnya Arsha ketika nanti Sania lah yang menjadi istrinya apalagi hubungan dengan keluarganya juga baik. Membayangkan nanti Sania yang memasak untuk menyambutnya pulang membuat senyum Arsha semakin melebar.

"Assalamualaikum."

Laki-laki itu mendekati uminya lantas mengucapkan salam sembari meraih tangan Umi dan menciumnya. Sania dan Arsha saling bertatapan dan tanpa sadar Arsha menyodorkan tangannya, setengah jiwanya masih dalam lingkung halu.

"Wa-walaikumussalam." Sania terkejut menatap uluran tangan itu. Menyadari keduanya sama-sama terdiam, Uminya yang tadi sibuk mempersiapkan sayuran yang akan diiris melemparkan tatapan tajam kepada sang putra lantas menepis tangan itu.

"Arsha!" tegurnya.

"A-a nggeh Umi?" Ia gelagapan.

Sementara Sania pergi ke wastapel yang beberapa langkah ke belakang dari tempatnya berdiri tadi. Jantungnya berdegup kencang, napasnya tidak beraturan.

"Apa yang Gus Arsha pikirin sih?" Hati Sania bercampur aduk antara senang dan bingung. Senang karena Arsha menawari tangannya untuk disalimi, tetapi bingung kenapa dirinya melakukan hal seperti itu, seperti orang yang tidak tahu agama saja.

"Kamu engga lupa hukumnya bersentuhan sama lawan jenis yang bukan mahrom, kan?" tanya Uminya penuh penekanan.

"Ya-ya engga, Mi."

Sekali lagi Uminya menepis tangan Arsha. "Gini nih Lee kalau kebanyakan ngelamun tuh! Udah jangan mikir yang aneh-aneh! Sono mandi, siap-siap untuk makan malam yo."

Arsha menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Nggeh, Mi." Uminya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tidak habis pikir.

Sementara Sania yang mendengarkan percakapan antara ibu dan anak itu hanya tertawa pelan lantas kembali mendekat sembari membawa buah-buahan yang sudah dirinya cuci tadi.

"Hapunteun yo Nduk." Sania melihat tatapan bersalah di mata bersih itu. Tangannya mengelus tangan Uminya Arsha sembari menggelengkam kepalanya.

"Ndak popo toh Mi, hehe." Mereka pun kembali melanjutkan aktivitasnya. Sesekali Sania melihat ke belakang, berharap melihat kembali pria tinggi dengan wajah yang begitu tampan sampai tak sanggup memalingkan wajahnya.

"Indahnya kalau tiap hari liat suami pulang kerja terus aku lagi masak. Nanti suami peluk dari belakang sambil cium pipi." Sania tersenyum sendiri atas gumaman batinnya. "Apalagi yang dilabeli suaminya itu gus Arsha."

Tanpa sadar Sania berkata sedikit agak keras, "Astaghfirullah!" Dia menggelengkan kepalanya mengusir pikiran tidak pantas dalam kepalanya.

"Ingat Sania, Gus Arsha udah dijodohin!" batinnya menegur dengan sedih.

Umi Maryam yang menyaksikan tingkah aneh Sania pun terpaku, menebak-nebak apa yang sedang dipikirkan gadis itu. "Nduk," panggilnya.

Sania terkesiap atas panggilan itu. "Iya, Mi."

"Jangan melamun, Nduk. Engga baik toh." Sania pun mengangguk. Terpikir sesuatu Sania bertanya kepada Umi Maryam, "Umi, kalau ada orang yang mendzolimi kita sebaiknya kita bereaksi seperti apa?"

"Sebaiknya kita jangan sama dzolimnya kaya dia. Nduk, ketika orang yang berbuat baik ke kita terus kita balas baik itu adalah hal biasa dan kita pun dapat pahala. Namun, ketika kita berbuat baik kepada orang yang dzolim kepada kita itu baru luar biasa."

"Kenapa, Mi?"

"Karena tidak semua orang bisa melakukannya." Mendengar itu, Sania pun mengangguk lantas tertawa pelan.

"Nggeh Mi betul, terdengar seperti mudah dan banyak pahalanya, tetapi sulit untuk dilakukan."

Umi terkekeh pelan. "Sulit bukan berarti engga bisa, Nduk."

Setuju dengan itu Sania pun menanggapi dengan anggukan. "Dan untuk bisa kita harus mencoba," sambungnya yang dibalas oleh Umi Maryam dengan usapan lembut di punggung tangannya.

"Nduk, sesakit apapun kamu akibat luka yang ditorehkan orang lain. Tetap jadi anak baik ya, itu tidak akan membuat Sani rugi kok. Biarkan orang jahat malu sendiri dengan balasan kebaikan yang kita lakukan."

"Nggeh, Mi." Sania tersenyum patuh.

Salahkah jika dirinya berharap ingin mendapatkan mertua selembut Umi Maryam dengan anaknya sebaik Gus Arsha? Memang, jika dibandingkan perempuan seshalihah di luaran sana, Sania masih jauh dari itu. Namun, dirinya juga tidak munafik ingin mendapatkan sosok yang dapat membingbingnya untuk menjadi ahli surga.

Setelah makanan disajikan satu persatu anggota keluarga pun datang dan berkumpul untuk bersiap melahap makanan. Setelah semuanya membaca doa, mereka pun makan dengan khusyu.

Selepas makan, para perempuan membereskan piring. Sedangkan Arsha, dirinya memotong beberapa buah-buahan untuk menjadi makanan penutup sekaligus cemilan.

"Mbak, sini kulo yang cuci piringnya." Kaila menawarkan dirinya.

Sania menggeleng, "Gapapa Ning, lanjut kumpul aja sana. Tadi kayaknya mau ada percakapan serius deh."

Tidak ingin mengalah, Kaila pun mengusulkan untuk mencuci piring bersama saja. Akhirnya Sania pun setuju karena tidak ingin membuat sepupunya itu merasa bersalah karena tidak membantu apa-apa.

Sayup-sayup keduanya mendengar obrolan di ruang tamu yang tidak jauh juga dari makan. Obrolan itu berisi kegiatan anak-anak selama seharian ini. Sampai tibalah percakapan di mana pamannya itu berkata jika tanggal pernikahan Gus Arsha telah ditentukan.

"Kalau tanggal 20 Rojab gimana, Mas?" tanya Abinya Gus Arsha.

Tangan Sania yang sedang meletakkan piring ke lemari terhenti. Fokusnya terbagi dua, telinganya sudah siap mendengarkan jawaban dari laki-laki idamannya. Begitu pun dengan Kaila yang ikut termenung, sorot matanya sedih ketika menatap Sania.

"Nggeh, Bi."

Deg!

Arsha tidak menolaknya!

Bersambung ....

Sabtu, 20 Januari 2023

Janlup tinggalkan vote, komen dan follow akun ini ya jika berkenan. Terima kasih telah membaca sejauh ini😍🌻




Mengejar Cinta Gus Arsha (5) {ON GOING}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang