15. Calon istrinya

109 8 4
                                    

Bibir cerahnya mengucapkan salam, senyuman yang membentuk bulan sabit itu terlukis indah. "Gus sama Ning habis ketemu siapa?"

Kaila seketika menjadi gugup, Gadis itu melirik Arsha, dan mendapatkan anggukan dari Kakanya. "Maaf Mbak, Kai baru kasih tahu Mbak sekarang."

Sania tersenyum kecut dan menyela. "Calon istri Gus Arsha yaa?"

Dengan canggung, Kaila mengangguk lantas izin pergi. Tinggallah Arsha dan Sania berdua. "Selamat ya, Gus. Semoga lancar." Gadis itu menggigit bibirnya menahan getaran dan isakan yang akan keluar.

Arsha diam tidak menjawab, kini laki-laki itu bingung harus bagaimana. Jelas sekali dirinya melihat jika Sania terluka dan hatinya kini merasa jauh lebih terluka. "Sani," panggil Arsha pelan.

Berdeham sejanak, Sania berkata, "Tidak baik kita hanya berdua di sini. Sani pamit ya, Gus."

Seakan mulutnya terkunci Arsha tidak lagi berbicara, laki-laki itu membiarkan Sania pergi dalam keheningan. Wajah yang sedari tadi pucat diusaplah olehnya. Laki-laki itu beristighfar, kini dirinya harus bagaimana?

"Sania, semoga kita ada kesempatan untuk bersama, maaf jika kamu harus tersakiti terus menerus. Pasti aka nada kebahagiaan buat kamu suatu hari nanti, semoga kamu akan terus bahagia setiap harinya."

Arsha kembali duduk di bangku taman, dia menatap kosong sebuah danau kecil. Ingatannya kembali ke saat mereka jalan-jalan kemarin. Saat itu, Kaila sedang pergi membeli cemilan, sementara Arsha dan Sania menunggu.

Jelas sekali di mata Sania ada kebahagiaan saat itu, gadis it uterus menerus tersenyum dan sesekali mengajaknya ngobrol. Dia berkata, "Respon Gus Arsha enak banget buat diajak diskusi, maaf-maaf aja nih, kalau Sani jada bawel." Kemudian dia tertawa, Arsha pun ikut tertawa karenanya.

Sania setelahnya bertanya, "Menurut Gus yang baik yang mana? Wanita yang belajar dulu agama baru menikah atau wanita yang meniakh dulu baru belajar agama?"

"Sebelumnya konteks dia tidak belajar agamanya sebelum menikah karena apa?" Gus Arsha bertanya balik, karena untuk pertanyaan kali ini dia membutuhkan data lebih banyak dan tidak bisa asal menjawab.

"Karena sengaja menunggu menikah saja biar dibimbing suami."

"Jelas pemikiran itu salah. Terkadang jodoh dan kematian bisa jadi datang beriringan, bagaimana kalau kita belum sempat menikah dan belajar agama, tetapi sudah menghadapi kematian?" Sania mengangguk membenarkan pendapat itu. "Memang tujuan menikah itu untuk ibadah bersama, tapi jangan niatkan kita mencari ilmu dan ibadah itu untuk mencari ridha atau pujian manusia. Ingat, kita beribadah kepada Allah."

Sania merespon, "Berarti kalau perempuan yang mengerti dan niat ibadahnya ke Allah tidak akan menunggu dahulu menikah agar bisa dibimbing yaa?"

"Huum, karena perempuan itu sendiri belum tentu 'kan mendapatkan laki-laki yang paham agama. Sekalipun dapat, semoga aja suaminya yang penuh rasa sabar karena istrinya masih belum paham banyak. Kalau saran dari saya, belajarlah semenjak kamu kecil atau dari sebelum menikah, maka ketika dewasa kamu tidak terlalu bergantung kepada orang lain dan juga perempuan itu harus ingat jika mereka adalah madrasatul 'ula yang berarti tugasnya bukan hanya untuk dibimbing oleh suami. Namun, juga untuk membingbing anaknya nanti."

Sania terpukau untuk sejenak, tanpa sadar membalas, "Masyaa Allah, setuju calon suami. Kalau tipe idaman istri Gus Arsha yang kaya gimana?"

"Tipe istri saya, Sani?"

Sania menutup mulutnya. Dia salah bicara. "Ma-maksudnya tipe istri idaman buat laki-laki shalih biasanya kaya gimana?"

Arsha tertawa melihat Sania yang gugup dan memilih tidak menjawabnya. Sania pun sibuk dengan rasa malunya sendiri. Sepertinya dalam hati, Sania terus menerus merutuki diri.

Mengingatnya membuat Arsha tersenyum, Arsha sadar jika Sania memang menyukainya. Namun, mmembutuhkan waktu bagi Arsha untuk bisa menjadikan Sania sebagai istrinya. Terlebih lagi menghadapi keluarganya.

Beberapa hari ini Arsha menyadari jika mimic wajah Sania tidak begitu ceria, moodnya juga tidak begitu bagus. Tampak sekali perempuan itu seperti seorang yang sedang putus cinta. Kini mereka sedang berkumpul di meja makan, sore ini mereka makan bersama. Putri mengajak Sania bercanda sesekali, gadis itu pun tersenyum dan tertawa pelan. Jika mau terkadang membalas candaan itu, bahkan tidak jarang Sania kembali berdiam diri setelah bercengkrama.

Bu Nyai berbisik kepada Kaila ada apa lagi dengan Sania dan Kaila pun menjawab jujur. Mendengar itu bu nyai sejujurnya tidak tega, tetapi dirinya tidak dapat berbuat lebih. Tiba-tiba pak Kiai berbicara yang membuat semua orang di meja makan itu terdiam.

"Arsha ta'aruf kamu sama Ning Naya bagaimana sejauh ini?"

Sania menunduk jantungnya berdebar kencang. Apalagi ketika Arsha menjawab, "Alhamdulillah lancar, Bi." Gadis itu lantas meremas jarinya dengan kasar, suasana pun begitu canggung.

Putri pun ikut menyeletuk, "Iya Mas, harus kenal banget sama calonnya. Jangan sampai sembarang orang yang nikah sama Mas. Piye nanti kasian Mas kalau gak dihargain. Iya gak Bi?"

Pak kiai pun mengangguk pelan. "In syaa Allah, Put calone Mas yang ini shalihah, nasabnya juga bagus. Keluarganya punya pengetahuan yang luas, pendidikannya tinggi. In syaa Allah bawa berkah buat keluarga Masmu nanti."

"Siap Bii. Cepet-cepet nikahnya deh Mas, biar Mas gak gangguin aku lagi hihi."

Arsha melotot. "Beresik ah, anak kecil tau apa."

Sementara di sisi lain Kaila dan bu nyai diam-diam mencuri pandang kepada Sania yang menunduk, tetapi bibirnya tersenyum. Entah apa yang dipikirkannya.

Mengejar Cinta Gus Arsha (5) {ON GOING}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang