07. Rumah yang Menyebalkan

104 14 0
                                    

Setelah beberapa hari keadaan Sania pun mulai membaik. Setelah Pak Kiai pikir-pikir, Sania lebih baik dahulu pulang ke rumahnya. Gadis itu harus meminta izin dengan baik jikalau ingin tinggal di pesantren. Bagaimanapun dan seburuk apapun keluarganya, tetaplah Sania adalah seorang anak yang harus berbakti. Keputusan itu pun Pak Kiai sampaikan dengan baik kepada sang bersangkutan dan di sinilah Sania berada. Di dalam sebuah mobil yang hendak mengantarkannya ke rumah.

"Gus," panggilnya.

Sang empu pun menoleh sekilas dan kembali focus menyetir.

"Sani bisa engga ya di sana?"

Gus Arsha tidak langsung menjawabnya. Ngomong-ngomong mereka kini tidak berduaan melainkan juga ada Kang Santri yang duduk di samping Gus Arsha. Sementara dirinya berada di kursi penumpang belakang.

"Bisa, pasti bisa, San! Karena bagaimanapun kamu tidak akan bisa terus menghindar dari masalah." Gus Arsha ikut merasakan sesak. "Walaupun berat jalani ya, kamu tahu kan kalau lelah harus mengadu ke siapa?"

Sania tersenyum. "Ngadu sama Gus Arsha," sautnya.

"Sama Allah Sania, bukan sama aku." Laki-laki itu menggelengkan kepalanya sambil terkekeh.

"Lalu setelahnya sama kamu ya, Gus?" Dirinya menggoda.

Sementara Gus Arsha merasa malu sendiri apalagi di sampingnya adalah santri sekaligus sahabatnya. "Selama sama-sama jomblo mah bisa di-gas aja kali ya, Gus dan Calon Ning?"

"Apaan Raf, mulai deh." Sania dan Rafa pun tertawa bersama.

"Mas Rafa kayaknya seumuran sama Gus Arsha ya."

Gus Arsha yang mendengar panggilan Sania berdecih pelan, sementara Rafa dengan sengaja menggodanya. "Iya, Sania. Mas Rafa temennya Gus Arsha dari SD, cuman baru deket bangetnya pas masa-masa S1 kemarin."

Sania mengangguk. "Begitu ya, Mas. Kalau begitu tahu dong ya, Mas Rafa kalau Gus Arsha populer di kampusnya?"

"Tahu dong, Mas Rafa tahu banget."

Sebelum Sania sempat bertanya lagi, Gus Arsha menyelanya. "Mas-mas, panggilnya pakai panggilan yang lain aja Mbak Sania."

Sania pun mengerutkan keningnya sembari menahan senyum geli. "Emangnya kenapa kalau manggilnya Mas Rafa?"

"Gelii, si Rafa dipanggil Mas. Apalagi sama kamu."

"Oh geli ya, kirain cemburu."

Rafa tertawa puas dalam hatinya ketika mendengarkan percakapan barusan. Dirinya merasa lucu melihat sejoli ini.

Sesampainya di depan rumah Sania, gadis itu tidak langsung turun. Dia hanya memperhatikan sambil menahan rasa takut di hatinya. Dirinya mungkin tidak akan pernah siap sampai kapanpun untuk kembali ke sini lagi.

Gus Arsha menoleh ke belakang dan menegurnya. "Sani, aku temenin keluarnya. Ayo, ngga apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja."

Mendengar kalimat penenang dari laki-laki idamannya, Sania menatapnya sebentar kemudian mengangguk. Percaya, meskipun sebentar setidaknya Gus Arsha akan melindunginya. Keduanya pun mengantarkan Sania ke depan pintu lantas mengucapkan salam.

Pintu pun terbuka. Ayahnya tersenyum menyambut kedatangannya. "Sania betah di sana? Keadaan kamu udah membaik kan?"

Sania terdiam sejenak. Lantas menjawabnya. "Iya, Yah."

"Wah dianterin Gus Arsha, sampai nih di sampingnya?"

Rafa pun memperkenalkan dirinya sembari menyalami tangannya, setelah Gus Arsha. "Ya sudah kalau begitu mari masuk dulu, minum makan dahulu." Dengan kompak mereka pun menganggukan kepalanya. Berbeda dengan mereka yang duduk di kursi ruang tamu, Sania malah berterima kasih dan langsung pergi ke kamarnya.

Mengejar Cinta Gus Arsha (5) {ON GOING}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang