Iris Xiphium - 25

1.7K 286 19
                                    

Diana terdiam diruang gelap itu, membiarkan jendela terbuka agar cahaya kilat masuk ke dalam ruang itu. Hujan juga sangat deras mengguyur pepohonan diluar ruang itu.

"Jin, si bodoh itu masih tak bisa melakukannya dengan baik. Padahal, aku sudah memberikannya kesempatan terakhir."gumam Diana sembari menggoyangkan gelas yang berisi minuman alkohol itu.

Diana menatap ke layar komputernya, menatap sosok dari pemilik suara serak yang menghubunginya setelah ledakan.

"Dia pikir, aku akan takut? Dasar anak bodoh. Ternyata dia masih hidup. Wah Azriel, kau merencanakannya dengan sangat baik."

Dilayar komputer itu, jelas menunjukan wajah Mona, yang seharusnya meninggal saat kecelakaan. Karena kesal, Diana melempar gelas kaca itu ke dinding, lalu berjalan menuju ke papan tulis, yang disana telah tertempel banyak foto siswa.

"Jin bahkan tak bisa menyentuh Azriel karena masih ada Rezef dan Farhan. Namun aku lebih kecewa padanya. Aku sengaja tak melukainya karena ia adalah teman putriku. Tapi sekarang, tidak lagi. Kau yang telah memilihnya, Rael."ucap Diana dengan suara lembut dan terlihat tampak tenang.

"Mulai detik ini, aku yang akan melakukannya. Kalian tunggulah, bagaimana kita saling mengakhiri, anak-anakku yang manis."ucap Diana sembari tersenyum tipis.

Keesokan harinya, Jin terlihat kelelahan namun juga terlihat panik. Bahkan ia mulai berkeringat dingin, sampai sekujur tubuhnya mulai gemetar.

"Ini semua karena anak-anak sialan itu. Apa yang harus aku lakukan?"

Jin kemudian menghubungi Hena yang saat itu tengah bersama Damian. Damian bahkan melihat panggilan masuk dari handphone Hena.

"Aku harus pergi. Sampai jumpa lagi."

"Kau tau semua kejadian ini kan?"

"Dengar, aku hanya memperingatkanmu, sama seperti aku memperingatkan Loyd, dan beberapa siswa lainnya. Mundur, dan jangan ikut campur dengan masalah anak-anak dari kelas Piramida itu, jika kau ingin keluar hidup-hidup dari sini."

Damian terdiam, ia cukup termakan dengan perkataan Hena, setelah melihat semua kejadian menakutkan itu. Ditambah lagi, Loyd belum ditemukan keberadaannya.

Hena berjalan tergesah-gesah menuju ke ruang Direktur. Entah kenapa Jin menghubunginya secara tiba-tiba.

"Pak! Hah?"Hena terkejut sampai menjatuhkan handphone-nya dilantai, setelah masuk ke ruang Jin.

Dilihatnya, Jin tengah terbaring, dan berlumuran darah dilantai. Disampingnya, ada Diana yang sedang duduk santai sembari membaca buku.

"Kau datang untuk rapat osis? Atau karena pria tua ini memanggilmu?"ucap Diana dengan santainya, seolah tak terjadi apa-apa.

"Pak Jin tak bisa pergi dan bergabung dengan rapat kalian. Dia sangat kelelahan dan ingin tidur lebih dulu."ucap Diana.

Melihat ekpresi khawatir Hena, membuat Diana tersenyum hangat ke arah Hena.

"Tak perlu khawatir, dia hanya tidur. Dia masih bernafas. Aku hanya akan melumpuhkannya sementara, dia mungkin akan koma beberapa hari, lalu beberapa minggu atau mungkin akan tertidur selamanya."ucap Diana lalu berjalan mendekati Hena.

Secara tak sadar, Hena malah berjalan mundur, mencoba menghindari Diana.

"Apa kau takut jika aku akan melakukan sesuatu padamu? Berhenti, jangan membuat keributan. Aku jadi merasa seperti sosok paling menakutkan dimatamu. Hmm, melihatmu terkejut setelah melihat pria tua itu, aku agak merasa terharu. Dia pria tua yang tak punya keluarga. Keluarganya telah membuangnya."ucap Diana

Blind And Bad Rivalry (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang