Chapter 42

170 15 1
                                    

Selamad Membaca

Enjoy nak anak.

****

Gue gak bisa jadi obat buat orang lain sementara hati gue juga ngerasain luka yang sama.

• HUSEIN •

****

"UMMI, aku gak sanggup nerima ini. Kenapa harus Fahmi dan Farzan? Mereka baik, mereka selalu ada bersama aku dan sahabat-sahabat aku."

Ummi Zaenab menggenggam erat tangan Delvin, mengusap wajahnya lembut dan menatapnya lekat.

"Kata selalu ada seharusnya jangan dilekatkan pada manusia, karena manusia itu sama-sama mahluk dan sama tidak abadi." Delvin membalas tatapan Umminya dengan tatapan sendu, ia menyandarkan kepalanya di bahu Ummi Zaenab.

"Tapi Ummi, kehilangan dua sahabat yang berarti buat hidup aku itu kayak bencana sendiri. Aku kehilangan Fahmi, dia sahabat aku, dia selalu menghibur di kelas, dan kami gak pernah bertengkar."

"Ummi ngerti, gak ada yang bisa mengobati kehilangan, tapi ikhlas untuk merelakan adalah sebuah keharusan. Kita tidak boleh bersikap sebagai pemilik, Nak, karena yang kita genggam saat ini, yang membersamai kita hari ini akan di ambil lagi oleh yang menitipkan-Nya."

Ruangan itu begitu hening, Delvin bergeming seraya mengingat kejadian itu. Dia melihat sendiri saat Fahmi tak sadarkan diri lagi, mungkin hari itu adalah detik terakhirnya.

"Aku pernah janji sama Fahmi, mau traktir dia kalau dapat nilai 90 di ulangan Fisika. Kalau dia kalah, dia yang harus traktir aku."

"Ulangannya udah?" tanyanya seraya menunduk menatap Delvin. Sang empu menggeleng lemas.

"Senin kita ulangan, Ummi. Aku kira dia bakalan tetap hidup dan berusaha keras buat mendapatkan hasil ulangan yang sesuai. Dia pergi ninggalin aku, Ummi. Besok besok, yang minta contekan sama aku siapa ya Ummi? Terus, yang suka bilang kalo aku anak ummi siapa kalau bukan Fahmi? Aku takut gak bisa semangat hidup karena aku kehilangan sahabat aku. Aku gak bisa nerima semua ini dengan mudah Ummi, aku gak bisa. Aku kehilangan sahabat aku, aku gak bisa ikhlas hanya dengan ucapan aja." cicitnya sebelum ia terisak kencang dibalik dekapan Ibunya.

"Ummi gak akan maksa kamu buat cepat ikhlas dan menerima semua. Ummi tahu di tinggal karena kematian amat sakit rasanya. Kamu berhak berduka dan menangis, tapi setelah ini berjanjilah pada Ummi agar kamu mau belajar ikhlas dan merelakan." jelasnya bergetar dan mengeratkan pelukannya pada Delvin.

"Ummi, ajak aku pergi dari sini. Aku enggan bertemu Husein, Anjas, dan Haikal. Aku gak sanggup menghadapi mereka."

"Kenapa? Bukannya kalian memang seharusnya saling menguatkan?"

"Tolong aku, Ummi. Jangan pertemukan aku dengan mereka. Aku gak mau, aku gak bisa. Aku belum siap."

"Nak, bukankah kehadiran kamu bisa membantu mengobati rasa sakit mereka?"

"Dan rasa sakit aku gimana Ummi?" tanyanya seraya mendongak. Ummi Zaenab bergeming. "Biarin aku berduka sebentar aja, Ummi. Setelah siap, aku sendiri yang akan menemui sahabat aku."

****

"Anjas..." gumam Haikal di pembaringan, ketika melihat Anjas datang menggunakan kursi roda bersama ayahnya.

Pak Mahmudi mengarahkan kursi roda yang di tempati Anjas untuk mendekat ke samping bed Haikal. Terlihat Haikal berbaring seorang diri seraya menatap keluar jendela.

HUSEIN (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang