14. Terlalu Manis

109 23 12
                                    

..

Suara mobil yang berhenti di teras depan, membuat Renata bangkit dari tempat duduknya. Ia menghampiri pintu utama dan membukanya kemudian. Tak lupa dengan rasa terkejut dan juga lega karena Juna keluar dari mobil itu bersama Mika dan Sean. Oh, sudah jelas bukan, bahwa mereka pasti dari bandara. Tapi saat itu juga Renata mengernyit heran.

"Julian...," lirihnya kemudian menghampiri Sang putra, memeluknya sesaat sebelum mencubit perut lelaki itu.

"Awh! ah! sakit bun, kok dicubit, sih?" lelaki itu mengeluarkan raut bertanya, gue salah apa coba?

"Kamu gak tahu, bunda khawatir banget sama kamu. Pergi pake baju pasien, masih banyak luka, mana lari-larian juga. Kalo aja Sean gak ngasih tahu, bunda udah bingung sendiri di rumah sakit."

Lalu wanita itu juga menoleh ke arah Mika yang masih diam di tempat. "Mika juga, kenapa mau ke Jepang gak bilang-bilang sama bunda. Sumpah, ini kalian serempak bikin bunda khawatir, hah?"

Mika dan Juna hanya meringis kaku, sedangkan Sean juga hanya tertawa kecil. Tak lama kemudian pemuda berlesung pipit itu berpamitan pada mereka. Tampak jika ia masih ada hal yang harus dilakukan saat ini. "Emm, tante, Juna, dan Mika. Sean mau pulang duluan, mau nganterin mama ke rumah nenek."

Renata mengangguk mengiakan, "oh iya Sean, maaf banget ya, tante bikin kamu repot gara-gara dua orang ini. Tante makasih banget sama kamu, mana dianterin sampe rumah lagi. Pokoknya tante makasih banget."

"Gakpapa, tan. Santai aja kalo sama Sean, ya udah aku pulang dulu, tan." Sean kemudian mencium tangan dan berpamitan kembali. Tak lupa mengatakannya juga pada Juna dan Mika. "Jun, Mik, gue pulang dulu. Jangan lupa besok pajak jadian."

Setelah itu Sean melenggang pergi dari sana dengan senyum tengilnya. Tentu membuat Renata bertanya-tanya, apa maksud dari kalimat itu? "jadian? kamu sama Mika-"

"Emm, bun. Mendingan kita masuk dulu deh. Kita bicarain di dalem aja."

"Ya udah ayo."

Renata pergi lebih dulu ke ruang tamu, sedangkan Juna melirik Mika. Ia mengulurkan tangannya tanpa ragu pada gadis itu, dan sudah pasti Mika menerimanya dengan senang hati. Kapan lagi mimpinya menjadi nyata, digandeng oleh orang yang ia cintai rasanya sangat bahagia walau sederhana.

"Ayo cepet jelasin, kalian labil banget. Tadi di rumah sakit kaya berantem, sekarang jadian. Gimana maksudnya?"

Juna menoleh ke arah Mika, begitu juga dengan gadis itu. Mereka saling tatap sebelum Juna mulai mengatakan pernyataan mengenai hubungan mereka. "Bunda pasti bingung, selama ini aku gak pernah nunjukin tanda kalo aku punya rasa sama Mika. Bahkan aku selalu abai waktu bunda bicarain Mika, itu karena aku gak mau goyah sama pendirianku buat selesaiin tugas kuliah sampai selesai."

"Tapi akhirnya runtuh juga karena Mika bilang dia mau ke Jepang, aku baru aja tahu tadi waktu di rumah sakit. Dan ya, aku gak bisa kalo gak ada Mika."

Juna menatap Mika dengan dalam kemudian, "Mika alasan aku buat cepet selesaiin tugas-tugas itu dan lulus. Ngelihat Mika dan denger kabar baik dari dia aja aku udah seneng."

Lelaki itu kembali menatap Sang bunda. "Bun, kali ini aku udah yakin kalo emang Mika yang aku pilih. Terlepas dari itu, kita mau minta pendapat-"

"Pendapat apa? udah bunda restuin, bahkan kalo kalian nikah bunda seneng banget. Gak usah bertele-tele, deh, kamu. Kalian pacaran, gitu kan?" Renata memotongnya cepat, benar jika dirinya menyukai Mika. Apalagi jika putranya itu meminta restu untuk menginjak hubungan yang lebih serius, Renata sudah memberi lampu hijau banyak-banyak.

"Iya, tapi bukan itu doang."

"Terus apa?"

Juna terlihat berpikir, Mika yang sedari tadi hanya menyimak pun juga turut ingin tahu apa yang akan Juna katakan. Karena jujur saja, Mika tidak menyangka hal ini akan terjadi hari ini. "Emm, gak jadi. Nanti aja, deh."

[A]. STEREO [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang