26. Aku dan Mereka pt.2

38 5 0
                                    


..

"Kenapa lo baru bilang kalo punya apartemen bagus begini? Mana isinya barang mahal semua lagi."

Hardin menghela napas pada akhirnya, jika bukan karena terpaksa, tidak mungkin ia membawa teman-temannya ke tempat kerja ayahnya ini. Lagi pula, walaupun Hardin memang sering ada di apartemen ini, bukan berarti ia juga pemiliknya. Ia hanya menumpang di tempat kerja ayahnya ini untuk singgah sebentar.

Tapi kali ini, hari ini, dan malam ini– Hardin membawa keempat temannya itu untuk singgah sementara waktu. Terutama untuk Juna yang masih belum sadar.

"Inget! Ini punya ayah gue. Tapi gue udah izin kok, jadi kita bisa nginep disini dulu kalo kondisinya belum memungkinkan," begitu jelas Hardin seraya melirik ke arah Juna yang masih tertidur dengan penampilan berantakan.

Sean mengangguk mengerti, begitu juga dengan Bima dan Theo. "Kalo kita nunggu Juna bangun kelamaan gak, sih? Gue makin ngerasa ada yang gak beres sama ini semua," tutur lelaki itu yang masih bingung dengan urutan kejadian selama satu hari ini.

"Kita bangunin aja gimana?" usul Theo kemudian. Ia juga makin penasaran dengan apa yang menjadi motif kejahatan ini. "Kalo nunggu kak Juna sadar bisa sampe besok ini," lanjutnya.

Bima menggeleng kuat, ia terus terang menolak. Sebab ada hal yang harus mereka lakukan tanpa sepengathuan pelaku, agar kasus misterius ini tidak berlanjut. "Gak deh, Yo. Kalo kita bangunin dia, bisa-bisa sekampus dia obrak-abrik. Gue yakin kalo Juna bangun sekarang pasti dia marah banget, ya..., ini menurut gue sendiri, sih. Tapi kalian nyadarin gak, kalo jarak hall ke poli klinik itu lumayan jauh?"

Theo kemudian menotis salah satu hal dari sana. "Bener juga kata lo, kak. Dan gue yakin 100 persen kalo kak Juna itu gak mungkin sakit. Bentar-bentar," tutur Theo seraya berjalan ke arah Juna yang berbaring di sofa.

Lelaki itu menelisik tubuh Juna. Memang lelaki itu penampilannya sudah berantakan, tapi tidak ada tanda-tanda pucat di wajahnya. Lantas Theo berjongkok di dekatnya, sedangkan Bima, Sean, dan Hardin pun ikut berdiri di dekat sana.

"Cantika pernah bilang, kalo orang sakit itu paling enggak punya sedikit mata panda. Liat tuh, kak Juna aja masih seger gitu– eh!"

Theo sedikit terkejut kala ia menyentuh bagian kulit bawah mata Juna yang ternyata terhalang sesuatu. Lelaki itu dengan cepat bertanya, "ini apaan, sih? Kaya cat tapi kaya bukan cat."

Sean hanya mengeluarkan raut bertanya seraya ikut berjongkok dan turut menyentuhnya. Lelaki itu sama terkejutnya dengan Theo. "Eh iya, ini apaan? Kaya yang ada di pipinya Luna deh," ucap Sean setelah mengingat-ingat bahwa ia pernah menyentuh tekstur seperti ini, seperti yang pernah Luna tunjukkan padanya.

Bima membeo seketika, "lo pada ngomongin apa, sih?"

"Ini nih, apaan sih ini?"

Kini Hardin pun turut mendekat, ia berdecak kemudian. "Ini mah make up, kak Lala juga punya kalo ini. Katanya sih, biar mata pandanya gak keliatan. EH, WAIT A SHIT SECOND!"

Semua mengalihkan pandangannya ke arah Hardin. Lelaki itu menggeser tubuh Theo dan Sean kemudian, selepas mengambil tisu basah dari dapur. Hardin mengusapkannya ke wajah Juna, dan ya– hal selanjutnya membuat mereka terkejut bukan main. Sebab di wajah Juna ada beberapa luka lebam.

"Fix, ini dia habis dipukulin. Tapi siapa sialan?"

"Juna gak mungkin dipukulin tanpa sebab. Coba kita urutin dulu deh dari awal." Sean mulai bangkit dan menjelaskan apa yang ia tahu, "Juna terakhir kali ada di hall sekitar jam 11 lebih, itu pas gue misah sama dia. Sejam kemudian kita nyariin dia tapi udah gak ada di dalem hall. Itu artinya Juna udah diluar hall. "

[A]. STEREO [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang