23. Bahagia Aja Dulu

55 10 0
                                    


..

"Lo nyogok gue? Haha...."

Gadis itu, Hana tersenyum kecil saat menyerahkannya. Nikon F3– kamera vintage yang sangat amat Hana hapal betul mirip dengan milik siapa. Lagi pun, bukan tanpa alasan ia memberi Daffa benda itu. Lelaki itu juga bertanya-tanya, sebab Hana sudah lama tidak mengiriminya pesan atau bertemu dengannya di kampus. Sekarang gadis itu tiba-tiba datang dan memberinya kamera itu.

"Gue cuma mau ilmu anak Hukum yang katanya suka sama Mikaila ini berguna."

"Sayang banget kan, kalo dianggurin gitu aja. Gue tahu lo mungkin nolak ajakan kerja sama gue lagi. Tapi inget, gak ada yang gak mungkin dilakuin buat misahin mereka, kan, Daff?" ujar Hana membujuk Daffa lagi-lagi. Dengan kalimat singkat dan penuh harap itu, Hana yakin bahwa Daffa akan bergerak sesuai hatinya yang mulai panas.

"Saran gue, bulan depan cocok banget kalo lo bikin percikan kecil. Gue pergi dulu, jangan lupa hubungin gue kalo butuh bantuan. Gue bakal lakuin dengan senang hati."

Hana melenggang pergi begitu saja, meninggalkan Daffa yang masih terdiam membawa kamera dari Hana. Ia benar-benar tidak tahu apa maksud gadis itu berkata demikian padanya. Kamera? Bulan depan? Memangnya ada apa dengan bulan depan? Selain seminar dari Fakultasnya dan juga pencalonan– oh tunggu, apa yang Hana maksud adalah pencalonan BEM bulan depan? Hari dimana Cyber akan mengadakan acara internal yang besar? Gila lo Han, acara segede itu mau lo bikin kacau? Lebih gila lagi kalo gue juga ikut rencana lo.

"Dia gak bilang apa-apa soal kamera ini. Ck, dasar."

Apa boleh buat, Daffa mungkin akan mengesampingkan perihal ini terlebih dulu. Sebab Hana tak memberi penjelasan lain yang tentu saja membuatnya bingung ingin membalas dengan apa. Daffa juga belum berpikir sejauh itu untuk melakukan sesuatu pada hubungan Mika dan Juna. Atau..., akan Daffa coba nanti? Entahlah, Daffa tidak yakin, tapi juga ingin.

Ah, semoga saja lelaki itu tidak termakan oleh perkataan Hana. Gadis itu memang seharusnya pergi saja, bukan?

..

"Haikal jorok banget, ini pasti dia kan, yang makan jajanan begini?"

Mika menoleh seketika. Mendengar kalimat itu dari Juna sedikit membuatnya tersinggung, pasalnya, "itu bukan punya kak Ikal."

Saat itu juga, Juna berhenti berbicara. Ia juga menoleh ke arah Mika, melihat gadisnya menatapnya dengan setengah datar. Terlihat horror sebab Juna sudah mengetahui jawaban dari pertanyaannya sendiri setelah Mika menjawab demikian. Sungguh, Juna takut jika dugaannya benar.

"Terus punya siapa?"

Mika menjawabnya dengan nada datar lagi, "selain kak Ikal, yang tinggal di sini siapa?"

"Kamu." Sekarang Juna memelankan suaranya saat menjawab, lelaki itu juga sedikit kaku ketika bergerak mendekati Mika. Ada setitik rasa sesal ketika Juna mengomentari meja ruang makan yang terdapat beberapa bungkus snack yang belum dibuang.

"Jadi menurut kak Lian aku jorok? Iya?"

"Eh, enggak lah. Mana ada," elak Juna yang saat itu juga memeluk kekasihnya dengan sayang. Wajahnya mungkin terlihat panik, tapi jujur, jika Mika, maka semuanya Juna anggap sah-sah saja. Tidak salah dan juga selalu benar. "Tadi aku emang ngatain Haikal kok, dia emang kalo makan di kampus suka berantakan. Kamu juga ngerasa gitu, kan, sayang?" tutur Juna dengan perlahan mengalihkan pembicaraan.

Mika tentu saja menghela napas dan menatap Juna dengan datar. Ia tidak menjawab apapun selain menepuk punggung Juna sebelum melepaskan pelukan itu. Pergi dari sana untuk mencari bahan-bahan membuat nasi goreng omelet. Tanpa peduli lagi pada Juna yang masih terdiam di dekat meja makan. Lelaki itu berinisiatif untuk membuang bungkus snack ke tempat sampah dan berniat membantu Mika masak.

[A]. STEREO [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang