..
"Yap. Langsung celupin ke tinta aja kelingkingnya. Oke, makasih udah kasih suara."
"Dua jam lagi kelar, tunggu bentar lah."
"Padahal udah nyaman sama Juna, eh dianya bakal kegeser sama yang baru."
"Kak Angga kenapa gak nyalonin jadi ketua aja, ya? Dia kan 'oke' juga kaya kak Juna."
"Habis ini kita beli kopi yuk. Ngantuk parah gue."
"Semoga perangkat BEM ganti semua. Gue radak gimana gitu sejak kejadian di kantin itu."
"Gue mau gabung Maze Studio tahun depan. Sekalian pdkt sama kak Rasya."
"Udah pasti Athar ini yang menang."
Cukup riuh, apa lagi hari ini semua mahasiswa wajib memberikan suaranya untuk memilih ketua BEM baru untuk satu tahun ke depan. Hall yang dibuka seluruhnya juga terlihat penuh, padahal di halaman luar juga masih banyak orang yang belum melakukan pemilihan suara. Masih banyak antrean di sana.
Semua orang sudah di posisinya masing-masing. Menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang Juna katakan pada rapat terkahir mereka. Lelaki itu tak banyak berharap, ia hanya perlu semuanya berjalan baik sebelum ia meninggalkan lencana BEM dan fokus dengan tahun terekahirnya kuliah. Ya, Juna sudah memikirkannya dari jauh-jauh hari. Tidak lupa dengan konsekuensi yang datangnya pasti, atau mungkin tidak terduga.
"Henru mana?" tanya Juna celingukan mencari lelaki bagian koordinator lapangan itu.
Javier– pemuda yang bersama Juna sedari tadi pun mengendikkan bahu tanda tak tahu. Ia juga belum melihat Henru sedari jam makan siang tadi. "Terakhir kita makan bareng di deket Laborat, sih, " tutur Javier mengingat.
Juna hanya mengangguk, sedangkan Javier bertanya kemudian. "Emang kenapa, Jun?"
"Tadi dia bawa toa, kan? Mau gue suruh umumin kalo dua jam lagi waktu pemilunya habis. Kita harus baca suaranya satu persatu, kalo lo lupa." Juna kembali melihat ke arah jam silver yang melingkar di tangannya. Sudah pukul lima sore ternyata.
"Ohh gitu. Eh, mendingan lewat broadcast aja, malah cepet, kan?" tawar Javier.
Namun, Juna menggeleng, "emang speaker kelas bisa kedengeran sampe sini? Kecuali kita pake yang ada di ruang Rektor tuh, mantep."
Javier menepuk jidatnya, ia lupa dengan itu. "Astaga, bener. Ya udah, gue cariin Si Henru sama temen-temennya dulu buat umumin secara merata. Duluan, Jun," pamit Javier yang tiba-tiba saja sudah menghilang dari sekitaran Juna berdiri.
"Oke."
Hanya sebatas itu jawaban Juna. Lelaki itu masih mengamati sekitar dari tenda di pintu masuk Hall, sembari sesekali mengecek ponselnya yang terdapat beberapa notifikasi dari anggota BEM, bundanya, dan juga Sang kekasih– Mika.
Tapi tunggu, sejak dua jam yang lalu gadis itu belum mengabarinya satu pesan pun. Padahal Mika berkata bahwa gadis itu akan pergi sebentar ke rumah Rasya untuk– entahlah, Juna tidak tahu apa yang dilakukan para gadis saat berkumpul seperti mereka. Juna hanya belum tahu keadaan Mika, itu saja. Tapi apa boleh buat, Mika pun pernah memberitahu Juna bahwa jika gadis itu sedang berkumpul dengan teman-temannya maka tidak bisa diganggu. Juna pikir, mungkin Mika sengaja Q-time tanpa ponsel sama sekali.
"Tanya Bima juga sama aja, yang penting Mika seneng dan aman lah." Juna bermonolog pada dirinya sendiri. Dan kemudian mengirim pesan lebih dulu pada Mika.
Nanti kayanya aku pulang malem lagi, kamu tidurnya jangan malem-malem.
Kalo besok Haikal gak bisa jemput, telepon aku.
Eat well, slepp well, Mik.
Send.
KAMU SEDANG MEMBACA
[A]. STEREO [✔]
Teen FictionApa yang bisa Mika harapkan dari laki-laki super tidak peka itu? Hampir 2 tahun, Mikaila Hanggini hanya bisa mengagumi sosok Julian Narendra dari jauh. Merindukannya dalam diam, dan selalu memeluk remuknya hati. Apakah bisa, Mika bersanding dengan l...