02. Kenapa Mengapa

242 39 4
                                    


..

"Tumben banget gedung theater udah sepi jam segini," monolog Juna dengan heran sembari mencabut kunci motor dan berjalan ke arah gedung besar itu. Agaknya mencari bilik toilet yang paling dekat.

Bukan tanpa alasan, gedung theater yang letaknya memang ada di bagian paling ujung belakang kampus, menjadikan gedung itu tak banyak dijamah orang atau mahasiswanya sendiri. Mungkin lebih tepatnya, sirkuit yang biasa digunakan untuk balapan ada di belakang gedung itu. Jadi Juna memutuskan untuk ke sana saja.

Yang awalnya hanya biasa, kini heran yang ada pada dirinya kian bertambah kuat ketika Juna keluar dari bilik toilet. Lelaki itu melihat ada salah satu ruangan dengan lampu yang masih menyala. Ia ragu, tapi karena ia melihat lampu yang menyorot dari celah bawah pintu, membuatnya maklum. Itu tandanya, di sana memang sedang dipakai, kan?

"Broadcast? Apa yang mau disiarin malem-malem begini? Podcast kali, ya?" Tanyanya pada diri sendiri.

Ia juga berjalan santai setelah mengendikkan bahu. Ia pikir, mungkin ruangan itu digunakan untuk tugas tambahan atau semacamnya. Mereka mau lembur kali, kasian ah kalo di ganggu.

Tapi mendadak dugaannya salah besar saat ia mendengar suara pintu yang dipukul dengan pelan, ia mendengarnya secara jelas. Juna yang mulanya sudah melewati ruangan itu, kini membalikkan tubuhnya perlahan. Alisnya menukik tajam dan rasa penasaran mulai bermunculan. 

Juna mendekat ke arah ruangan itu dan kini ia bahkan sudah berdiri tepat di depan pintu. Tapi suara ketukannya berhenti begitu saja. Membuat lelaki itu membalikkan badan ingin beranjak dari sana karena merasa terbodohi oleh suara. Namun lagi-lagi niatnya terurungkan dengan kembalinya suara itu.

"Ada yang nggak beres nih," ia kemudian menajamkam pendengarannya sembari mendekatkan telinga hingga menempel sempurna pada pintu yang ada di depannya.

"Tolong…" suara itu sangat pelan. Lirih dan juga seperti orang kesakitan.

Dan setelah itu suara pukulan kecil hadir lagi. Membuat Juna reflek memutar knop pintu itu dengan cepat.

"Sial, dikunci!" umpatnya. "Hei, yang di dalem! Lo baik-baik aja, kan?"

"Jawab hei, lo baik-baik aja, kan?" 

Tak ada jawaban lagi-lagi. Membuat Juna sedikit kesal yang padahal ia sudah berbicara dengan suara lantang. "Hei denger, gue mau dobrak pintunya. Kalo lo ada di balik pintu, minggir dari sana!" tuturnya sembari menunggu beberapa detik.

"Karna lo nggak jawab, gue dobrak sekarang." 

Tanpa aba-aba, Juna menendang kuat pintu itu hingga terbuka lebar. Ia masuk perlahan ke dalam ruangan itu, mengamati sudutnya beberapa kali. Semuanya nampak biasa saja hingga Juna menemukan sosok gadis yang duduk bersandar pada loker di sebelah pintu. 

"Hei, lo gakpapa? Lo… astaga," tanya Juna seraya berlutut di depan gadis itu.

Bagaimana tidak terkejut, penampilan Mika saja sudah jauh dari kata rapih. Luka lebam di beberapa bagian lengan dan kakinya. Serta sudut bibir dengan darah kering. Pakaiannya kusut dan lengan bajunya sobek. Rambutnya pun sudah acak-acakan. Benar-benar kacau.

Ya, gadis itu adalah Mika. Mikaila Hanggini.

"Hei, bisa lo sebutin dimana alamat lo? Ayo gue anter pulang." 

"Blok C, 12km ke Barat d-dari jalan utama kampus ini…" lirih Mika masih menunduk. Ia benar-benar pusing dan tak punya daya untuk berbicara panjang lebar.

"Nih, pake dulu. Baju lo sobek," tutur Juna sembari memberikan jaket boombernya pada Mika. 

Tidak tahu kenapa, Juna miris saja melihat penampilan kacau Mika. Jujur, ia tidak tega melihatnya, dan pasti sangat terasa sakit. Apa mungkin Mika adalah korban pembulian? pikirnya. Ia kemudian melirik keempat sudut langit-langit. Dan benar saja, di sana ada cctv. Mungkin setelah ini ia bisa membantu menyelesaikan masalah Mika.

[A]. STEREO [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang