..
"Gila sih, gue gak ekspektasi lo segitu jauhnya buat rencana kita ini."
"Kalo gak ada mereka juga gue bakal lakuin apapun. Lo tahu, kak, gue udah ambil banyak banget foto buat diposting besok pagi."
"Oh ya? Bagus dong, kirim ke berita kampus. Biar habis itu Juna dihakimin sama orang-orang. Seenaknya aja campakin gue."
Hana memutar bola matanya malas, ia menegak minuman beralkohol itu hingga tandas. Saat ini, keinginannya akan segera terpenuhi. Membuat pelajaran berharga untuk seorang Julian Narendra yang tanpa berdosa telah mencampakannya dan membuangnya. Bagi Hana, itu adalah penghinaan besar untuk dirinya. Ia benci Juna, ia benci semua yang berhubungan dengan Juna.
"Kita ini, ternyata sama, ya. Dicampakin juga sama satu orang buat cewek gak penting itu. Gue males sebut namanya."
Kita gak mungkin sama, Dea. Kelas gue ada di atas lo dan itu jelas. Mau aja gue manfaatin, batin Hana menanggapi perkataan Dea. Tentang mereka yang ternyata punya kilas balik yang sama. Oh, tentu saja Hana tidak ingin disamakan oleh siapapun, termasuk Deaniza yang bodoh dan terlampau mudah untuk dimanfaatkan.
"Gak tahu juga. Gue cuma mau Juna menderita."
Dea mengangguk membenarkan, gadis itu turut mengenggak minuman beralkohol itu sedikit demi sedikit. Tapi tak lama kemudian, Hana kembali bersuara, "Dea."
"Hmm?"
"Post foto lo sama Juna yang paling berpengaruh buat dilihat. Besok jam enam pagi. Ngerti?" pinta Hana mutlak. Dea hanya mengangguk setuju, ia memang akan melakukan itu besok pagi. Atau mungkin jika boleh sekarang saja, dan membiarkan kolom komentar dipenuhi dengan kebencian.
"Lo gak akan kecewa sama gue, kak." Begitu kata Dea dengan percaya diri.
Hana hanya mengendikkan bahunya acuh dan kembali menuang alkohol dalam gelasnya. Kelakuan dua gadis itu hanya disaksikan dalam diam oleh dua orang lelaki juga di sana. Mereka hanya ikut menenggak alkohol tanpa berkomentar apapun sebelum Hana mulai bertanya pada kedua lelaki itu.
"Kenapa muka kalian biru-biru? Habis berantem dimana?"
Keduanya saling lirik sebelum menghela napas berat. "Ya. Sama ketua BEM kesayangan lo itu tadi," jawab salah satu di antara mereka.
Dea terkikik geli. Sedangkan Hana tak menyangkal hal itu, ia tahu betul bagaimana pertahanan diri seorang Juna. Memang bagus, sangat malah– namun, terkadang bodoh untuk menerka serangan musuh yang paling dasar. Yaitu, obat bius.
"Bentar lagi juga dia lengser. Gak cuma itu, satu kampus bakal ngolok-olok dia sampe mampus. Dan lo bakal dapetin apa yang lo mau, Mikaila Hanggini. Iya kan Daff?"
Tidak akan menjadi mungkin jika orang yang bersekongkol dengan Hana dan Dea adalah Daffa– mahasiswa jurusan Hukum tingkat tiga yang sudah lama menyimpan rasa pada Mika. Mungkin sejak pertemuan pertama mereka waktu itu. Waktu dimana Mika belum menjadi milik Juna.
Tidak disangka, bukan?
"Lo tahu itu. Dan gue gak akan biarin siapapun buat halangin gue, termasuk adik gue sendiri."
Mendapat tepuk tangan dari rekan babak belurnya, Daffa tidak segan untum menyunggingkan senyum miring. Siapa yang boleh mengambil Mikanya? Juna? Oh, tidak akan ia terima kali ini."Dia tahu tentang ini?"
Daffa menggeleng, "dia bodoh. Sok ngalah terus sama Juna. Gue muak liatnya." Mungkin emosi lelaki itu sedang memuncak hanya karena membahas tentang Juna dan hubungannya dengan Mika.
"Apapun itu, terserah kalian lah. Tugas gue udah selesai dan gue mau balik ke kost dulu," pamit lelaki yang sudah membantu Daffa untuk membuat Juna tumbang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[A]. STEREO [✔]
Teen FictionApa yang bisa Mika harapkan dari laki-laki super tidak peka itu? Hampir 2 tahun, Mikaila Hanggini hanya bisa mengagumi sosok Julian Narendra dari jauh. Merindukannya dalam diam, dan selalu memeluk remuknya hati. Apakah bisa, Mika bersanding dengan l...