Sepanjang jalan, Khalisa tak henti-hentinya tersenyum dengan kejadian satu minggu yang lalu. Bahwa Levin melamarnya bersama kedua orang tuanya beserta keluarga yang lain. Itu berarti, hari pernikahan pun semakin dekat. Karena dua hari seusai lamaran, mereka langsung membahas tanggal pernikahan.
"Gak usah senyum-senyum gitu, ngeri gue."
"Ya ampun, Mel. Gue seneng pake banget tahu, Levin akhirnya ngelamar gue. Tinggal nunggu h-1 aja nanti, gue bakal dipinang sama anak orang."
Mela tertawa akibat perkataan Khalisa. Sahabatnya itu rada-rada tengil memang kalau sedang bahagia. Namun, tak urung membuatnya ikut merasakan bahagia. Mela juga merasa, Levin lah yang tepat untuk masa depan sahabatnya. Dibandingkan dengan pria yang sebelum-sebelumnya mengenal Khalisa, Levin jelas lebih unggul dari segala hal. Sudah anak tunggal, mapan, pintar, baik meskipun rada judes kalau sama orang yang baru dia kenal, dan yang pasti bonusnya tampan. Apa coba yang kurang? Dari keluarga yang jelas-jelas bonafit dan bukan sembarangan. Sahabatnya memang sangat beruntung.
"Mel, anterin gue ke butik temen nyokap, dong. Bentar lagi sampe, si, sorry banget gue bakalan lama di sana. Gak apa-apa kan, ya, kalo lo ke kantornya sendiri?"
"Ya, elah, santai kali. Lo kaya baru kenal sebulan-dua bulanan aja, deh."
"Oke, maaciw Melaku yang cantik." Seusai mengatakan itu mereka tertawa. Karena merasa random dengan segala perlakuan mereka sendiri.
***
Athaya berjalan-jalan santai di trotoar seusai memarkirkan mobilnya ditepi. Ia melihat jalanan dengan lalu-lalang kendaraan. Langit sore yang cerah mampu membuatnya tersenyum.
Hari ini ia meliburkan kafenya. Satu hari saja, sangat berarti buat para karyawannya. Karena ia tahu, bahwa mereka kelelahan kemarin. Lantaran sebagian ada yang full time, terutama bagian dapur alias masak juga bagian barista. Athaya tidak setega itu untuk membiarkan mereka mengerjakan pekerjaan, dengan tenaga yang kurang fit.
Atensinya kini mulai beralih pada anak-anak jalanan. Ada yang sedang mengamen, menjual koran serta mainan, serta menjual air mineral kemasan botol. Desahan nafas keluar dari mulutnya saat melihat mereka begitu antusias melakukan segala hal, demi mendapatkan uang. Hidup memang sekeras itu, apalagi tinggal di perkotaan begini.
Langkahnya mengikuti arah mereka. Ternyata mereka tinggal di tempat yang sama, dengan bangunan sederhana dan sangat apa adanya.
Tubuhnya berbalik menuju mobilnya yang terparkir. Ia ingin membeli sesuatu yang bermanfaat untuk mereka. Rasa simpatinya begitu kuat, ketika melihat mereka yang semangat dalam mencari uang. Ia merasa kecil jika dihadapkan dengan mereka.
Anak-anak seperti mereka itu, didewasakan dengan keadaan. Mereka juga tidak ingin kerja keras begitu, di umurnya yang masih dini. Namun, dunia memang tak berpihak pada mereka. Karena mereka dihadapkan dengan cobaan dunia. Hidup tanpa ada fasilitas memadai, orang tua tak punya, pengasuh dengan uang yang mumpuni pun tak ada. Jadi, pilihan satu-satunya ialah berusaha sendiri agar dapat menghasilkan uang dengan cepat. Untuk menanggung hidup seperti makan dan membeli pakaian ganti yang sederhana.
Senyum tersungging dari bibir seorang Athaya. Ia merasa senang dengan apa yang ia lakukan di sore ini. Bertemu anak-anak jalanan dan memberi hadiah pada mereka. Penuh antusias ketika Athaya datang sambil membawa beberapa bingkisan. Tak lupa ucapan terima kasih serta do'a yang baik dari mereka. Hal itu mampu membuat hati Athaya menghangat. Mungkin harusnya memang begini, ketika usahanya yang sudah mulai lancar, bersedekah pun tak boleh ditinggalkan.
Lagi dan lagi Athaya tak sadar, bahwa ada pasang mata yang menatapnya dengan segala kegiatan yang ia lakukan. Entah memang disengaja atau itu suatu kebetulan.
________
03-03-2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Kebenaran Cinta (Terbit EBook)
Romance(Tersedia dalam bentuk eBook di Google Playstore dan Playbook, oleh penerbit Eternity Publishing) Athaya kesal dan marah, kala kakaknya yang kabur entah ke mana dan apa alasannya. Di hari penting seperti ini, bukannya menyelesaikan masalah justru k...