21. Keseharian

10.7K 793 4
                                    

Suara alarm tengah menyambut pasangan yang masih saja bergelung selimut, dengan posisi saling memeluk satu sama lain. Mata mereka seperti enggan untuk terbuka. Menempel bak diberi sebuah perekat.

Beberapa menit kemudian, satu pasang mata terbuka dengan perlahan. Melirik jam dinding yang ada di hadapannya. Kemudian mata itu melihat wanita yang saat ini tengah memeluknya. Pagi menyambutnya dengan indah.

"Cantik." Satu kata itu mampu membuatnya berdesir. Baru ini ia memuji dihadapan wanita yang menjadi istrinya itu. Meskipun masih tertidur, tapi rasanya berbeda.

"Eungh." Erangan bangun tidur, terdengar ke telinga pasang mata yang sejak tadi memandangnya.

"Vin, udah bangun? Jam berapa ini?" Pemilik mata indah dan wajah cantik yakni Athaya, bertanya seraya memandang Levin yang sedang tersenyum.

"Udah jam enam. Tapi aku males bangun, Ta." Levin berujar dengan wajah yang bersembunyi di ceruk leher Athaya. Suaranya berubah menjadi manja. Begitulah tabiat laki-laki kalau sedang bersama istrinya.

"Bangun dulu sayangku. Aku belum nyiapin sarapan, loh." Levin tak mengindahkan suara Athaya. Ia masih dengan posisinya dan semakin memeluk Athaya dengan erat.

"Vin, lepas dulu! Kamu manja banget pagi-pagi gini."

"Ta, nyaman kaya gini. Gak mau kerja, maunya sama kamu aja." Athaya menampar lengan Levin. Ia jadi greget sendiri atas ucapan suaminya itu.

"Kamu bangun dulu, deh. Aku mau buat sarapan, emangnya kamu gak laper?" Levin mengangguk di ceruk leher Athaya.

"Tuh, kan, pasti laper. Ayo bangun dulu Levin sayangku yang ganteng." Seusai mengucapkan itu Levin segera melepaskan pelukannya dan duduk dengan tegap. Athaya yang melihat itu terkekeh akan tingkah Levin yang menggemaskan.

"Ta."

"Hm?"

"Morning kiss!" ujar Levin dengan nada yang manja.

Athaya langsung mencium pipi kanan dan kiri Levin. Seusai itu dirinya menjawil hidung mancung milik Levin.

"Kurang sayang." Athaya mencium kening Levin cukup lama dan mengacak rambutnya yang memang masih berantakan.

Levin yang merasa masih kurang, segera melahap bibir merah muda milik Athaya. Ia menyesapnya dengan lembut tanpa ada perlawanan. Athaya mengalungkan tangannya ke tengkuk milik Levin. Mereka saling menyecap rasa, bertukar saliva, dan memainkan lidah di kedua mulut mereka. Tangan Levin tak tinggal diam, ia mengusap punggung mulus milik Athaya dibalik baju piyamanya.

Athaya mengerang saat Levin memegang salah satu titik sensitifnya. Desahan terus keluar dari mulut Athaya hingga membuatnya kalang kabut tak karuan. Tubuhnya tak bisa diam dengan segala perlakuan Levin yang menjamah tubuhnya. Tak ada yang bisa menghentikan mereka, kalau saja suara dering telepon yang terletak di meja dekat tumpukan buku itu berbunyi.

Mereka pun menghentikan kegiatan itu, dengan deru nafas yang tak beraturan. Levin berdecak kala suara tersebut berasal dari ponselnya.

"Ganggu." Levin berujar seraya mengangkat telepon itu dengan wajah kesal.

Athaya yang melihat itu segera bangkit dari duduknya. Ia merapikan tempat tidur dan mencium pipi Levin, sebelum akhirnya pergi menuruni anak tangga menuju dapur.

***

Athaya telah menyiapkan sarapan pagi ini. Semua hidangan sudah tertera di meja makan. Ia tersenyum kala Levin tengah menuruni anak tangga dengan melipat kemeja putihnya.

"Mau aku bekal juga, gak?" tanya  Athaya seraya menyendokkan nasi untuk Levin.

"Boleh." Athaya pun mengangguk atas jawaban. Setelah itu mereka mulai menyantap sarapan dengan hening.

Seusai sarapan, Athaya mulai mengemasi bekal makan siang suaminya ke dalam wadah. Lalu ia masukkan ke dalam paper bag cokelat dengan rapi.

"Vin, udah selesai, ni." Athaya menghampiri Levin yang masih berdiri di teras rumah.

"Makasih, ya." Athaya tersenyum dan mengangguk. Kemudian Levin pamit, tak lupa mencium kening istrinya dengan lembut. Athaya pun sama, ia mencium punggung tangan Levin dengan penuh hormat.

Tak lama kemudian, mobil Levin melenggang pergi dari kawasan rumah, hingga tak terlihat lagi dari pandangan Athaya.

Dari seberang rumah mereka, Okta yang sedari awal melihat Levin dan Athaya, kini hanya memandang lesu. Harapannya seakan musnah. Tapi, ia penasaran dengan wanita yang saat itu bersiteru dengannya. Ada hubungan apa mereka dengan wanita itu? Ia bertanya-tanya dalam hati dengan pikiran berkecamuk. Apakah ada orang ketiga di antara mereka? Atau Athaya lah yang merusak hubungan wanita itu dengan Levin? Sepertinya, ia harus tahu tentang mereka.

***

Athaya berselonjor di sofa ruang tamu, dengan tangan yang memainkan ponselnya. Sedari tadi ia menghubungi Theo, guna memberitahu bahwa minggu ini ia tidak berkunjung ke kafe. Kafe itu ia serahkan langsung pada Theo.

Mengenai Theo. Athaya kenal dengan Theo bukan hanya sebulan dua bulan saja, namun tahunan. Dari zaman SMA hingga kuliah. Namun sayangnya, saat itu Theo berhenti di tengah jalan. Dia hanya dapat meneruskan sampai semester lima, lantaran kehabisan biaya. Saat itu Theo memilih untuk bekerja di sebuah super market, dengan gaji yang lumayan untuk memenuhi kebutuhannya.

Selang beberapa tahun kemudian, mereka bertemu kembali. Athaya sudah mendirikan kafe yang saat itu terbilang baru, kisaran satu tahunan. Theo yang berkunjung ke kafe, dan mulai curhat tentang kehidupan pribadinya. Ternyata saat itu Theo memilih untuk berhenti, karena ada kecurangan dari orang dalam saat ia menjaga di super market tersebut. Cukup lama juga Theo bekerja di sana, tapi memang belum jodohnya untuk menjadi karyawan tetap.

Hingga akhirnya Athaya menawarkan Theo pekerjaan di kafenya. Posisi barista ialah yang utama untuk Theo. Sampai akhirnya, Theo diberikan kepercayaan oleh Athaya untuk mengatur apapun yang ada di kafe. Karena Athaya tahu, Theo anak yang jujur sejak dulu. Maka dari itu, Athaya beritikad baik untuk merekrut Theo menjadi karyawan tetap di kafe miliknya. Bahkan Athaya merasa punya teman seperjuangan, ketika ada Theo di kafenya. Karena sedikit banyak, Theo mempunyai andil dalam memberi suatu inovasi baru untuk kafenya yang akan semakin maju. Jadi menurut Athaya, Theo bagai sahabat baiknya sejak dulu hingga saat ini.

***

Kawasan rumah yang Levin dan Athaya tempati saat ini, sungguh sepi. Karena kebanyakan penghuninya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Seperti pekerja kantoran atau juga pengusaha restoran yang mengharuskan keluar terus-menerus.

Athaya baru saja mandi sore. Ia sudah selesai melakukan pekerjaan rumah dan memasak. Langkahnya kini keluar untuk memberi makan dan camilan pada pak Sarto. Karena pak Sarto masih sungkan untuk mengambil sendiri masakan itu di dapur. Jadi Athaya selalu inisiatif untuk mengambil makanan untuk satpam rumahnya itu.

"Di makan, Pak."

"Makasih, Non, Ata."

"Sama-sama, Pak."

"Pak, kalo ada tetangga seberang rumah iseng ke sini lagi, kasih tau saya, ya, Pak. Meresahkan soalnya," ujar Athaya diselingi dengan tawa.

"Iya-iya, siap, Non." Pak Sarto pun ikut terkekeh pada Athaya, karena memang tetangga seberang rumahnya itu sangat meresahkan sekali. Belum merasakan kepretan tangan Athaya sepertinya, jadi belum kapok-kapok.

Athaya memasuki rumah kembali. Ia menunggu kedatangan Levin di sofa ruang tamu. Kali ini di temani dengan laptop yang menyala, menampilkan sebuah drama korea dengan genre aksi.

Memang Athaya ini kalau sudah mulai drakoran tak ingat waktu. Kadang jadi lupa dengan hal-hal di sekitarnya.

________

28-03-2023

Kebenaran Cinta (Terbit EBook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang