Levin tak berhenti menatap layar lebar berbentuk kotak dihadapannya, dengan jari-jemari yang menari di atas keyboard. Berkas berserakan di meja, menandakan betapa banyaknya hal yang ia kerjakan.
Sahabat sekaligus sekretaris Levin berulang kali mengecek ke dalam ruangan. Karena dia takut, kerjaan yang menumpuk itu akan membuat sahabatnya stress.
"Vin, udah, lah. Lo jangan forsir banget diri, lo. Tenggat waktu lo seminggu lagi buat acara nikahan, lo mau stress gara-gara ginian?"
Levin menatap sahabatnya yang bernama Sadam itu sebentar, lalu pandangannya beralih pada berkas-berkas kembali.
"Mending lo kerjain kerjaan, lo, Dam. Daripada ganggu gue di sini."
Sadam menimpuk bantal sofa ke arah Levin. Ia tak habis pikir dengan sahabatnya, yang mementingkan berkas kerjaan daripada pernikahannya.
"Dam!" geram Levin saat bantal mendarat pada kepalanya. Tatapannya berubah tajam dengan decakan keluar dari mulutnya.
"Lo ganggu, sumpah. Mending keluar, deh!"
"Levin yang ganteng anak tunggal om Adnan, berhenti dulu, bisa? Gue di sini yang bakal bantuin kerjaan, lo. Sekarang, lo harus istirahat dan mikirin acara pernikahan lo nanti."
Levin akhirnya berhenti menatap pekerjaannya dan berjalan menuju sofa. Ia mendaratkan bokongnya dan menyandarkan kepalanya di bagian kepala sofa.
Sadam pun ikut duduk di sofa sebelahnya. Ia menghela nafas saat melihat Levin memejamkan matanya. Ia tahu, bahwa pekerjaan ini harus selesai dengan cepat. Karena ada kerja sama dengan perusahaan Cenyra Bintang. Perusahaan yang bergerak di bidang olahan makanan serta perhotelan.
Dalam dua minggu harus sudah selesai. Itu makanya Levin seolah terkejar dengan pekerjaan yang cukup membuatnya lelah.
"Urusan kerjaan, ada gue sama om Rama yang nanganin. Lo tenang aja, Vin. Karyawan lo gak cuma satu atau dua, mereka banyak. Kita bisa manfaatin kinerja mereka untuk ngerjain hal kaya gini, senior kaya Pioni sama Galuh juga bisa ikut ngebantu kalo mereka bersedia dan senggang." Sadam berujar seraya memerhatikan Levin yang mulai membuka matanya dan memijit pelipisnya.
"Lagi pula, lo kayanya antusias banget sama perusahaan satu ini. Karena emang menjanjikan?"
"Utamanya itu. Tapi gue juga pengen ngadain meeting lagi biar clear dengan keputusan gue nanti."
"Itu emang harus. Dari yang gue tangkep, mereka menjanjikan dengan seolah meyakinkan kita, tapi tanpa ada hasil akhir. Gue takut kalo ujung-ujungnya hasilnya nol. Uang yang lo investasiin ke mereka bakalan hilang banyak, Vin, kalo sampe ini teledor. Bayangin aja, 70% lo kirim ke mereka terus nanti gak ada hasilnya sama sekali. Masalahnya, ni orang kekeuh banget pengen buat lo bertekuk lutut. Belum apa-apa, tapi udah berani yang namanya pemerasan dan pemaksaan di atas nama kerja sama yang katanya menjanjikan itu. Profit kerja lo bukannya naik malah nurun kalo kaya gitu."
Levin memang tak salah menjadikan Sadam bekerja sebagai sekretarisnya. Ia cekatan, ulet, cepat tanggap, profesional, dan yang pasti dia bisa bekerja sama dengan baik. Ia akan serius ketika sedang bekerja, namun ia bisa santai kembali ketika sudah di luar kerjaan. Untung saja ia segera merekrut Sadam saat itu, sebelum diambil alih oleh perusahaan lain.
***
Levin melangkahkan kakinya menuju lobi. Mobil pribadinya telah menunggu di sana, ia tadi meminta supir kantor untuk membawanya. Kali ini dirinya benar-benar ingin rehat dari kerjaan, sudah waktunya ia memikirkan acara pernikahannya yang akan digelar pada hari sabtu minggu ini. Berarti, tinggal menghitung hari untuk acara resmi tersebut.
Hatinya merasa sedikit lega, karena sebentar lagi ia akan tinggal bersama dengan Khalisa di rumah mereka yang sengaja Levin buat. Bahkan interior dan furniture di rumah itu sudah terisi oleh kesukaan Khalisa. Levin memberi kepercayaan pada Khalisa atas keinginannya mengisi barang-barang di sana. Levin hanya ingin Khalisa merasa nyaman saat nanti mereka tinggal bersama.
Levin sudah berada di rumah, di sana ada kedua orang tuanya yang tengah mengobrol santai sambil menyesap teh serta kopi hangat.
"Ma, Pa, aku pulang." Levin mencium punggung tangan pada kedua orang tuanya. Ia memberi senyuman pada mereka berdua.
"Rehat dulu, Vin. Jangan sampe pas acara kamu sakit dan jatuh pingsan." Adnan, selaku papa Levin memberi petuah padanya.
"Papa bener, Vin. Semuanya, kan, udah diurus sama asisten Papa, jadi kamu tinggal duduk manis aja sekarang, ok! Ke kamar, gih, istirahat!"
Levin memang sudah mempersiapkan semuanya dengan matang. Ia juga sudah menyerahkan pada semua yang bersangkutan. Dari katering, dekorasi, hingga WO.
Meskipun tadinya tersendat di WO. Karena Khalisa selalu merasa kurang sreg dan cocok, hingga timbul percek-cokan, tapi akhirnya semua itu bisa terselesaikan dengan baik.
Sebelumnya Levin merasa tertekan karena keinginan Khalisa yang ingin begini dan begitu. Sampai mereka melakukan briefing kembali untuk bisa menyelesaikan satu masalah tersebut.
***
Sudah satu bulan setelah perencanaan pernikahan dengan berbagai rincian, kini tinggal menghitung hari untuk pelaksanaan pernikahan itu berlangsung.Khalisa kini sedang melakukan ritual lulur di salon terbaik, yang kebetulan kenalan dari Wendy--- sang ibunda tercinta.
Wendy dan Zaldy, selaku kedua orang tua dari Khalisa dan Athaya benar-benar tak menyangka, kalau putri pertamanya sebentar lagi akan menikah dengan laki-laki pilihannya.
Khalisa pergi ke tempat salon bersama Athaya, yang kini tengah sibuk dengan laptop di atas meja. Sedari tadi jari-jemarinya menari di sana dengan lincah.
Saat proses maskeran, Khalisa menitah pada karyawan yang bekerja agar meminta waktu sebentar pada Athaya di ruangan tersebut. Karena menurutnya ini agak privasi.
"Thank you for your time my beautiful sister."
"To the point, Kak!" Athaya berbicara tanpa menoleh sedikit pun pada Khalisa. Ia masih sibuk dengan laptop dan satu buku notes juga pena di atasnya.
"I want to go."
"Iya gue tahu, lo bakalan pergi ke tempat suami lo nanti."
"No, not to my boyfriend's house. But elswhere."
Saat mendengar perkataan seperti itu dari Khalisa, Athaya langsung mendongak dan menatap kakaknya dengan raut penuh tanda tanya. "Maksud lo apaan, si? Gak usah main-main, ya, Kak."
"I'm seriously."
"Candaan lo garing."
Khalisa bernafas berat saat adiknya tak percaya atas perkataannya. "Gue lagi gak bercanda, Ta. Ada wajah gue kelihatan lagi bercanda? Enggak, kan?"
Seusai dengan percakapan mereka, akhirnya proses lulur dan maskeran kini dimulai kembali. Sudah dua puluh menit berlalu, Athaya masih memikirkan perkataan Khalisa yang menurutnya janggal.
Ada apa dengan kakaknya? Apa ada hal yang tak terduga nantinya?
Ia tahu persis Khalisa yang suka melakukan hal nekat dan ceroboh. Ia takut akan hal di luar nalar terjadi begitu saja. Pusing begitu mendera dan yang ia lakukan hanya memijat pangkal hidungnya sambil memejamkan mata. Pekerjaan yang belum usai akhirnya ia biarkan begitu saja. Karena perkataan Khalisa yang masih terus terngiang dalam pikirannya saat ini.
Entah apa yang ada dalam pikiran Khalisa bisa berbicara begitu. Seperti tak ada beban dan dengan santainya dia masih bisa meneruskan luluran yang bertabur di seluruh tubuhnya.
________
03-03-2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Kebenaran Cinta (Terbit EBook)
Romance(Tersedia dalam bentuk eBook di Google Playstore dan Playbook, oleh penerbit Eternity Publishing) Athaya kesal dan marah, kala kakaknya yang kabur entah ke mana dan apa alasannya. Di hari penting seperti ini, bukannya menyelesaikan masalah justru k...