3. Lamaran Yang Mendadak

12.6K 1K 1
                                    

Athaya sibuk dengan orderan garlic bread sebanyak lima puluh dan dessert box sebanyak lima belas. Ia sengaja membuat itu di rumahnya, lantaran jika di kafe dapat membuat para karyawannya terganggu. Lagi pula rumahnya sedang sepi dan cukup luas di teritori dapur.

"Mbak Atha ini rajin banget, loh, kalo udah urusan order." Sang asisten rumah tangga yang bekerja sudah cukup lama itu, memberi komentar seraya tangannya tak berhenti untuk memasukkan garlic bread yang sudah dilapisi bungkus plastik khusus makanan, ke dalam kardus sedang.

"Namanya juga usaha, Bi. Ini strategi marketing aku biar usahanya makin lancar dan banyak yang kenal dengan sajian-sajian yang aku jual." Athaya tersenyum lebar dan tangannya tak berhenti memasukkan dessert ke dalam box.

Ia akui, hari ini benar-benar rezekinya di permudah karena orderan selalu masuk. Bahkan ia juga dapat telepon dari kafe, baru buka saja sudah ada yang mampir dan delivery online.

"Mama ke mana, ya, Bi? Perasaan dari tadi aku gak lihat."

"Loh, Mbak Atha ndak tau toh. Nanti malam lamarannya mbak Khalisa."

"Kok aku gak tahu, ya."

"Jangankan, Mbak, Bibi aja baru tahu tadi pas ibu keluar."

"Ngadain makan-makan, kah?"

"Ngadain kata ibu. Tapi dia buat di rumah bu Manda, tantenya Mbak."

Athaya mengerut bingung, kenapa harus di rumah tantenya? Memang kenapa kalau di rumah? Apa karena saat ini ia ada orderan, jadi mama pergi ke sana? Atau memang mau merahasiakan saja dari dirinya?

Selama satu setengah jam, Athaya dan bi Darsih menyelesaikan orderan. Kini semua itu ia bawa ke dalam mobil. Kalau ordernya langsung ke dirinya, memang ia akan mengantar sendiri. Lagi pula, hanya dua alamat saja yang order. Pun jaraknya tidak terlalu jauh dari kediamannya saat ini.

"Neng, gak perlu di antar?" Satpam dengan nama pak Tono itu memastikan, jika Athaya bisa berangkat sendiri atau perlu diantar.

"Bisa, kok, Pak. Aman. Aku udah sisain kue-kuenya di dapur, ya, Pak. Di makan sama bi Darsih."

"Siap, Neng."

"Bi, aku berangkat, makasih, ya."

"Iya, Mbak, hati-hati!" Bi Darsih menjawab seraya teriak, karena ia sedang ada di daun pintu utama

Athaya pun melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia cukup mawas jika membawa pesanan seperti ini. Lagi pula yang memesan pun tidak menerornya terus-menerus untuk segera diantar. Mereka tahu waktu yang ditentukannya dan kapan akan selesai untuk diantar.

***

Tak terasa hari sudah menjelang malam. Sehabis mengantar orderan, Athaya mampir sebentar ke kafe untuk memastikan semuanya aman. Sehabis itu ponselnya diteror habis-habisan oleh sang ibunda tercinta. Ia dititah untuk segera ke rumah tantenya, karena masakan sudah siap semua dan segera dibawa. Khalisa dan papanya juga sudah stay di rumah.

"Mama, ni, ribet banget, deh. Kalo di rumah, kan, gampang. Gak perlu tuh bulak-balik kaya gini ngambil segala. Di rumah tuh luas, lagi pula gue cuma pake dapurnya doang sama meja, dan gue pakai oven buatnya. Khalisa sama mama tuh sebelas-dua belas tau, gak!" Athaya mendumal seraya menyetir. Ia kesal karena harus seribet ini untuk membawa tektek-bengek makanan yang akan disajikan para tamu alias calon besan.

Kurang lebih dua puluh lima menit untuk mencapai ke rumah tantenya, akhirnya Athaya pun sampai. Belum sempat masuk mobilnya sudah dihadang untuk tetap di luar. Karena makanannya sudah terkemas dengan rapi, dan langsung dimasukkan ke dalam bagasi mobil.

"Sejak kapan nyelesaiinnya?"

"Dari tadi, kok, Ta. Cuma ya nunggu dingin masakan, makanya baru dikemas. Kamu, ni, makin hari makin turun aja berat badan, pucetan lagi. Jangan terlalu diforsir, Ta. Kamu tuh masih muda, loh, masih bisa seneng-seneng. Usaha juga dibarengi sama healing. Jadi otak juga fresh, Ta."

"Iya, Tanteku yang bawel. Aku kaya gini juga biar bisa gaji karyawan-karyawanku, Tan. Kalo akunya juga malesan, ya usaha aku jalannya gitu-gitu aja. Aku cuma lagi berusaha biar semakin maju gitu, loh. Kafe yang ku bangun juga gak mudah awalnya. Itung-itung aku lagi mengemban ide gitu, Tan." Manda atau biasa disebut Tante oleh Athaya itu tersenyum seraya mengusap surainya lembut.

Manda merasa kasihan pada keponakannya itu, dia terlalu memforsir tubuhnya untuk mengemban usahanya agar lebih maju lagi. Like father, like daughter memang, sih. Sudah tak heran lagi, keturunan Bahman itu sangat-sangat berjiwa ambis ketika mencapai sesuatu.

***

Acara lamaran sudah di mulai sejak sepuluh menit yang lalu. Kini mereka sedang menikmati sajian yang dihidangkan serta obrolan-obrolan manis di dalamnya.

Dua keluarga itu menyatu bagaikan sudah lama kenal. Padahal mereka memang baru saling mengenal satu sama lain, tapi semuanya seolah akrab-akrab saja.

Athaya yang lelah dengan kegiatannya sedari pagi, mulai duduk dengan segelas es jeruk seraya berselonjor dengan bersandar di dinding dekat tangga. Ia meregangkan otot-ototnya yang terasa sangat kaku. Matanya sayup ingin segera merebahkan diri di atas ranjang yang empuk. Namun, sang ibunda tidak mengizinkan untuk naik ke kamar terlebih dahulu. Tidak enak katanya. Karena yang datang bukan hanya orang tua dari Levin, tetapi keluarga yang lain seperti om dan tantenya juga turut hadir di acara ini. Kebetulan yang sambutan dari pihak Levin itu memang omnya sendiri.

Ponselnya bergetar menandakan notifikasi, yang kebetulan sekali itu dari sahabatnya. Jari-jemarinya tak berhenti di sana, mereka membahas hal-hal random hingga membuatnya terkikik geli.

Tanpa disadari oleh Athaya, bahwa ada sepasang mata yang tak hentinya menatap dengan begitu intens. Entah apa artinya tatapan itu, yang pasti kegiatan Athaya seperti dapat memberikan energi lebih untuk orang yang menatapnya.

________


03-03-2023

Kebenaran Cinta (Terbit EBook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang