Pagi hari pada pukul 05:30, Athaya sudah diributkan dengan suara grasak-grusuk dari tangga hingga ke dapur. Ia tidak tahu apa yang dilakukan Levin sepagi ini. Sampai pada akhirnya Athaya memutuskan untuk mencuci muka, lalu keluar melihat situasi.
Atensinya terus mengedarkan ke sekitar. Kemudian berhenti di satu titik, yaitu di depan oven yang menyala.
"Pagi-pagi gini udah ribut di dapur. Lagi bikin apaan, si?" Levin menoleh pada Athaya yang kini masih menggunakan piyama, serta rambut yang digelung ke atas. Leher jenjangnya begitu terlihat ketika Levin memerhatikan itu.
Levin segera membuyarkan lamunannya. Ia laki-laki normal. Bisa habis anak orang jika ia tidak jaga pandangan. Tapi, Athaya kan istrinya?
"Saya buat roti lumer. Kebetulan saya tau resepnya, jadi saya memutuskan untuk buat ini."
Athaya mengangguk seraya mengambil satu botol air mineral, di dalam kulkas. Kemudian menenggaknya hingga tersisa setengah.
"Hari ini ada kegiatan apa?" Levin bertanya saat Athaya mendaratkan dirinya di kursi meja makan. Tepatnya dihadapan Levin yang kini sedang menyeruput cokelat panasnya.
"Gak ada kegiatan apa-apa, mau diem aja di rumah. Dan kamu, pergi ke kantor, kan?"
Levin diam sambil memerhatikan roti di dalam oven, yang sebentar lagi akan matang.
"Saya kerja, tapi gak ke kantor. Kerjaan saya juga ga sebanyak kemarin."
Athaya memerhatikan roti yang sudah matang di dalam oven. Matanya berbinar seperti ingin segera melahapnya.
Levin yang melihat itu tersenyum. Athaya seperti anak kecil yang baru saja diberi permen.
***
Athaya misuh-misuh sejak tadi. Ia kesal lantaran Levin terus mengganggunya. Memang, si, dia bekerja. Tapi bukan di dalam ruangan kerjanya atau di kamarnya sendiri, justru ia duduk di sofa dengan Athaya yang berada di bawahnya beralaskan karpet berbulu.
Athaya sibuk dihadapan laptop. Ia sedang menonton drama korea genre thriller di sana. Tapi semua itu terganggu karena Levin mengusilinya dengan cara, ia yang disuruh pijit kakinya lah, membuatkan kopi, terpaksa harus mengambil berkas kerjanya di lantai atas, sampai harus bulak-balik karena ada berkas yang salah ambil. Berapa kali ia memberhentikan drama yang ditontonnya.
Tahu begitu, lebih baik Athaya menontonnya di dalam kamar saja dan tak lupa mengunci pintunya. Levin tidak akan menganggunya jika ia berdiam diri di dalam kamar seharian.
"Kenapa, si, dari tadi rese banget? Saya cuma mau nonton, tapi malah disuruh inilah, itulah. Kenapa gak kerja di ruangan aja?" Athaya masih terus misuh-misuh sampai ia mematikan laptopnya. Mood untuk menonton sudah rusak gara-gara Levin.
"Mana image yang katanya sok keren dan kejam itu? Yang ada malah nyebelin terus setiap kali saya berhadapan sama kamu."
Levin diam sambil memerhatikan Athaya yang mengomelinya. Cuitan yang berasal dari mulut Athaya bagai nyanyian merdu di telinganya. Agaknya Levin sedang tahap tidak waras untuk hal satu itu.
"Ya Tuhan, kenapa Khalisa ngorbanin gue dengan cowok kaya gini, si? Salah gue apa coba?" Athaya bergumam pelan, namun masih bisa terdengar ke telinga Levin. Bahkan kekehan keluar dari mulut Levin. Memang agak lain bapak sok cool ini.
"Malah ketawa lagi? Mikir dong! Saya kesel ya sama kamu. Mending ke kantor aja sana, males liatinnya."
Levin menghampiri Athaya yang masih terus nyerocos tak ada habisnya. Wajahnya kini tepat dihadapan Athaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kebenaran Cinta (Terbit EBook)
Romance(Tersedia dalam bentuk eBook di Google Playstore dan Playbook, oleh penerbit Eternity Publishing) Athaya kesal dan marah, kala kakaknya yang kabur entah ke mana dan apa alasannya. Di hari penting seperti ini, bukannya menyelesaikan masalah justru k...