26. Kepercayaan

15.1K 757 3
                                    

Athaya tersenyum miris. Hari ini tepat Levin akan pergi menuju perjalanan bisnisnya ke luar kota, yakni Yogyakarta. Kira-kira sekitar sepuluh hari, Levin akan berada di sana bersama dengan Sadam.

"Ta, jangan ngambek gitu. Aku ke sana sama Sadam, kok. Apa kamu mau ikut juga? Tapi kalo kamu ikut bakal kesepian juga, karena pasti aku sibuk sama kerjaan."

"Aku gak ngambek, Vin. Cuma, aku ngerasa sepi aja gak ada kamu. Apalagi perginya sepuluh harian. Dan pilihan aku buat ikut juga hal yang salah, aku gak mau nanti ganggu kerjaan kamu."

Levin tersenyum dan mengusap surai cokelat milik Athaya. "Janji, deh, kalo kerjaan itu cepet, paling sekitar lima hari atau semingguan aku udah selesai. Jaga diri di rumah, ya, Ta. Kalo kamu ngerasa sepi, gak apa-apa pulang ke rumah papaku atau juga papamu."

Athaya mengangguk dan memeluk Levin erat. Rasanya berat saat Levin ingin pergi meninggalkannya.

"Aku anterin kamu, ya, Vin."

"No, no, no. Aku gak mau kamu capek. Gak apa-apa, kan? Kamu istirahat aja di rumah, ok! Sadam udah di depan, aku keluar, ya."

"Ya udah, aku anter aja ke depan." Levin tersenyum dan merangkul Athaya menuju keluar rumah. Barang-barang Levin sudah berada di dalam mobil, pak Sarto yang memindahkannya. Jadi Levin hanya membawa diri saja keluar.

"Hey, Ta. Gue sama Levin izin ke Yogya, ya. Tenang aja, Ta, suami lo bakal aman sama gue. Gak akan berani dia macem-macem sama lo. Udah bucin dia sama lo, Ta." Sadam sengaja menggoda Levin yang saat ini tengah ditatap oleh Athaya.

"Titip suami gue, Dam. Takut di gondol kucing garong." Athaya berujar dengan nada candaan ke Sadam. Hal itu mampu membuat seorang Sadam tertawa akibat candaan Athaya.

Levin yang memerhatikan itu terkekeh. Istrinya ini gemas sekali.

"Aku pergi, ya, Ta. Aku sayang kamu. Hati-hati di rumah." Levin mengecup dahi Athaya lembut dan cukup lama, seusai itu langkahnya berjalan menuju mobil yang Sadam kendarai di luar gerbang.

Athaya mengikutinya hingga mereka masuk ke mobil bersama.

"Hati-hati kalian. Kalo udah sampe langsung kabarin!"

"Aman, Bu Bos." Sadam menjawab seraya membunyikan klakson tanda pamit untuk pergi. Dan meninggalkan Athaya dengan pandangan lesu.

Pak Sarto yang melihat interaksi Athaya dan Levin, tersenyum dan penuh haru. Karena selama bersama Khalisa dulu, majikannya tidak seperti itu. Levin terkesan lebih cuek dan tenang. Khalisa yang begitu manja dan periang. Tidak pernah ada adegan yang membuat majikannya itu seperti orang bucin. Memang pesona Athaya bukanlah main-main. Dan juga, kepribadian Athaya lah yang membuat Levin luluh. Pak Sarto sangat paham setelah tahu Athaya orang seperti apa. Dia baik, dewasa, juga mandiri. Tiga hal itu mampu membuat Levin menyayangi Athaya dengan tulus.

***

Keesokan paginya, Athaya menyibukkan diri ke kafe. Ia tidak mau jika terus di rumah seorang diri. Di rumah begitu tenang dan sunyi. Karena tak ada orang yang ia tunggui selama sepekan ke depan, jadi lebih baik ke kafe saja.

Athaya tidak mau merepotkan papa Adnan dan mama Bella di sana. Ia juga belum siap pulang ke rumah papanya sendiri, karena ada Khalisa yang membuatnya terasa canggung. Untuk itu ia tidak ingin menginap di rumah keduanya.

Selama di perjalanan, Athaya mendengarkan lagu dari penyanyi western Alexander Stewart. Ia begitu menikmati lagu-lagu yang dipopulerkan oleh penyanyi tersebut. Hingga tak terasa mobilnya telah mendarat di halaman parkir kafe miliknya.

Langkah lebarnya langsung memasuki kafe dengan senyuman yang terpatri di wajahnya. Ia tak lupa menyapa para karyawannya yang saat ini tengah sibuk membersihkan setiap sudut kafe. Karena memang kafe belum buka, jadi mereka masih sibuk memersiapkan semuanya.

"Hai, Ta, apa kabar?"

"Baik, Yo. Gimana kafe, aman, ya?"

"Aman, Ta, tenang aja."

"Lo sibuk banget gak, Yo? Ada yang mau gue bicarain sama lo, di ruang kerja gue."

"Gak sibuk banget, kok. Udah kelar juga beresin semuanya. Tinggal sisa-sisa kerjaan yang dipegang mereka aja yang belum." Athaya mengangguk dan melangkah menuju ruang kerjanya, diikuti Theo yang tepat berada di belakangnya.

Mereka duduk di sofa yang memang tersedia di sana. Ruang kerja Athaya cukup lega untuknya seorang diri. Athaya memang sengaja memberi ruang kerjanya yang luas, karena supaya dapat membiarkan waktu istirahatnya dengan nyaman di sana.

"Mau bicarain soal apa, Ta? Kayanya penting banget."

"Em, ini lebih ke arah pribadi juga, si, Yo. Sebelumnya gue minta maaf banget sama lo, karena baru kasih tahu lo soal ini."

"Omongan lo macem apaan aja, Ta. Jadi takut gue awal-awal udah minta maaf begini." Theo berucap diiringi kekehan diakhir kalimatnya.

"Gue serius ini, Yo."

"Ok ok, sorry. Kebiasaan bercanda sama lo, si. Kali ini serius. Lo mau minta maaf soal apa?"

"Sebenernya gue ... udah nikah, Yo."

Theo menatap Athaya penuh selidik. Sahabatnya ini sedang ngeprank, kah?

Athaya yang tahu tatapan Theo, segera menggelengkan kepalanya dan berucap kembali dengan cepat.

"Gue gak bohong dan gak lagi ngerjain lo, Yo. Gue udah nikah sama Levin, yang beberapa kali pernah ke sini." Athaya diam sebentar, ia tidak akan membicarakan soal kejadian yang sebenarnya. Ia tidak mau jika Theo terlalu khawatir padanya.

"Gue sama dia nikah secara privat, Yo. Maaf banget gak kasih kabar sama lo dan gak ngundang lo. Jangankan lo, Yo, tetangga gue aja gak gue undang, kok. Kami ngadain acaranya di Lembang saat itu, makanya gue juga gak kasih kabar apa-apa sama lo. Yo, lo gak marah sama gue, kan?" Athaya takut jika sahabat satu-satunya itu kecewa padanya. Sejak tadi ia sudah harap-harap cemas akan pembahasan ini dengan Theo.

"Gila. Gue gak nyangka sahabat gue udah nikah aja. Perasaan gue, baru kemarin gue sama lo masih main bareng, Ta. Baru kemarin juga kita buat kafe ini jadi semakin ramai pengunjung. Gak nyangka, berjuang dan kerja bareng lo bikin gue semangat. Inovasi yang gue beri ke kafe ini, bener-bener memotivasi gue supaya kafe ini makin sukses. Dan terbukti sekarang." Theo mengacak rambut Athaya saking gemasnya. Karena sahabatnya itu sudah  berpawang. Sangat tidak menyangka baginya, karena Athaya yang dulu terkesan tak acuh pada laki-laki selain papanya dan dirinya sendiri.

"Selamat, ya, sahabat gue paling cantik Athaya Emyrena atas pernikahan lo dengan Levin. Gak nyangka gue lo udah nikah aja. Udah dewasa sahabat gue ini ternyata."

Athaya tersenyum atas respon dari Theo. Ia bahagia karena melihat Theo yang merasa bahagia akan pernikahannya dengan Levin.

"Makasi, Yo. Dan gue juga mau bahas satu hal buat lo. Ini akan menjadi tanggung jawab lo, Yo."

"Kira-kira apa?"

"Karena gue gak bisa stay terus di kafe, karena tanggung jawab gue sebagai istri di rumah, ya lo tahu lah maksud gue. Jadi gue mau menyerahkan tanggung jawab kafe ini ke lo. Gue cuma percaya sama lo, Yo. Karena emang lo doang yang bisa handle kafe ini. Kalo kurang karyawan karena lo nya pasti lebih sibuk dari biasanya, nanti buat papan lowongan pekerjaan aja, ya, Yo. Antara satu atau dua karyawan tambahan lah. Gimana, lo keberatan gak?"

"Sumpah lo mau gue pegang ni kafe?"

"Beneran, Yo. Gue sama lo kenal udah berapa tahun. Ya, cuma lo doang yang gue percaya."

"Sebelumnya gue terima kasih banyak sama lo, Ta. Di kasih tanggung jawab kaya gini, bikin gue termotivasi lagi untuk maju. Kalo lo aja sebelumnya bisa membangun kafe ini sendiri, kenapa gue gak bisa yang cuma nerusin posisi lo." Athaya menepuk pundak Theo dengan bangga, sekaligus memberi semangat pada sahabatnya itu.

"Gue bakal berusaha untuk buat kafe ini makin sukses, Ta. Makasih sekali lagi untuk kepercayaannya."

Athaya tersenyum dan merasa lega. Karena Theo menerima pekerjaan yang ia kerahkan padanya.

Seusai pembahasan itu, mereka sudah kembali dengan pekerjaannya masing-masing. Theo yang ada di bagian barista dan Athaya yang masih tetap di ruang kerja dengan segala kesibukannya.

________

02-04-2023

Kebenaran Cinta (Terbit EBook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang