20. Kebahagiaan

11.4K 861 1
                                    

Atas penolakan dan telakan ucapan dari Levin, Khalisa seakan tengah menelan banyak pil pahit. Kalau sudah seperti ini, apa yang ia harapkan lagi?

Matanya mungkin ke satu objek, yakni jalanan. Tapi pikirannya tidak tertuju ke sana. Khalisa ingat, pertemuannya pertama kali dengan Levin. Dengan ia yang marah-marah akibat tertinggalnya ponsel di sebuah restoran. Seketika ia kembali, dirinya bertemu dengan laki-laki tampanan namun ketus bernama Levin Staverd Vrog. Awalnya ia kira tidak akan bisa bertemu lagi dengan Levin, tapi takdir berkata lain, mereka dipertemukan kembali dengan dirinya menjadi orang yang sok akrab.

Khalisa termasuk perempuan yang supel, dan selalu berani untuk mendominasi dalam sebuah obrolan dengan siapapun. Untuk itu, mereka bisa menjadi dekat. Levin yang ketus, lama-lama luluh dengan tingkahnya. Seorang Khalisa yang banyak berbicara juga bergaya wanita modern. Hal itu sudah menjadi daya tarik tersendiri pada pandangan Levin. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk berpacaran.

Namun, lamunan itu seakan buyar, karena bunyi suara panggilan dari supir taksi yang mengatakan bahwa telah sampai di tempat tujuan.

Pandangan Khalisa mengedarkan sekitar, lalu tangannya mengambil uang dengan nominal yang tertera di argo taksi tersebut. Kemudian ia keluar, agar bisa segera istirahat di ranjang yang telah lama dirinya tinggalkan.

Khalisa memandang gerbang kediamannya sebentar, sampai ia menyapa dan menitah satpam rumah untuk segera dibukakan.

Bukan hanya satpam yang ada di sana, bahkan ada beberapa orang dengan pakaian serba hitam, yang duduk di kursi dengan tegap.

"Selamat malam, Nona. Akhirnya Nona pulang sekarang. Tuan dan Nyonya sudah menunggu di ruang keluarga. Mereka begitu khawatir dengan keadaan, Nona. Dan saya menyampaikan apa yang saya lihat ketika saya mengikuti Nona selama ini."

Khalisa menghela nafasnya dan mengangguk dengan lesu. Pikirannya masih kacau sekarang.

"Makasih udah jagain bokap dan nyokap. Sorry baru bisa pulang sekarang, karena gue baru siap."

"Silahkan masuk Nona, jangan sampai mereka menunggu terlalu lama." Khalisa pun memasuki pintu utama dan mencari keberadaan kedua orang tuanya.

Saat Khalisa menapaki lantai ruang keluarga, di sana terdapat orang tuanya yang sedang berbincang dihadapan televisi yang menyala.

Wendy sadar ada orang yang menghampirinya. Ia berbalik dan betapa terkejutnya, putri pertamanya yang sempat kabur itu telah kembali.

Seusai dari keterkejutannya, Wendy segera menghampiri Khalisa yang kini sudah di banjiri air mata. Ia memeluk putrinya dengan dekapan hangat seorang ibu. Orang tua mana yang tak khawatir jika putrinya itu kabur begitu saja. Terlebih anaknya itu berjenis kelamin perempuan. Rasa khawatir berlebih juga berpikir macam-macam selalu memenuhi otak.

"Lisa." Zaldy memanggil lirih seraya menghampiri Khalisa dan Wendy yang masih berpelukan. Dan dirinya juga mengikuti mereka berdua, berbagi pelukan. Ia mana tega memarahi Khalisa, di saat putrinya itu seperti sedang kelelahan.

***

Athaya sedari tadi memerengut kesal, lantaran Levin kembali menjahilinya. Ia yang saat ini terbangun dari tidurnya di karpet berbulu, mendapati wajahnya penuh akan coretan tepung. Belum lagi Levin memotret aib tidurnya di ponsel miliknya. Benar-benar menjengkelkan.

"Udah puas ketawanya?" tanya Athaya dengan nada sinis.

"Puas banget," jawab Levin lugas.

Athaya menampar paha Levin yang tak terbungkus kain, lantaran memakai celana pendek.

"Awsh, Ta." Levin meringis dengan tamparan Athaya.

Tak berhenti sampai di situ, Athaya mulai menggelitiki pinggang Levin dengan brutalnya. Levin tertawa terbahak-bahak akibat kelitikan itu. Sampai akhirnya mereka kini saling menggelitiki tubuh mereka.

Suara tawa menggema di rumah Levin. Ramai akan penghuninya yang hanya dua orang itu. Mereka berbagi kebahagiaan dengan cerita versi mereka. Tak dapat dipungkiri, bahwa pernikahan yang mereka alami, kini membawa kebahagiaan tiada tara.

Levin beryukur memiliki Athaya. Karena belum pernah ada wanita yang membuatnya sebahagia ini. Terlebih, Athaya adalah wanita baik-baik. Semuanya tampak pas dan tidak berlebihan. Pribadi Athaya lah, yang membuat Levin luluh. Hanya dalam sekejap, dirinya dapat melupakan seorang Khalisa Meyriana Bahman.

Levin bukan tipe yang mudah jatuh cinta. Jujur, ia tipe pemilih jika menyangkut perasaan. Saat pertama kali mengenal Khalisa saja, tak membuat hatinya bergetar. Khalisa meyakinkan dirinya selama satu tahun setengah. Baru setelah itu, mereka memutuskan untuk berpacaran.

Selama bersama Athaya, dua minggu pertama mereka tinggal di atap yang sama. Sudah mampu menggetarkan hati seorang Levin. Ia mengakui, selama satu bulan tak bisa untuk tidak memikirkan Athaya. Dirinya seakan tersiksa jika suatu saat Athaya pergi meninggalkannya dengan hal perceraian. Namun, hal itu tidak terjadi. Karena Athaya telah memilihnya.

***

"Ta."

"Hm."

"Ata."

"Apa?"

"Athaya."

Athaya yang terus-terusan dipanggil pun segera menoleh dan bersitatap dengan Levin.

"Apa Levinku sayang, apa?"

Levin terkekeh dan menjawil hidung mancung milik Athaya.

"Itu ... em ... kita ...."

"Kita apa?" tanya Athaya cepat. Ia penasaran dengan pembicaraan Levin yang akan ke arah mana.

"Kamu bersedia kalau kita tinggal di satu kamar?" Levin menggenggam tangan Athaya dan membawanya ke bibir milik Levin. Ia menciumnya berkali-kali.

Athaya tersenyum dengan rona merah di pipinya. Entah mengapa, ucapan itu membuatnya menjadi gugup seketika. Lalu ia menganggukkan kepalanya, tanda setuju dengan ucapan Levin.

Karena mendapat persetujuan seperti itu dari Athaya, Levin tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya lagi. Ia mencium kening Athaya, lalu mencium pipi kiri dan kanannya. Levin langsung membawa Athaya dalam gendongannya ke kamar milik Levin, yang sekarang akan menjadi milik mereka berdua.

"Vin, ya ampun. Aku bisa jalan sendiri." Athaya terkejut dengan tingkah Levin yang seperti ini. Ia sangat gugup dalam gendongan Levin. Selama di anak tangga, Athaya menyembunyikan wajahnya di dada bidang Levin. Dirinya malu atas tindakan yang tiba-tiba itu.

Sesampainya di dalam kamar, Athaya diletakkan di ranjang empuk dan wangi milik Levin. Levin tersenyum dan Athaya yang gugup. Mereka menetralkan jantung mereka masing-masing. Karena nyatanya, mereka belum terbiasa dalam satu ruangan untuk tidur bersama.

"Makasih, Ta, kamu udah mengiyakan permintaan aku. Kamu beneran gak masalah, kan, kita dalam satu kamar?"

Athaya mengelus wajah Levin perlahan. Wajah yang telah ditumbuhi bulu-bulu halus di sana. Sepertinya Levin belum sempat mencukurnya lagi.

"Aku gak masalah, Vin. Memang seharusnya begini, kan? Aku istri kamu, kalo aku gak menyetujui hal ini sama aja aku gak setuju dengan pernikahan kita. Aku setuju bukan karena paksaan atau apapun itu. Aku sayang sama kamu, Vin. Aku cinta sama kamu. Wajar bukan, kalau suami-istri tinggal dalam satu kamar?"

Rasa bahagia Levin begitu membuncah, mendengar ucapan Athaya yang meyakinkan dirinya. Levin segera mendekap Athaya dengan erat. Ia tidak tahu, kalau saja Athaya tidak menyukainya. Mungkin pernikahan ini tidak akan bertahan sampai sekarang.

Levin ingin berusaha memertahankan Athaya. Karena dialah, tambatan hatinya yang selama ini ia cari. Athaya adalah orang yang tepat untuk hidup bersamanya. Rasa syukurnya berkali-kali lipat ketika pernikahan ini ternyata buah dari kebahagiaan.

"Aku juga cinta kamu, Ta. Cinta banget," ujar Levin disela pelukannya yang masih erat.

________


24-03-2023

Kebenaran Cinta (Terbit EBook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang