13. Pendekatan

12.1K 933 7
                                    

Athaya sedang membereskan meja riasnya. Hari ini ia ingin berangkat ke kafe, jadi wajahnya harus dipoles sedemikian rupa, agar terlihat lebih anggun.

Levin yang baru saja menuruni tangga, melihat pintu kamar yang sudah terbuka. Ia ingin melihat Athaya sebelum berangkat ke kafe. Kalau bisa si, biar dirinya saja yang mengantar. Tapi Athaya pasti akan menolak.

Athaya keluar dari kamar dengan setelan rapi. Celana bahan abu-abu dengan kaos hitam di dalamnya, di tambah luaran kemeja berlengan pendek abu-abu tanpa dikancing. Rambutnya yang dikuncir menjadi satu, dengan menyisakan sedikit rambut di depan, menambah kesan tegas dalam diri Athaya.

Levin heran, mengapa selera fashion Athaya itu terkadang terkesan sembrono tapi pas untuknya? Dengan pakaian dan make up seadanya, justru membuat Athaya terlihat semakin cantik.

"Maaf, Vin, aku belum buat sarapan. Gak apa-apa, kan? Hari ini kayanya aku agak sibuk, deh. Mungkin pulang sore." Tanpa sadar, Athaya menggunakan kata aku di setiap ucapannya. Padahal kemarin masih formal dalam percakapannya dengan Levin.

Levin sadar dengan ucapan Athaya, ia juga tidak menyangka Athaya bisa berucap non-formal padanya. Jujur ia senang. Percakapan santai lah yang ia inginkan sejak kemarin, tapi ia tidak mau membuat Athaya menjadi risih dan canggung. Maka dari itu, Levin selalu menggunakan kata formal jika bersama Athaya.

"Mau bawa mobil sendiri atau aku anterin?"

Athaya berpikir sebentar, memintanya untuk mengantar tak ada salahnya, kan? Ia malas berkendara untuk saat ini.

"Anterin, deh, boleh." Jawaban Athaya membuat Levin terkejut. Ia harap-harap cemas, takut ditolak. Kenyataannya, Athaya menginginkan untuk diantar.

Levin keluar untuk memanaskan mobilnya terlebih dahulu. Ia memakai setelan celana pendek berwarna hitam, dengan kaos putih polos. Tampilan sederhana yang mampu membuat kaum hawa ambyar seketika, termasuk Athaya. Sedari tadi Athaya menahan diri untuk tidak memeluk Levin seenak jidat.

Selama memakai sepatu di teras luar, Athaya terus memerhatikan Levin yang sedang memanaskan mobil. Ini kenapa pandangannya semakin hari semakin berubah? Terlebih gara-gara percakapan kemarin, itu membuatnya berpikir untuk terus berada disisi Levin. Perasaannya pun kalut. Takut jika Levin pergi meninggalkannya, dan ia tak mau hal itu terjadi.

Levin membuyarkan lamunan Athaya. Setelah itu mereka pun pergi meninggalkan rumah menuju Athaya's Cafè. Tempat/kafe milik Athaya bekerja.

***

Sekembalinya Levin di rumah, ia mulai melangkah menuju daun pintu Athaya. Di sana ia melihat pintu yang tertutup. Apa pintu itu dikunci? Pikirnya.

Tangannya mulai meraih gagang pintu dan dugaannya ternyata salah, pintunya tidak terkunci sama sekali. Perlahan Levin membukanya sambil melihat-lihat sekitar. Pasalnya, ini kali pertama ia melihat kamar Athaya selama dia tinggal di sini.

Levin memasuki kamar tersebut seraya melihat ke setiap sudut ruangan. Bersih, rapi, dan wangi. Sepertinya, bekas parfume yang Athaya kenakan tadi, masih tertinggal di kamarnya ini.

Mata Levin sedikit melotot melihat gantungan pakaian berbentuk memanjang, di sana terdapat dalaman milik Athaya. Panas tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuhnya, ia juga susah payah untuk menelan salivanya. Padahal ia juga sering melihat dalaman saat membelinya di mall atau mengantar Khalisa belanja. Namun, ini rasanya berbeda. Terlebih Athaya bukan wanita yang suka berpakaian sexy dan juga dia adalah istrinya. Belum pernah sekalipun mereka melakukan hal intim, hanya sebatas tatapan saja selebihnya tidak.

Karena Levin merasa hal ini berbahaya, ia mulai melangkah keluar dan langsung menutup pintu kamar milik Athaya kembali. Sepertinya, tenggorokannya harus diisi dengan kafein.

***

Sore hari jam lima lewat sepuluh menit, Levin sudah tiba di kafe milik Athaya. Ia menunggu di luar dengan sebatang rokok yang dihisapnya.

Tadi Athaya memberi pesan untuk menjemputnya. Untuk itu sekarang Levin berada di kafe. Di jam segini, ternyata kafe semakin ramai. Belum lagi banyak muda-mudi yang berkunjung. Padahal ini hari minggu. Namun, tak membuat mereka enggan untuk berkunjung, sekadar menongkrong bersama teman atau berkencan dengan pacar.

Levin menghabiskan satu batang rokok yang terselip di dua jari tangan kanannya. Setelah itu, ia hancurkan ke dalam asbak untuk menghentikan bara yang masih menyala. Kemudian ia menyesap kopinya perlahan, yang memang sudah sejak tadi ia pesan.

Beberapa menit kemudian, Athaya keluar dari pintu menuju kursi yang Levin duduki.

"Sorry lama. Tadi abis bantuin di dapur, kasian pada repot."

"Gak apa-apa, Ta, santai. Kopiku aja baru habis, kok." Athaya tersenyum seraya mengangguk. Kali ini rambutnya digelung di atas, menyisakan anak-anak rambut yang tidak terkuncir. Leher jenjangnya mampu membuat Levin tergoda. Sudah dibilang, ia lelaki normal. Melihat leher wanita adalah hal yang membuat imannya runtuh seketika.

Levin terus mengamati Athaya, hingga kopi yang ada dihadapannya habis. Kemudian tangannya meraih kunci mobil dan memberikannya ke hadapan Athaya.

"Kamu masuk mobil duluan! Aku mau bayar kopiku dulu." Belum sempat Athaya menjawab, Levin segera masuk ke dalam kafe. Sampai akhirnya Athaya memasuki mobil Levin yang terparkir rapi tak jauh dari tempat duduknya barusan.

Levin telah kembali dan langsuk menduduki kursi kemudinya. Athaya heran dengan Levin yang masuk ke dalam mobil seraya membawa dua kantong sedang.

"Kamu beli ini?" tanya Athaya melihat belanjaan yang di simpan di kursi belakang.

"Iya. Kita mampir ke rumah mama dan papaku dulu, ya. Kata kasir tadi, ini rekomendasi banget, jadi aku beli. Dan di plastik satunya lagi, makanan yang biasa mama beli di sana." Levin menjelaskan seraya tetap fokus ke depan dengan laju mobilnya.

Athaya terkejut dengan ucapan terakhir Levin. Apa mama Levin sekaligus ibu mertuanya itu biasa membeli di kafenya? Mengapa ia tak pernah melihatnya? Pertemuan pertama mereka ialah saat pernikahan paksa dirinya dengan Levin saat itu.

"Aku gak pernah lihat mama. Emangnya beneran langganan, ya?" Levin tersenyum dan mengangguk atas jawabannya.

"Dia yang pertama kali nawarin aku dan papa makanan itu. Makanya sekarang aku beliin. Jujur aku udah cukup sering ke kafe kamu, saat masih bersama Khalisa. Setiap kali ke kafe kamu, aku selalu pesan itu dan dibawa pulang ke rumah. Karena mama sesuka itu." Athaya mendengarkan setiap ucapan Levin dengan baik. Bahkan tubuhnya menyamping, untuk bisa tahu ekspresi apa yang Levin tunjukan saat menceritakan itu semua. Penuh antusias di sana, dan saat menyebut nama Khalisa, rautnya tersirat akan penuh rasa kecewa. Apa Levin masih belum bisa melupakan Khalisa sampai saat ini?

Athaya, harusnya kamu ngotak dong! Jelas saja Levin belum bisa melupakan tentang Khalisa, dia sudah lama berhubungan dengan Khalisa. Sudah pasti perasaan itu masih ada, walau hanya sedikit. Ia tak bisa memungkiri, meski Levin berkata serius untuk tak ingin pisah dalam pernikahan ini, tentu ada rasa khawatir dalam dirinya. Bagaimana jika nanti Khalisa kembali? Akankah Levin memberikan hatinya lagi atau dia merelakan hatinya pergi dan tak mau menerima sosok Khalisa disisinya?

Ketakutan itu sering muncul beberapa hari belakangan ini. Athaya cukup pusing memikirkan itu. Karena nyatanya, sedikit demi sedikit ia mulai dapat menerima Levin hadir sebagai suami sahnya.

________


12-03-2023

Kebenaran Cinta (Terbit EBook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang