"Bro, ke mana aja lu? Ini udah malam, tapi lu bukannya pulang malah keluyuran," ucap Arkam begitu Dannies dan Vedol masuk apartemen.
"Gue jalan-jalan bentar pas pulang sekolah," kata Dannies menghindari kontak mata dengan Arkam.
Arkam menghela napas. "Lupakan." Cowok itu beranjak dari sofa lalu menuntun Dannies ke meja makan.
Di atas meja tersaji berbagai macam makanan. Tentu, Dannies tergiurkan melihat sesajian tersebut mengingat ia belum makan daritadi sore.
"Makanlah, gue udah masak banyak nih ," ujar Arkam sembari menarik kursi.
Dannies awalnya ragu, tetapi karena dipaksa oleh kedua sahabatnya ia duduk lalu dengan lihai ia menyendokkan nasi serta lauk di atas piringnya.
"Ada yang kurang," gumam Dannies yang membuat Arkam dan Vedol saling memandang bingung.
"Apa yang kurang?" tanya mereka berdua.
"Gue mau makan bersama kalian ... keluargaku."
Rasanya seperti kena busur panah, tanpa sadar senyuman manis Dannies membuat mereka pun tersenyum. Rasanya ada sesuatu yang menggelitik dalam hati mereka.
"Baiklah." Mereka berdua duduk menikmati makan malam dengan canda tawa.
"Gue harap lo selalu tersenyum seperti ini, Dannies."
***
Ashilla menuruni anak tangga, netra coklatnya menangkap sosok orangtuanya tengah sibuk dalam urusan masing-masing.
Ia menghampiri kedua orangtuanya. "Mama, masak apa?" tanya Ashilla kepada mamanya yang tengah sibuk mempersiapkan makan malam.
"Seperti biasanya." Lagi? Menu yang sama setiap hari, tempe dan ikan padahal keuangan keluarganya tergolong mencukupi membeli lauk lain. Bukannya, Ashilla tidak bersyukur, akan tetapi menu lauk yang sama selama bertahun-tahun sangat membosankan.
Dia ingin sesekali ingin mencicipi masakan dengan lauk berbeda-beda.
Ashilla menghela napas sambil menarik kursi di dekat papanya lalu duduk menunggu makanan tersaji.
Ashilla sudah bisa menebak apa yang terjadi setelah makanan tersaji. Dan begitu, makanan tersaji di atas meja seperti biasa papanya akan murka.
"Kamu bisa masak yang lain?! Ikan dan tempe terus!" teriak papa Ashilla sembari mengebrak meja sampai membuat Ashilla terlonjak.
"Bagus, aku masih masak, Mas. Lagian salahkan dirimu yang tidak pernah memberikan uang lebih padaku untuk membeli bahan dapur!" seru mama Ashilla.
"Kamu!" Wajah wanita paruh baya itu berpaling dengan pipi membengkak dan memerah. Tamparan dari pria itu cukup membuat Ashilla tercengang.
Bagaimana tidak? Papanya biasanya hanya mulutnya yang penuh makian. Namun, kali ini pria itu sekarang ringan tangan.
Ashilla menggertakan giginya lalu ia mengebrak meja sekuat tenaga.
"Bisa berhenti gak?! Shilla udah muak liat Mama dan Papa bertengkar tiap hari!" Cairan bening jatuh membasahi wajah Ashilla. Sesak. Dada Ashilla sangat sesak, napasnya tercekat, dan emosinya sulit ia kontrol.
"Berani kamu meninggikan suara ke orangtuamu! Jangan-jangan kamu masih berhubungan dengan cowok itu!" teriak papa Ashilla.
"Papa! Jangan ganggu Dannies! Dia tidak bersalah! Kenapa Papa gak ngertiin perasaan Shilla?! Kalau bukan gara-gara Papa Shilla tidak perlu mengalami ini semua-"
"Ashilla!" Pria itu menampar Ashilla sampai cewek itu tersungkur menabrak tembok. Terdengar suara tulang yang retak. Hal itu, membuat Ashilla merintih kesakitan.
"Mas! Beraninya kamu menyakiti putriku! Aku tidak akan memaafkanmu, bajingan!" Wanita paruh baya itu mengetok kepala pria itu menggunakan panci.
"Wanita tua ini!" Pria itu mencekram leher wanita itu dengan kuat. Wanita itu kesulitan bernapas dan meronta-ronta melepaskan dirinya.
Ashilla berusaha berdiri walau punggungnya terasa sangat sakit. Ia melangkah dengan sempoyongan ke arah orangtuanya serta berusaha membantu mamanya lepas dari cengkaraman papanya.
"Pergi kamu!"
"Gak mau! Lepaskan mamaku, dasar bajingan tua!"
Pria itu menepis tangan Ashilla dengan kasar lalu mendorongnya.
"La-ri, Nak."
Mata Ashilla berkaca-kaca ia benar-benar terdesak tidak tahu harus melakukan apa.
Tiba-tiba seorang gadis dan dua orang dewasa menerobos masuk.
"Hentikan!" Pria itu melepaskan cekraman papa Ashilla dan mama Ashilla ditolong oleh seorang wanita.
"Shill, lo gak papa? Gue bantu, ya,"ujar Vanessa membantu memapah Ashila.
"B- bagaimana lo bisa masuk? Tidak, darimana lo tahu gue dalam masalah?" tanya Ashilla dengan matanya berkaca-kaca.
"Ah ... gue gak boleh nangis lagi." Ashilla mengelap air matanya, akan tetapi Vanessa menghentikan aksi Ashilla. "Kenapa?"
"Lo bertanya kenapa gue menghentikan lo mengusap air mata? Shill, gue mohon jangan pendam lagi perasaan lo. Lo bisa kok nangis, menangislah sepuasmu."
Kata-kata Vanessa sukses membuat Ashilla tersentuh. Hatinya yang selama ini keras dan tertutup luluh dengan kata-kata itu.
"Gue ... cuma mau bahagia, Nessa." Ashilla terisak sembari memukul-mukul dadanya. Semua perasaan yang ia pendam tercurahkan di dalam pelukan hangat seorang sahabat.
"Gue selalu ada untuk lo, selalu." Vanessa mengeratkan pelukannya. Ia membiarkan Ashilla menumpahkan semua emosinya.
Kala ia teringat senyum polos Ashilla sejak kecil kini telah sirna. Hatinya sangat sakit setiap menemukan Ashilla tidak berdaya dan bergantung pada obat-obatan.
Malam itu, Ashilla menginap di rumah Vanessa, mama Ashilla di bawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan, serta papa Ashilla ditahan di penjara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Candramawa
Подростковая литератураMengisahkan keenam anak yang bersahabat dari luar terlihat baik-baik saja, tetapi nyatanya mereka menyimpan luka dan trauma yang mendalam. Kesalahpahaman membuat hubungan Ashilla dan Dannies merenggang, Vanessa dan Vedol yang selalu menjadi penenga...