bab 18

75 17 70
                                    

Obat dari trauma bukanlah kata-kata tapi obat sesungguhnya berupa tindakan dan dukungan dari orang terdekat~Theo Haikal Narendra~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Obat dari trauma bukanlah kata-kata tapi obat sesungguhnya berupa tindakan dan dukungan dari orang terdekat
~Theo Haikal Narendra~

***

"Jujur?" Arkam berbicara nada dingin. Sisil bergidik ngeri kala merasakan aura Arkam tidak seperti biasanya. Laki-laki berumur 19 tahun itu menoleh ke arah Sisil, netra hitam legamnya menatap Sisil tajam.

"K- kenapa?" tanya Sisil dengan nada terbata-bata. Tubuhnya bergetar dan tanpa sadar matanya berair. Sekelebat memori lama yang membuatnya trauma memenuhi pikirannya. Bagai flm yang diputar kembali, sosok Arkam saat ini mengingatkannya pada ayahnya, sosok yang telah merenggut masa depannya.

"Ka- Kak Ar, bukannya Kakak janji akan melindungiku? Kakak janji bisa diandalkan dan bilang kalau Kakak gak mirip pria iu?!" Sisil berseru dengan derai air mata membasahi pipi. Napasnya tercekat, matanya memerah, dan tanpa sadar cairan bening keluar begitu saja dari hidungnya.

Arkam yang awalnya berwajah datar sontak menjerit dan buru-buru mengambil tisu di toilet. Ia membersihkan wajah dan membantu Sisil mengeluarkan cairan tersebut.

"Jorok amat, sih jadi cewek." Arkam mengomel sambil mengelap hidung Sisil, sedangkan Sisil hanya pasrah sambil mengembungkan pipinya.

Netra hitam Sisil meneliti Arkam yang sibuk membuang semua tisu bekas ingusnya tanpa berhenti mengomeli Sisil. Tanpa sadar sudut bibirnya menarik lalu ia melangkah mendekati Arkam dengan tangannya direntangkan, lalu mendekap tubuh Arkam. Perasaan hangat dan nyaman menyelimuti Sisil, sedangkan Arkam menghentikan aktivitasnya lantas terdiam dan membiarkan Sisil memeluknya.

"Jika lo- ah, kamu mau nangis, silakan. Aku kakakmu, Sil. Kita masih keluarga." Perkataan Arkam berhasil membuat memecah tangisan Sisil. Perempuan berumur 17 tahun itu menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan Arkam.

Keheningan diisi oleh isak tangisan seorang adik yang membutuhkan pelukan sang kakak. Diam-diam Theo dan Ratu memerhatikan mereka dibalik pintu. Ada perasaan lega di hati mereka kala melihat kedua remaja yang telah mereka anggap seperti anak sendiri saling menguatkan.

"Mereka anak hebat," ucap Ratu. Wanita berjas putih itu tanpa sadar menitikkan air mata. Theo melirik sebentar lantas mengeluarkan sapu tangan lalu menyodorkan ke Ratu dan wanita itu pun menerima sapu tangan tersebut.

"Mereka tidak butuh kata-kata, tapi butuh tindakan sebagai penyemangat dan itulah obat untuk kesembuhan mereka dari trauma mereka," jelas Theo. Pria itu mengelus punggung Ratu untuk menenangkannya.

"Iya."

***

Di kamar rawat Vanessa. Seorang wanita tertidur pulas sambil mengenggam tangan putrinya. Tak berselang lama pintu dibuka oleh seorang pria yang membawa bungkusan nasi. Ia menatap sendu istrinya yang tertidur di samping putri tercinta mereka, Vanessa Putri Naya.

CandramawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang