bab 1

217 48 138
                                    

Hi, aku kali ini mau revisi cerita ini. So, selamat menikmati.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Bel berbunyi, semua siswa-siswi berbondong-bondong merapikan alat tulisnya dan buku ke dalam tas.

Begitu pula dengan Ashilla. Dirasa ia sudah selesai berberes cewek itu menggandeng tasnya di bahu berniat pergi meninggalkan kelas. Tiba-tiba tangannya digenggam erat oleh seseorang.

Ashilla berdecak kesal melirik siapa yang berani mencegatnya pergi.

"Lo? Mau apalagi, hah?! Kagak usah ikut campur gue mau pulang!" hardik Ashilla menatap Dannies sendu. Sendu? Seorang Ashilla yang terkenal membenci Dannies? Memang, iya.

Matanya berkaca-kaca seolah mengisyaratkan agar Dannies melepasnya. Cowok itu enggan melepas genggamannya.

"Gue gak butuh lo!"

"Siapa bilang? Lantas mengapa lo menangis? Nada bicaramu tinggi pada gue, tapi tatapan lo gak pernah bohong," jelas Dannies khawatir.

"Buat apa lo khawatir?! Seandainya gue gak ketemu lo ini semua gak akan terjadi!" teriak Ashilla. Ia menepis tangan Dannies dengan kasar.

"Satu hal lagi, kita gak bisa kayak dulu lagi. Lo tahu sendiri kondisi kita berdua." Ashilla melangkahkan kakinya meninggalkan koridor sekolah tersisa Dannies di sana berdiri seorang diri.

"Shill, apakah hubungan kita tidak bisa seperti dulu lagi?".

***
Sesampainya Ashilla di rumah baru saja ia memasuki rumah terdengar suara teriakan dan barang-barang yang sengaja di pecahkan.

Bagi Ashilla pemandangan itu sudah seperti makanan sehari-harinya. Tidak ada juga yang peduli dengannya.

Awalnya, keluarga Ashilla seperti keluarga pada umumnya sampai ketika ia mengetahui fakta ayahnya berselingkuh bahkan selingkuhannya adalah ibunya Dannies.

"Jika bukan karena ayah gue pasti masih baik-baik dengan Dannies." Ashilla menaiki anak tangga tanpa menedulikan kedua orangtuanya di ruang keluarga.

Ashilla memasuki pintu kamar berhiaskan motif bunga berwarna pink-putih. Ia langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur sembari memijit pelipisnya.

"Mereka benar-benar orangtuaku atau sosok siluman yang menjadi orangtua?" Ashilla menatap langit-langit kamarnya, perasaannya campur aduk seperti adonan.

"Di mana obat gue? Pasti lebih baik mati daripada hidup." Ashilla beranjak dari kasurnya lalu tangannya sibuk mencari obatnya di dalam laci.

"Sebenarnya dokter sudah melarang gue, tapi gue udah muak dengan sandiwara dunia ini." Pikir Ashilla sembari menelan dua pil obat sekaligus biarlah overdosis ia tidak peduli.

Tak lama kemudian, matanya pun terpenjam.

***
Saat ini, Dannies melajukan motornya membelah jalanan secara ugal-ugalan. Cowok pemilik mata hazel itu menerobos mobil-mobil besar bahkan ia nekat lewat jalan yang rawan.

"Anak brengesek mati aja gak usah hidup menyusahkan saja."

"Gara-gara kamu lahir semua yang aku miliki hilang! Pergi kamu dari sini!"

"Biadab kamu! Kamu sama aja kayak ayahmu gak punya otak!"

"Urus dirimu sendiri aja aku tidak butuh anak sepertimu."

Kata-kata itu tidak akan pernah dilupakan oleh Dannies. Cacian makian dari orangtuanya sudah seperti sarapan sehari-harinya.

Ia semakin melajukan motornya tanpa peduli lagi jika ia telah melanggar aturan.

"Gue juga gak pernah minta dilahirkan sialan," umpat Dannies.

"Lo gak akan paham perasaan gue! Mending kita akhiri di sini hubungan kita."

Sontak Dannies mengerem mendadak saat sebuah truk hampir ia tabrak.

"Dek, bawa motor pelan-pelan aja daerah di sini rawan kecelakaan."

Dannies meminta maaf kepada bapak sopir lalu ia menjalankan mesin motornya. Kali ini ia tidak mengebut, tetapi satu hal yang pasti ia tidak tahu harus pulang ke mana.

"Sebenarnya apa itu rumah? Apa itu keluarga?" Dannies memberhentikan motornya di tepi jalan. Ia mengusap wajahnya dengan kasar.

"Shill, lo salah. Lo yang tidak paham perasaan gue," lirih Dannies. Tanpa sadar cairan bening jatuh membasahi pipinya.

"Dannies, pulang. Gue udah cari lo ke mana-mana." Seseorang mengajak Dannies pulang bersamanya.

Dannies menatap sahabatnya, Vedol yang tengah menatapnya iba.

"Pulang? Gue gak punya rumah," lirih Dannies sambil menundukkan kepala.

"Lo punya rumah ... gue rumah lu," jawab Vedol sambil mengulum senyuman yang tidak pernah ia perlihatkan kepada orang lain selain Dannies dan keluarganya.

Dannies mengerjapkan matanya berulang kali tidak percaya. Benar, bagaimana ia bisa lupa jika ia masih memiliki kedua sahabat setianya.

"Terima kasih."

Mereka menjalankan mesin motor lalu mentancapkan pedal motor membelah jalanan yang sepi ke apartemen tempat mereka tinggal saat ini.

.
.
.

Siapa di sini naksir Vedol?

Siapa di sini naksir Vedol?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
CandramawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang