"Dannies," panggil Arkam. Dannies menoleh sambil menaikkan satu alisnya."Bentar lagi lu bisa pulang," ucap Arkam sambil membantu Vedol merapikan pakaian yang mereka bawa karena semalam mereka bermalam di rumah sakit.
"Akhirnya, bisa pulang. Sumpek tinggal di rumah sakit," ujar Vedol sambil menyeka keringatnya yang bercucuran.
Ia sudah merapikan tas-tas lantas ia merebahkan tubuhnya di sofa sambil mengistirahatkan tubuhnya.
"Gimana keadaan sekolah sehari tanpa gue, ya?" Dannies melepas infus yang masih menancap di punggung tangannya.
"Lo gak ngerasa sakit melepasnya sendiri? Kenapa gak tunggu suster melepasnya?" tanya Vedol dengan raut wajah khawatir karena Dannies yang keras kepala tetap kekeh ingin melepasnya sendiri.
"Sakit, tapi gue udah biasa melepasnya sendiri walau kadang gara-gara tersangkut dan ku paksa lepas akhirnya darahku ikut muncrat," jawab Dannies dengan santainya.
Arkam dan Vedol yang khawatir dengannya malah orang yang di khawatirkan suka ngeyel dan keras kepala. Yah, bukan Dannies namanya kalau tidak keras kepala dan mereka sudah capek menasihatinya karena tidak ada gunanya juga.
"Arkam, lo, kan yang memanggil Ashilla ke sini dan Vedol, lo juga kan yang cerita ke Ashilla kondisi gue?" tebak Dannies yang membuat kedua cowok yang berstatus sahabat Dannies seketika terdiam dengan keringat bercucuran.
"Tahu, kan, apa yang akan kalian dapat karena membocorkan hal yang sudah gue rahasiakan darinya," ucap Dannies dengan senyuman merekah di wajahnya. Senyuman manis, sangat manis, tetapi mematikan.
Baik Vedol dan Arkam menelan salivannya dengan hati tak tenang. "Matilah kita." Tidak ada tempat mereka tuk bersembunyi dan mereka bisa membayangkan hal mengerikan selanjutnya yang akan menimpa mereka berdua.
Netra hazel milik Dannies bersitatap dengan netra hijau milik Vedol serta netra hitam legam milik Arkam. Dari tatapan Dannies tersirat sebuah kalimat. "Kalian tidak bisa melarikan diri."
"Tolong!" Teriakan dalam hati mereka berdua yang hanya bisa pasrah menghadapi kemarahan Dannies.
***
"Aku pulang." Baru saja Ashilla membuka pintu sebuah pisau dan perabotan rumah lainnya melayang ke arahnya.
Dengan lihainya Ashilla menghindarinya serta menangkisnya. Sorot matanya menajam saat vas bunga melayang ke arahnya, ia melompat mundur dan vas tersebut jatuh ke lantai dengan pecahan-pecahan berserakan.
Terdengar teriakan ibunya yang sedang bertengkar dengan ayahnya. Ashilla berdecak kesal karena tiada hari tanpa mereka ribut.
"Pokoknya aku tak mau tahu kita cerai saja! Bagaimanapun wanita jalang itu sedang mengandung anakmu!" hardik Dewi dengan lantang.
"Dewi! Kamu jangan panggil dia jalang! Velona, itu sahabatmu!" teriak Adit. Lelaki itu menarik tangan Dewi secara kasar lantas menamparnya serta mendorongnya hingga tubuh Dewi menabrak meja.
Ashilla yang berada di tangga berniat ke kamarnya pun terhenti karena mendengar suara dentuman keras dari dapur.
Dewi bangkit sambil menyeka sudut bibirnya yang terluka lantas ia berlari serta melompati Adit. Ia melingkarkan tangannya di kepala Adit yang membuat pria itu berdecak kesal lantas memberontak, tetapi kekuatan Dewi lebih kuat.
Ashilla mengendap-endap ke dapur. "Hanya mengecek doang," gumam Ashilla. Ia sampai di dapur lantas bersembunyi sembari mengintip orang tuanya.
"Ibu sedang ngapain di atas ayah?" Ashilla bertanya-tanya apa yang dilakukan kedua orang tuanya kali ini.
"Lepasin!" Adit terus memberontak agar Dewi turun dan melepasnya. Namun, Dewi tetap kekeh melingkar di atas Adit.
"Ceraikan aku atau kau yang mati, brengsek," ujar Dewi. Alisnya menekuk karena berusaha agar usahanya mematahkan leher Adit berhasil. Gila ya? Iya, mereka sudah gila.
Ashilla membulatkan matanya kala ibunya mengambil silet yang ia sembunyikan di kantong celemeknya. "Jika aku tak bisa mematahkan lehermu, Mas maka terpaksa aku melakukan ini!" Dewi melancarkan serangan dengan silet ke arah Adit, sedangkan Adit, pria itu semakin memberontak yang membuat Dewi kesusahan.
"Bangsat! Dasar wanita gila! Mari mati bersama," ucap Adit tak mau kalah. Tangannya terulur ke arah kompor, Ashilla menyipitkan matanya melihat barang apa yang ingin diambil sang ayah.
"T- tidak! Jangan!" Ashilla keluar dari persembunyian lantas berlari ke arah orang tuanya.
Adit berhasil mengambil panci yang masih panas dengan sisa minyak. Lelaki itu melawan balik menggunakan panci tersebut, sedangkan Dewi yang murka pun dibutakan oleh amarah dan dendam.
Ashilla berlari masuk di tengah-tengah mereka. Pupil coklat itu membulat kala kedua benda itu mengarah kepadanya.
"Sudah cukup!"
Malam yang sunyi nan damai itu tiba-tiba menurunkan hujan yang begitu deras seolah langit tengah menangis.
Di saat bersamaan, Dannies telah terbujur kaku dengan derai darah mengalir dari tubuhnya serta seorang pria dan wanita tengah menatapnya dingin.
"Nak, putuskanlah kau akan memilih siapa."
Sungguh malam yang mencekam bagi dua insan yang hanya menginginkan kebebasan.
Suara gemuruh hujan dan petir menyambar kota membuat suasana malam semakin mencekam.
"Apa Dannies baik-baik saja? Gue khawatir karena ia dipanggil orang tuanya tiba-tiba."
Kok jadi gini sih? Dahlah, maaf sudah menunggu lama semoga suka ya. Jangan lupa vote, komen, dan share untuk meramaikan cerita ini.Sungguh aku tak menyangka pembahasannya akan semengerikan ini.
Oke, see you...
KAMU SEDANG MEMBACA
Candramawa
Teen FictionMengisahkan keenam anak yang bersahabat dari luar terlihat baik-baik saja, tetapi nyatanya mereka menyimpan luka dan trauma yang mendalam. Kesalahpahaman membuat hubungan Ashilla dan Dannies merenggang, Vanessa dan Vedol yang selalu menjadi penenga...