Dari banyaknya insan di dunia kenapa lo yang harus merasakannya? Gue gak paham
Semesta, katakan pada gue di mana kesalahannya?~Arkam Syahputra~
Sudah lewat 3 hari setelah malam itu. Arkam sedang termenung di kamar rumah sakit. Laki-laki remaja itu tidak bicara sepatah kata pun sejak dibius walau sempat memberontak kala malam itu. Theo selaku dokter yang selama ini menangani Arkam juga tidak bisa berbuat banyak dan hanya memberikan ruang untuk saat ini.
"Theo," panggil Ratu. Wanita berjas putih itu berjalan mendekati Theo. "Gimana? Arkam, mengatakan sesuatu?"
Theo menggelengkan kepalanya seraya berkata, "Jangankan bersuara dia bahkan tidak menatapku. Arkam ... anak itu sangat trauma sampai tatapannya kosong."
"Kita tidak bisa berbuat banyak, tapi jika mereka–"
Suara teriakan di kamar inap Vedol menggema membuat mereka terkejut. Arga berlari masuk memeriksa. Begitu pun dengan Febri dan Theo– mereka memasuki kamar tersebut melihat apa yang terjadi.
"Kamu! Brengsek!" Seorang pria menarik kerah baju Gilang seraya melayangkan satu bogeman mendarat di wajah pria tersebut. Gilang meringis sembari mengusap sudut bibirnya, ia bangkit lantas berlari dengan niat membalas balik.
Namun, Arga berlari ke tengah sambil menangkis serangan Gilang. Sorot matanya menajam mengisyaratkan jika kalian berkelahi di sini siap-siap saja kalian akan ku bius lalu bawa ke polisi. Gilang berdecak kesal sambil memutar bola matanya malas, sedangkan pria satunya tubuhnya menengang. Jujur saja ia takut dengan Arga. Gilang mengecek ponselnya lantas ia berjalan keluar kamar meninggalkan Ridwan.
"Ridwan, kamu juga begitu. Vedol masih dalam keadaan kritis seharusnya kamu sebagai seorang ayah menemaninya bukannya meladeni sampah itu," tutur Arga sambil melirik Ridwan– pria berumur 40-an itu menundukkan kepalanya. Tangannya terkepal kuat lalu ia menganggukkan kepala.
Arga mengembuskan napas lalu berjalan mendekati ranjang Vedol. Anak laki-laki itu terbaring lemah dengan masker oksigen terpasang, bau obat-obatan menyengat menusuk indera penciuman, dan monitor yang berbunyi menunjukkan kondisi pasien saat ini. Arga memeriksa kondisi Vedol, sedangkan Ridwan berdiri mematung memerhatikan sang putra dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Sudah 3 hari sejak kecelakaan itu putranya masih tidak sadarkan diri dan hanya terbaring tak berdaya.
"Ayla, maafkan aku. Aku tidak bisa menjaga putra kita, Vedol." Tanpa sadar bulir-bulir air mata menetes membasahi pipi Ridwan. Sekelebat memori lama mengarungi kepalanya. Senyuman sang istri yang sedang hamil dengan senyuman lebar sambil mengendong Vedol kecil memanggil namanya. Itu adalah kenangan manis sebelum tragedi itu terjadi. Sebuah tragedi yang membuatnya kehilangan istrinya dan calon anaknya.
***
Di kamar Vanessa dan Ashilla juga sama. Orang tua kedua perempuan itu menemani sang putri. Menunggu mereka sadar, tetapi tidak ada tanda-tanda mereka akan segera sadar dalam waktu dekat. Di kamar Sisil seorang diri tanpa seorang pun menemani. Perempuan itu sudah sadar lebih dulu sebelum Arkam. Saat ini ia hanya memandangi jendela, tetapi saat dokter Ratu masuk untuk melakukan pemeriksaan ia menurut tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Bagaimana? Masih ada yang sakit?" tanya Ratu dengan lembut membelai rambut pendek Sisil.
"Masih. Hatiku, Ibu," jawab Sisil dengan pelan. Ratu membulatkan matanya, tetapi dengan cepat tatapan matanya melembut dengan senyuman merekah di wajahnya. Ratu mendekatkan diri lantas mencium kening Sisil.

KAMU SEDANG MEMBACA
Candramawa
Teen FictionMengisahkan keenam anak yang bersahabat dari luar terlihat baik-baik saja, tetapi nyatanya mereka menyimpan luka dan trauma yang mendalam. Kesalahpahaman membuat hubungan Ashilla dan Dannies merenggang, Vanessa dan Vedol yang selalu menjadi penenga...