II. Pulang - Melaka, Maret 1513.

4 2 0
                                    

Rombongan ekspedisi kapal perang Portugis memasuki teluk Melaka menjelang tengah malam. Mereka disambut oleh cuaca malam yang tenang. Cuaca di Melaka terlihat berawan. Sinar bulan sangat redup terhalang gumpalan awan terbal yang berada diketinggian tigapuluh ribu kaki diatas permukaan laut. Angin dingin berhembus pelan. Tiga dari empat kapal Portugis yang baru tiba dari kota pelabuhan Sunda Kelapa bermanuver untuk membuang sauh di depan teluk Melaka. Kecuali kapal Santo Domingues yang langsung bergerak mendekati dermaga-dermaga kayu kota pelabuhan itu.

Primeiro Oficial Santo Domingues, Diogo Cabral, berkomunikasi dengan menara pengawas pelabuhan dengan saling mengirimkan kode cahaya. Mereka minta diizinkan untuk langsung menurunkan lebih dari separuh awak kapalnya ke darat. Petugas jaga di kantor Syahbandar kota Melaka tampak heran dengan permintaan yang tidak biasa dari kapal Santo Domingues.

"Kenapa mereka terburu-buru sekali?", gumam perwira jaga di pelabuhan dengan wajah heran.

"Mereka baru menginformasikan, ada masalah dengan lambung kapal. Dan demi keselamatan awak kapal, maka mereka meminta agar sebagian awak kapal, yang tidak berkaitan fungsinya dengan perbaikan lambung kapal, agar didaratkan", kata salah seorang dari penjaga pelabuhan tersebut, sambil membaca kerlip sinyal cahaya yang dikirim dari dalam kapal Santo Domingues.

"Kalau begitu, kasih mereka ijin. Siapkan barak buat awak mereka.", kata perwira jaga pelabuhan Melaka itu sambil memerintahkan seorang tentara mengatur akomodasi mereka di barak. Tentara yang diberikan tugas itu kemudian melangkah keluar pos jaga pelabuhan dan berjalan menuju bangunan besar yang terletak disebelah barat dermaga paling ujung.

Ijin diberikan, dan para awak kapal semua bersiap-siap digeladak berbaris rapi untuk bergiliran, bergantian turun dengan sekoci, ke dermaga kayu pelabuhan. Diantara antrian itu, terlihat sosok dua gadis cantik yang sekarang sudah jadi maskot kapal Santo Domingues. Wajah Andini, salah satu dari gadis itu terlihat bergairah. Dia belum pernah mengunjungi negeri-negeri yang jauh sebelumnya, dan ini adalah kali pertama dia tiba ditanah yang asing. Gadis itu sudah mengemas barang-barangnya yang lumayan banyak. Awalnya dia berkeras membawa semuanya turun sendirian, meskipun akhirnya menerima bantuan Terceiro Oficial Luiz da Costa dan Centromestre Sandro Gomez. Sedangkan Chiaki seperti biasanya, hanya membawa sedikit barang dan semuanya dapat digenggam dengan satu tangan.

Sesuai dengan perintah Capitão Hugo Fonseca, tanpa menunggu sampai esok pagi, semua awak kapal yang tidak bertugas memperbaiki lambung kapal turun ke darat. Mereka berjalan ke arah barak yang berlokasi di bagian barat dermaga pelabuhan. Hanya Chiaki dan Andini yang tidak berjalan bersama mereka. Chiaki mengajak Andini untuk berjalan mengikutinya keluar pintu utama pelabuhan, memisahkan diri dari para tripulação marinha – awak kapal lainnya.

Ditemani Centromestre Sandro Gomez dan Terceiro Oficial Luiz da Costa, kedua gadis itu berjalan memasuki bagian barat kota Melaka, melintasi jalan-jalan batu, sampai keujung barat kota yang sepi. Andini tampak menikmati perjalanan itu. Matanya tampak berbinar-binar memandangi beragam bangunan dari batu berarsitektur broque khas eropa. Dia belum pernah melihat bentuk-bentuk bangunan batu seperti itu sebelumnya.

Mereka berjalan melintasi beragam kedai-kedai makanan saat melintas wilayah pasar lama yang masih ramai. Terceiro Oficial Luiz da Costa melirik tajam ke wajah Centromestre Sandro Gomez yang berdehem keras saat mereka melewati sebuah rumah makan Cina yang ramai.

"Maksudmu apa amigo?!", desis pelaut tua itu kepada Sandro Gomez.

Jelas sekali Centromestre berambut merah itu telah mengetahui kejadian pahit pelaut tua itu, sampai akhirnya dia ditolong dan diobati Chiaki tempo hari. Peristiwa pahit yang memalukan bagi Terceiro Oficial Santo Domingues itu. Dia-pun masih teringat Bao-Yu, perempuan muda yang membuat masalah itu sampai terjadi, ternyata menjenguknya saat dia terkapar dirumah Chiaki.

Beruntung gosip murahan-pun tidak sampai tersebar diseluruh pelosok ruangan Santo Domingues. Hanya Capitão Hugo Fonseca sang kapten kapal Santo Domingues yang mengetahui seluruh jalannya kejadian itu, bahkan sampai memberinya nasihat sambil tersenyum-senyum. "Aaargh...", geramnya dalam hati.

Andini berjalan sambil melihat berkeliling, semua tampak asing. Dan gadis itu menyenanginya. Dia menyenangi semua yang tampak baru dan asing, rasa berpetualangnya menggelora didada. Dia bertekad, apapun yang terjadi, besok dia akan menjelajahi pasar ini sampai ke seluruh sudut-sudutnya.

Dari pasar itu, mereka melewati jalan lurus yang diterangi oleh lampu-lampu sumbu bertiang yang ditanam di kedua sisi jalan. Sinar lampu itu tampak sangat terang, dan membuat suasana jalan batu itu sangat indah. Mereka menyusuri jalan batu itu, sampai akhirnya tiba di sebidang tanah yang rimbun dipenuhi pepohonan. Ditengah-tengah bidang tanah tersebut, terdapat sebuah rumah panggung berarsitektur melayu yang terbuat dari kayu. Rumah itu sangat mungil dan bersih.

Chiaki melepas geta-nya dan meletakkannya dengan hati-hati pada anak tangga kedua dari bawah. Lalu dengan langkah ringan gadis itu naik tangga itu, dan melangkah menuju pintu rumah mungil tersebut. Gadis itu mengambil anak kunci dari balik yukata putihnya, memasukkannya kedalam lubang kunci, memutarnya, dan membuka pintu depan.

"Tadaima - Saya pulang...", gumam gadis Nihon itu lirih, sambil membuka pintu rumah lebar-lebar.

"Okaerinasai - Selamat datang kembali...", balas Andini yang berdiri disebelahnya.

Chiaki menyalakan dua buah lampu suluh yang melekat pada dinding sebelah utara ruangan. Cahaya temaram menerangi ruang tamu yang bersih, meski berlapis debu tipis.

"Dōzo haitte kudasai - Silahkan masuk", kata Chiaki sambil mempersilahkan Andini dan kedua orang Portugis itu masuk.

Terceiro Oficial Luiz da Costa dan Centromestre Sandro Gomez melangkah masuk ke dalam dan membawa barang-barang bawaan Andini ke dalam ruang tamu yang hanya ada selembar tikar diatasnya.

Chiaki mengambil sapu yang diletakkan pada sudut ruangan, dan mulai menyapu dengan cekatan.

"Kore o koko ni oku - Barang-barang ini ditaruh disini?", tanya Centromestre Sandro Gomez sambil meletakkannya dipojok ruangan tersebut.

"Umm...", jawab Chiaki mengangguk, sambil terus menyapu.

"Senhorita, kami harus kembali ke Santo Domingues. Bila ada perkembangan, kami akan segera memberitahu kalian. Ittekimasu - Kami pamit...", kata Centromestre Sandro Gomez sambil menunduk.

"Umm... Itterasshai - hati-hati...", jawab Chiaki balas menunduk, menghentikan aktifitas menyapunya.

"Malam... Senhorita Andini, senorita Chiaki", kata Terceiro Oficial Luiz da Costa mengikuti langkah Centromestre Sandro Gomez keluar rumah.

Kemudian kedua pelaut Portugis itu melangkah keluar rumah meninggalkan kedua gadis cantik itu dirumah mungil tersebut, dengan diikuti tatapan mata Andini sampai mereka menghilang didalam kegelapan malam.

Setelah itu Andini membantu Chiaki membersihkan rumah, dan menata barang-barang bawaannya. Kedua gadis itu berbagi kamar tidur, dikarenakan rumah mungil yang ditempati oleh Chiaki hanya memiliki satu kamar tidur, satu ruang tengah, satu ruang tamu, satu teras dan satu ruang belakang yang sekaligus berfungsi sebagai dapur. Adapun kamar mandi dan jambannya terpisah dari rumah.

Meskipun begitu, rumah panggung yang mungil itu cukup untuk memberikan tempat yang nyaman untuk mereka tempati berdua.

"Oyasuminasai, Onee-chanSelamat tidur, kak.", kata Chiaki lirih sambil menggeletakkan tubuhnya disamping kasur kapuk Andini, setelah mematikan lampu sumbu.

"Umm... Oyasuminasai, Chiaki-chan...", balas Andini meringkukkan tubuhnya disamping Chiaki.

Tanpa menunggu lama, Chiaki dapat mendengar dengkuran lembut Andini yang sudah tertidur.

"Neko-chan... Kawaii...", gumam Chiaki lirih sebelum gadis itu menyusul tertidur.

Fang Yin 1513 - Buku TigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang