Tan Fang Bu berjalan keluar rumah besar beraksitektur Cina itu. Laki-laki muda itu berjalan dengan cepat melintasi jalan batu yang panas, menuju ke pasar Pasuruan. Hari sudah menjelang tengah hari saat dia melewati gerbang masuk pasar. Pasar itu terlihat ramai. Pembeli dan penjual tampak menyatu membentuk lautan manusia yang sibuk dalam keriuhan. Kegiatan transaksi penjualan, pembelian dan barter adalah kegiatan utama para manusia yang berkumpul disana. Bau keringat manusia dan bau barang dagangan menyatu membentuk sebuah aroma, yang bisa disebut sebagai aroma pasar.
Laki-laki itu mencari-cari ke sebuah sudut pasar. Dan dengan mudah dia dapat menemukannya. Orang yang dicarinya itu duduk di sebelah seekor kerbau besar berbulu hitam. Kerbau tersebut terlihat begitu tenang berbaring dibelakang pemuda kekar berkulit coklat tersebut. Selain dari penampilan kerbau besar dengan tanduk melengkung tajam yang mengerikan dikepalanya, tidak ada hal lain yang membedakannya dari penampilan para pedagang pasar lain. Wajah pemuda itu adalah wajah orang Jawa seperti pada umumnya. Tidak istimewa. Pakaiannya-pun tidak mencerminkan seorang pedagang besar, sangat sederhana.
Tan Fang Bu mengamati pemuda Jawa itu dengan teliti. Tetapi mengingat kata-kata Xiāo Tien kepadanya bahwa, kelebihan pemuda itu tidak pada rupa fisiknya yang dibawah rata-rata ketampanan seorang laki-laki. Dia melihat seorang perempuan tua mendekati pemuda itu. Terlihat jelas dia memang menunggunya. Pelanggan, pikirnya dalam hati. Pemuda itu tampak memasukkan seluruh barang dagangannya ke dalam keranjang yang dibawa oleh pelanggannya. Kemudian perempuan itu memberikan uang pembeliannya. Sebuah transaksi biasa, tidak tampak keistimewaan dalam hal itu.
Apa yang dilihat oleh Fang Yin dari pemuda itu? kata Tan Fang Bu lagi. Akhirnya, laki-laki Cina itu berjalan mendekat ke arah pemuda itu berada. Lapaknya sudah kosong tidak ada barang yang dijualnya. Dia hendak mengajaknya berbicara.
Bagas tampak sibuk merapihkan lapaknya. Dia menaruh dingkliknya diatas meja lapak yang sudah kosong. Diraihnya sebuah sapu lidi dan mulai menyapu lantainya. Pemuda itu tampak menyapu lantai tanah lapaknya dengan teliti, tidak melewatkan satu buah sampah-pun. Dia tertegun melihat seorang laki-laki Cina berpakaian bagus berdiri didepan lapaknya.
"Koko mau mencari apa?", tanya Bagas ramah. "Barang dagangan saya sudah habis."
Tan Fang Bu tampak berpikir sejenak. Ditatapnya wajah pemuda yang ramah menyapanya itu. Wajah dusun, pemuda itu tampak tersenyum lebar. Gigi-giginya yang tidak rata tampak dengan jelas.
"Atau koko mau pesan? Lusa saya bawa saat saya turun lagi kesini.", kata Bagas menawarkan.
Tan Fang Bu mengangguk. Dia mulai memikirkan apa yang harus dipesan.
"Saya bingung mau pesan apa... ", kata laki-laki Cina itu jujur.
"Lha piye... Koko ini lucu. Mau belanja tapi tidak tahu barang apa yang mau dibeli", kata Bagas sambil terkekeh.
"Memang biasanya yang orang lain beli apa?"
"Ya macam-macam tho... Kalau orang Cina seperti sampeyan biasanya mereka pesan ayam dan jamur."
"Memang pelangganmu ada orang Cina?", tanya Tan Fang Bu menyelidik. Dia seperti mendapat celah untuk bertanya mengenai Fang Yin.
"Ya ono,"
"Biasanya mereka pesan apa?"
Sambil merapikan ikatan sapu lidinya yang longgar, Bagas menjawab, "Kalau koko Huang biasanya pesan ayam, bebek atau ikan. Kalau cici Alin biasa pesan ayam dan buncis. Lalu kalau Fang fang biasanya pesan ayam, ikan mas dan jamur."
Fang fang! Pemuda dusun ini menyebut nama kecil adik bungsu kesayangannya. Nama akrab yang hanya keluarganya yang tahu. Fang Yin tidak akan mau dipanggil dengan nama kecilnya, kecuali oleh orang yang dikenal akrab olehnya. Perkembangan pembicaraan ini berjalan semakin menarik. Tahu apa pemuda ini mengenai Fang Yin, gumamnya dalam hati.
"Fang fang? Siapa dia?", tanya Tan Fang Bu sambil pura-pura berpikir.
"Fang fang itu pelanggan kulo paling baik koko... maaf. Kulo panggil sampeyan enaknya gimana? Kita belum kenalan iki.", kata Bagas sambil tersenyum lebar.
"Panggil saya koko Tan saja."
"Koko Tan... Hmm... Baiklah. Nah... Kalau kulo biasa dipanggil Kebo. Kebo Ireng, begitu koko.", kata Bagas sambil meletakkan kembali sapu lidinya dibalik meja kayunya yang sudah bersih.
"Kebo Ireng?", gumam Tan Fang Bu heran. "Namamu terdengar aneh..."
Bagas tertawa. Senyumnya semakin lebar mendengar perkataan Tan Fang Bu. Dia menegakkan tubuhnya lalu berdiri dihadapan laki-laki Cina itu.
"Jadi lusa mau ta' gowo opo?", tanya Bagas riang.
"Saya mau pesan bebek dan ayam masing-masing sepuluh ekor", jawab Tan Fang Bu kalem.
"Wuih... banyak tenan, mau ada acara opo ko?"
"Iya, besok saya mau ada acara.", kata Tan Fang Bu sambil meraih katung kulitnya.
"Berapa?", lanjutnya bertanya berapa harga yang harus dia bayar untuk semua pesanannya.
"Wah... Nanti saja bayarnya. Kalau pesanannya sudah diterima."
"Kalau begitu saya panjar dulu."
"Gak usah ko. Nanti aja. Ndak enak kulo terima uang kalau barangnya belum ada."
Tolak Bagas sambil mengangkat kedua belah lengannya yang kekar. Tan Fang Bu mengangkat alis matanya, pemuda ini tidak mau menerima uang panjar atas pesanannya. Dia ini terlalu baik atau bagaimana? Pikirnya.
"Caramu selalu seperti ini ke semua pelanggan mu?"
Bagas menangguk membenarkan.
"Kamu tidak takut kalau saya tidak datang untuk mengambil pesanan saya?"
Sambil tersenyum pemuda itu hanya mendesah pelan.
"Kalau lusa koko tidak datang untuk ambil pesanan, berarti bukan rejeki saya. Gitu aja", jawabnya ringan.
"Baik, lusa saya bayar sewaktu pesanannya datang.", kata Tan Fang Bu sambil menaruh kantung kulitnya kembali kedalam saku changsan-nya.
"Saya permisi dulu kalau begitu", kata Bagas sambil mengangguk memberi salam.
Kerbau hitam yang sedari tadi rebahan ditanah bangkit berdiri, seakan-akan tahu sudah waktunya berangkat pulang. Sambil melenguh pendek, hewan bertubuh besar itu berjalan mengikuti Bagas, tanpa tali kekang. Tanduknya yang besar melengkung tajam selalu menarik perhatian orang yang berpapasan dengan mereka. Ada yang takut dan ada yang kagum.
Tan Fang Bu memperhatikan pemuda dan kerbaunya itu dari kejauhan. Keningnya berkerut dan kepalanya mengangguk-angguk. Pemuda ini sungguh menarik. Lusa dia pasti akan menemuinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fang Yin 1513 - Buku Tiga
Historical Fiction"Dalam sebuah surat kepada Alfonso de Albuquerque, dari Cannanore, Fernão Pires de Andrade, Kapten armada yang menghalau Pate Unus, mengatakan: Jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini. Ia membawa serib...